Badan Gizi Nasional Seyogianya Jangan Cuma Urus Janji Kampanye

Badan Gizi Nasional Seyogianya Jangan Cuma Urus Janji Kampanye

Presiden Joko Widodo membentuk Badan Gizi Nasional dua bulan sebelum lengser pada Oktober 2024. Pembentukannya diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024 yang ditandatangani pada 15 Agustus 2024. Dadan Hindayana, dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), didapuk menjadi Kepala Badan Gizi Nasional.

Pembentukan badan ini tak dapat dilepaskan dari program makan bergizi gratis yang menjadi program prioritas presiden dan wakil presiden terpilih periode 2024-2029, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Program dengan anggaran Rp71 Triliun untuk tahun pertama ini akan menjadi tanggung jawab Badan Gizi Nasional.

Jika mengacu Perpres pembentukan Badan Gizi Nasional, tugas utama mereka adalah melaksanakan pemenuhan gizi nasional. Sasaran utamanya anak-anak, mulai jenjang pendidikan usia dini sampai jenjang pendidikan menengah, serta anak usia di bawah lima tahun. Sasaran pemenuhan gizi juga ditargetkan untuk ibu hamil dan ibu menyusui.

 

Dibentuknya Badan Gizi Nasional seyogyanya dapat diapresiasi demi kepentingan transisi pemerintahan yang sigap dan tanpa hambatan. Lembaga ini turut menjawab ketidakpastian soal siapa yang akan bertanggung jawab mengurus program makan bergizi gratis.

Uji coba program makan bergizi gratis juga terus dilakukan pemerintah di sejumlah sekolah sebagai evaluasi kesiapan program. Maka dengan hadirnya Badan Gizi Nasional, seharusnya program prioritas dari janji kampanye Prabowo-Gibran itu punya rencana yang matang dan visi yang jelas.

Namun, harapan besar yang melampaui sekadar janji kampanye untuk Badan Gizi Nasional sebetulnya sudah termaktub dalam tugas utama pembentukan lembaga ini: pemenuhan gizi nasional.

Maka tak heran bila sejumlah pihak berharap badan ini tidak cuma fokus mengurus program makan bergizi gratis. Banyak tantangan terkait masalah malanutrisi dan persoalan pemenuhan gizi di Indonesia yang butuh perhatian lebih dari pemerintah.

Associate Professor Public Health Monash University Indonesia, Grace Wangge, berharap Badan Gizi Nasional bertindak serius memikirkan nasib gizi anak-anak Indonesia. Komitmen tersebut perlu disikapi secara terbuka dan mendukung riset yang baik serta mendalam soal pengentasan persoalan gizi di Indonesia.

“Bukan lebih percaya bisikan expert yang entah dari mana asalnya, apalagi kalau expert-nya bawa barang dagangan masing-masing. [Bebas dari] intervensi oknum industri yang jahat, terutama memaksakan produk tinggi gula-garam-lemak [GGL],” kata Grace kepada Tirto, Selasa (20/8/2024).

Produk pangan tinggi GGL bukan hanya merusak pola makan, tapi juga mengganggu kesehatan anak di masa mendatang. Grace berharap Kepala Badan Gizi Nasional tidak bisa diintervensi oleh cawe-cawe industri pangan tinggi GGL.

Terlebih, tugas pemenuhan gizi sebetulnya bukan hal baru dilakukan kementerian/lembaga. Tugas pemberian makanan tambahan, misalnya, sudah dilakukan Kementerian Kesehatan.

Tantangan dalam program makan bergizi gratis, kata Grace, justru ada pada implementasi dan evaluasi. Jika Badan Gizi Nasional belajar dari masalah-masalah tugas pemenuhan gizi yang selama ini sudah dilakukan, seharusnya tantangan itu bisa dilalui.

Sejumlah tantangan lain bagi Badan Gizi Nasional adalah kelangkaan pangan yang masih terjadi di beberapa daerah. Masih ada daerah yang kesulitan mendapatkan akses pangan. Selain itu, masalah kualitas pangan yang aman dan bergizi juga masih belum merata.

“Lalu, terkait dengan stunting dan beberapa penyakit metabolik adalah pola makan orang Indonesia, yang bergeser dari masyarakat agraris ke urban. Sehingga ada pergeseran pola diet ke cenderung yang tinggi kalori dan kemudian tinggi gula-garam-minyak,” jelas Grace.

Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), prevalensi stunting Indonesia turun dari 24,4 persen di tahun 2021 menjadi 21,6 persen pada 2022. Namun angka itu masih jauh dari target pemerintah yang ingin berada di angka 14 persen tahun ini. Standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), seharusnya prevalensi stunting kurang dari 20 persen.

Tantangan Tugas

Advocacy and External Engagement Manager, Wahana Visi Indonesia (WVI), Junito Drias, menyatakan menyambut baik inisiatif dari pemerintah yang membentuk Badan Gizi Nasional. Setidaknya, menunjukkan bahwa pemerintah serius ingin menjawab masalah pemenuhan gizi, sehingga harus membuat lembaga khusus.

Junito memandang sasaran Badan Gizi Nasional merupakan kunci penyelesaian masalah tengkes yang jadi dasar menggapai Indonesia Emas 2045. Akan tetapi, problematika belum tentu bisa begitu saja dapat diselesaikan hanya dengan program makan bergizi gratis.

“Tantangan terbesar upaya pemenuhan gizi adalah koordinasi, dan ini mengemuka saat Setwapres melakukan evaluasi Perpres Nomor 72 Tahun 2021 tentang penurunan stunting,” kata Junito kepada Tirto, Selasa (20/8).

Badan Gizi Nasional juga dinilai akan beririsan lewat koordinasi lembaga/kementerian lain. Pasalnya, saat ini sudah ada Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) yang dibentuk oleh pemerintah.

“Apakah nantinya badan ini akan berjalan sendiri tanpa TPPS? Atau bagaimana koordinasi di tingkat daerah? Selama ini pemberian makanan tambahan bergizi untuk balita merupakan bagian kerja-kerja puskesmas,” ujarnya.

Junito memaparkan, angka pemenuhan gizi masih rendah di daerah-daerah yang tercatat memiliki persentase penduduk miskin yang tinggi, seperti di NTT dan Papua. Dengan begini bisa dipahami pemenuhan gizi seimbang turut dipengaruhi faktor ekonomi masyarakat.

Di sisi lain, justru angka absolut stunting tertinggi ada di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Junito menyampaikan bahwa di Jawa Barat memiliki 7,45 persen penduduk miskin. Sedangkan penduduk miskin di Jawa Tengah serta Jawa Timur masing-masing 10,47 persen dan 9,79 persen.

“Persentase kemiskinan nasional Indonesia di 9,36 persen. Jawa Barat yang memiliki jumlah persentase penduduk miskin lebih baik, nyatanya angka absolut stunting terbesar. Bisa jadi persentase 7,45 itulah penyumbang stunting terbesar di Jawa Barat,” jelas Junito.

Menurut hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, proporsi remaja usia 13-15 tahun berstatus gizi pendek dan sangat pendek berimbang antara laki-laki dan perempuan, yaitu sebanyak 24,2 persen dan 24,1 persen. Sedangkan remaja laki-laki dan perempuan yang berstatus gizi kurang (thinness) dan gizi buruk (severely thinness) berdasarkan indeks massa tubuh menurut umur berturut-turut adalah 9,8 persen dan 5,4 persen.

Maka, kata Junito, terbukti kemiskinan memiliki pengaruh nyata atas pemenuhan gizi anak. Tetapi, bukan sebagai faktor tunggal penyebab stunting atau malanutrisi bagi anak. Wahana Visi Indonesia berharap hadirnya Badan Gizi Nasional dapat ambil peran dalam percepatan penuntasan masalah ini.

“Prevalensi stunting nasional dari tahun 2022 ke 2023 hanya turun 0,1 persen. Itu boleh dibilang stagnan. Jadi dengan adanya Badan Gizi Nasional ini harapannya bisa akselerasi pemenuhan gizi,” ujar Junito.

Tantangan Anggaran

Periset Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, menilai tantangan Badan Gizi Nasional adalah bagaimana bisa memanfaatkan anggaran sebesar Rp71 Triliun secara efektif dan bermanfaat bagi rakyat. Ia berharap program makan bergizi gratis tidak sekadar jadi program pemenuhan gizi, tapi juga sebagai sarana untuk mencapai diversifikasi pangan.

Maka Badan Gizi Nasional harus konsisten untuk mewujudkan diversifikasi dan kemandirian pangan. Program-program lembaga ini diharap dapat mempromosikan diversifikasi pangan berbasis komoditas lokal, sehingga meningkatkan kesadaran gizi masyarakat.

“Penggunaan jagung, sorgum, singkong, dan protein alternatif seperti ikan atau ayam lokal dapat mengurangi ketergantungan pada impor, sekaligus mendorong kemandirian pangan nasional,” kata Eliza kepada Tirto, Selasa (20/8).

Jika menu yang disediakan Badan Gizi Nasional justru tak memenuhi standar gizi dan memakai produk impor, maka perlu evaluasi yang serius. Eliza berpendapat ujung tombak keberhasilan program pemenuhan gizi ini ada di level daerah, sehingga pusat seharusnya sebatas memberikan pengarahan, monitoring, dan dukungan anggaran ke daerah.

“Akan sangat penting jika Rp71 Triliun tersebut turut dianggarkan untuk kapasitas sumber daya manusia, terutama di level daerah, agar knowledge pemerintah pusat dan daerah ini levelnya sama,” ujarnya.

Eliza mengingatkan bahwa masalah pemenuhan gizi tidak terkait sektor kesehatan semata, tapi beririsan dengan sektor pertanian dan pendidikan. Badan Gizi Nasional diharap dapat menjadi fasilitator koordinasi yang lebih baik dari kementerian/lembaga terkait.

“Jika Badan Gizi Nasional merencanakan program peningkatan gizi namun tidak didukung sektor pertanian sebagai penyedia bahan pangannya, ya peningkatan gizi sesuai konteks lokal ini tidak akan tercapai. Maka dari itu dibutuhkan strategi komprehensif dan semua K/L memiliki tujuan yang sama,” pesan Eliza.

Sementara itu, Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai adaptasi Badan Gizi Nasional akan memakan waktu yang cukup lama untuk dapat berjalan efektif. Dalam waktu 4 bulan hingga awal tahun depan, kata dia, adalah periode yang sangat pendek untuk mempersiapkan organisasi sekaligus kematangan program.

“Anggaran Rp71 triliun merupakan anggaran besar dan Badan Gizi Nasional punya tanggung jawab besar untuk melaksanakan program makan bergizi gratis. Saya rasa tidak elok untuk mengambil anggaran dari Rp71 triliun untuk operasional dari lembaga ini juga, harusnya di luar itu,” kata Huda kepada Tirto, Selasa.

Huda menduga, pembentukan Badan Gizi Nasional masih berlandaskan bagi-bagi jabatan, sebab Dadan Hindayana juga merupakan tim Prabowo-Gibran di Pilpres 2024. Badan Gizi Nasional juga dibentuk berdasarkan Perpres, yang dapat dibubarkan sewaktu-waktu.

“Saya rasa jika tidak efektif nanti lebih baik dibubarkan saja Badan Gizi Nasional. Program makan bergizi gratis diserahkan ke Kementerian Sosial dan dijadikan program bansos,” usul Huda.

Mandat Jokowi

Presiden Jokowi ternyata menginginkan Badan Gizi Nasional tidak sekadar mengurus pelaksanaan program makan bergizi gratis. Jokowi meminta lembaga ini juga menjalankan tugas terkait budaya hidup sehat di masyarakat.

Pesan Jokowi ini disampaikan kepada Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, usai menemui Jokowi di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.

“Beliau inginkan agar Badan Gizi Nasional tidak cuma melaksanakan program makan bergizi gratis kepada anak sekolah, tapi lebih luas dari itu, utamanya budaya hidup sehat,” kata Dadan di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (20/8/2024) dikutip dari Antara.

Dadan mengatakan terdapat 82,9 juta penerima manfaat program makan bergizi gratis yang meliputi ibu hamil, ibu menyusui, balita, serta anak sekolah dari jenjang PAUD hingga SMA. Serta meliputi anak-anak di sekolah keagamaan.

“Intinya program makan bergizi ini akan diberikan kepada 82,9 juta penerima manfaat,” ujarnya.

 

Sumber: Badan Gizi Nasional Seyogianya Jangan Cuma Urus Janji Kampanye (tirto.id)


Related Articles