Bayang-bayang Buta Aksara pada Anak-anak di Asmat
Asmat merupakan daerah di Papua yang menghasilkan patung ukiran yang dikenal dunia. Namun, di balik kemegahan seni ukirnya, Asmat menghadapi tantangan terutama masa depan anak-anak, yang pendidikannya masih tertinggal.
Hari ini, hari ini,
hari nya Tuhan.
Mari kita, mari kita
bersukaria, bersukaria.
Hari ini, harinya Tuhan,
mari kita bersukaria.
Hari ini, hari ini,
harinya Tuhan.
Lagu ini dinyanyikan 12 anak berseragam sekolah dasar saat menyambut rombongan awak media dan Wahana Visi Indonesia, yang berkunjung ke Kampung Damen, Distrik Siret, Kabupaten Asmat, Papua, Selasa (21/6/2022) pagi.
Kendati berseragam SD, beberapa di antara anak-anak itu tampak berpostur tubuh dan wajah jauh lebih dewasa. Beberapa di antaranya mengaku berumur lebih 12 tahun. Bahkan, ada yang berusia sekitar 15 tahun masih duduk di kelas IV SD.
Tak hanya itu, sebagian besar anak-anak itu belum bisa membaca, menulis, dan berhitung, Edi Akamat (15) siswa kelas IV SD Negeri Damen baru bisa membaca di kelas empat. Soal berhitung dia pun belum begitu lancar. Kendati demikian, Edi bercita-cita menjadi polisi bila berkesempatan melanjutkan sekolah.
Bagi masyarakat Asmat dan Papua pada umumnya, anak SD berusia di atas 12 tahun merupakan hal lumrah. Berhenti sekolah, tertinggal kelas itu biasa. Sebagian masyarakat masih memandang sekolah bukan hal yang penting bagi anak-anak.
Tak heran pendidikan dasar anak-anak seperti di Damen merupakan salah satu pekerjaan rumah terbesar yang dihadapi Asmat. Tinggal di kampung yang terpisah jauh dari kampung lain, membuat anak-anak kampung tersebut terisolasi. Listrik pun baru ada dari genset yang dimiliki gereja dan kantor desa. Jaringan komunikasi pun belum ada.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Seorang anak duduk di tengah jembatan kayu yang menghubungkan Kampung Akamar, Kampung Warse dan Birak di Kecamatan Jetsy, Kabupaten Asmat, Papua, Rabu (22/6/2022).
Satu-satunya akses menuju kampung tetangga, yaitu melalui jalur sungai. Untuk sampai ke Damen, perjalanan dari Agats, ibu kota Asmat, membutuhkan waktu sekitar tiga jam dengan perahu motor 85 PK.
Seperti wilayah Asmat pada umumnya, seluruh wilayah Damen berupa rawa-rawa. Rumah dan jalan kampung dibangun sekitar dua meter dari atas permukaan rawa. Semuanya terbuat dari kayu. Baik rumah maupun jembatan terhubung satu sama lain. Beberapa jembatan kayu sudah mulai lapuk, dan harus berhati-hati melewatinya.
Baca Juga: Tingkatkan Gizi Anak, Peternakan Ayam Dibangun di 10 Kampung Asmat
Pada 2018, Damen termasuk daerah di Asmat, yang mengalami kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk. Selain masalah kesehatan, pendidikan pun masih menjadi tantangan di kampung tersebut.
Bagi anak-anak yang tinggal di pelosok hutan ini, kesempatan mendapat pendidikan di sejak usia dini masih merupakan anugerah. Untuk menikmati pendidikan dasar saja, membutuhkan perjuangan berat dan dukungan kuat dari orangtua.
Tidak semua anak bisa lulus sekolah dasar, apalagi melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Jika ada yang melanjutkan ke jenjang SMP, SMA, hingga kuliah itu hanya hitungan jari. Itu pun hanyalah anak-anak dari kepala desa dan pemimpin di desa, atau keluarga yang benar-benar mampu.
Regina Taobire (17), misalnya, baru saja lulus SD tahun ini. Dengan usianya, pada umumnya anak-anak di Indonesia sudah di bangku SMA. Sejak tiga tahun lalu sebenarnya dia sudah lulus SD. Ia melewatkan dua kali ujian akhir SD karena berada di tengah hutan bersama orangtuanya yang mencari pohon gaharu. Ayahnya bekerja mencari pohon gaharu sehingga tinggal di hutan sekitar enam bulan hingga satu tahun baru kembali ke kampung.
Di hutan Regina dan keluarganya tinggal di pondok sementara (bivak). Tidak hanya keluarga Regina, tapi juga beberapa keluarga tinggal di hutan mencari pohon gaharu. ”Di hutan kami minum dan memasak pakai air dari kali,” cerita Regina.
Kendati sempat tertinggal di SD beberapa tahun, Regina ingin melanjutkan sekolah agar kelak bisa menjadi guru di desanya. Keinginan Regina dikabulkan orangtuanya. Menurut rencana, Regina akan mendaftarkannya ke SMP di Agats, pada tahun ajaran baru 2022/2023.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Sejumlah anak di Kampung Birak, Distrik Jetsy, Kabupaten Asmat, Papua, bermain di lapangan olahraga, Rabu (22/6/2022) siang. Lapangan yang terbuat dari papan yang berdiri di atas permukaan rawa-rawa, merupakan bantuan Pembaca Harian Kompas melalui Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas.
Belum jadi kebutuhan
Petrus Fumori (45), Sekretaris Kampung Damen mengakui pendidikan masih menjadi tantangan. Kesadaran orangtua untuk menyekolahkan anak masih sangat rendah. Kalaupun didaftarkan sekolah, belum tentu benar-benar ke sekolah. Sebab anak-anak sering diboyong orangtua mencari sagu dan tinggal di bivak dalam waktu lama, atau masuk keluar hutan mencari pohon gaharu.
Kondisi ini membuat anak dalam situasi rentan. Selain putus sekolah, kesehatan mereka juga terganggu. Bahkan, ada yang sakit dan meninggal, karena kondisi bivak yang tidak sehat, dan tidak mendapat asupan makanan bergizi.
”Pemerintah kampung berusaha ajak orangtua supaya tiap hari pulang kampung, Tapi orangtua itu tidak tahu anak disekolahkan itu untuk apa,” ujar Petrus.
Petrus mengungkapkan sekolah baru mulai masuk di wilayah Damen, sekitar tahun 2007. Namun, tidak mudah meyakinkan orangtua untuk menyekolahkan anak-anak mereka atau meminta orangtua jangan membawa anak-anaknya ke hutan. Ketika mereka kehabisan bahan makanan, mereka akan meninggalkan rumah beserta anak-anak. Di Damen sendiri hanya ada dua guru SD.
Situasi pendidikan di Kampung Akamar, Warse, dan Birak, di Distrik Jetsy yang ditempuh satu jam berperahu motor dari Damen, tak jauh berbeda. Meskipun daerah ini sudah agak lebih maju, pendidikan anak juga masih terkendala.
Di kampung ini, ada sebuah SD Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) St Fransiskus Xaverius Warse, dengan lima guru termasuk kepala sekolah. Hanya dua orang berstatus aparatur sipil negara dan sele Sisanya guru dari yayasan. Jumlah siswa 139 orang.
Namun, tiap hari ada saja murid yang tidak datang ke sekolah, dengan berbagai alasan. Begitu juga siswa yang melanjutkan pendidikan dari tahun ke tahun berkurang. Ketika berada di kelas IV hingga kelas VI tinggal beberapa orang.
”Sekarang yang di kelas VI tinggal lima murid. Banyak berhenti sekolah, karena jaga adik-adiknya atau diajak orangtua mencari sagu di hutan, tinggal di bivak sehingga tidak sekolah lagi,” ujar Blandina Kanubun (39) guru kelas II SD YPPK Warse.
Putus sekolah
Kondisi itu membuat mayoritas anak-anak di Asmat baru menyelesaikan SD di atas 15 tahun. Kemampuan membaca, menulis, dan berhitung pun sangat rendah. Rata-rata baru di kelas IV SD mereka mulai mengenal huruf, menulis, dan berhitung.
”Biasanya kelas IV SD sudah putus sekolah karena pekerjaan orangtuanya yang tidak menentu, sering berpindah tempat,” ujar Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Asmat, Barbalina Touisuta, Senin (20/6).
Di Asmat, umumnya masyarakat bekerja sebagai peramu, yakni mencari makan di daerah tempat dia tinggal seperti mencari sagu, menangkap ikap, atau berburu hewan. Jika habis mereka akan berpindah tempat lain. Selain itu juga mencari gaharu.
Demi mendapatkan uang, sejumlah keluarga di Asmat seperti di Kampung Damen, meninggalkan kampung berbulan-bulan bahkan sampai setahun. Seluruh keluarga dibawa, termasuk anak-anak. Tidak hanya tumbuh kembang anak yang terganggu, pendidikan dan kesehatan anak-anak, serta masa depan anak pun menjadi taruhan.
Hingga kini, menurut Barbalina, angka putus sekolah di Asmat masih besar. ”Rata-rata per tahun ada sekitar 25 persen anak yang putus sekolah. Pemerintah daerah berusaha menggandeng tokoh masyarakat dan gereja, berkolaborasi untuk mengurangi angka putus sekolah,” kata Barbalina.
Data Dinas Pendidikan Kabupaten Asmat, hingga kini di 23 distrik terdapat 136 SD dengan 20.858 siswa dan 19 SMP dengan 3.044 siswa. Jumlah guru SD-SMP ada 400-an orang, termasuk guru kontrak dan honorer.
Salah satu pekerjaan berat di bidang pendidikan di Asmat, yaitu bebas dari buta aksara. Selain pendidikan formal, mengajarkan anak-anak melalui pendidikan informal menjadi jalan untuk mengajarkan anak-anak membaca, menulis, dan berhitung.
Seorang remaja putri di Kampung Damen, Distrik Siret, Asmat, Papua mengambil bahan sagu langsung dari pohon sagu, yang baru ditebang warga, Selasa (21/7/2022). Sagu adalah makanan pokok masyarakat Asmat, terutama di Damen yang kampungnya jauh terpencil dari ibu kota Kabupaten Asmat.
Ketika KLB campak dan gizi buruk tahun 2018, WVI mendapati selain persoalan kesehatan dan lingkungan, anak-anak Asmat menghadapi persoalan pendidikan, yakni masih banyak anak-anak yang buta aksara.
”Kami menemukan banyak anak tidak bisa membaca, menulis, dan berhitung. Itu salah satu penyebab kami sulit melakukan penyuluhan dalam membangun kesadaran masyarakat,” kata Hotmianida Panjaitan, Pelaksana Tugas General Manager Wilayah Papua, WVI.
Karena itu, selain melakukan berbagai program untuk mencegah berlanjutnya KLB gizi buruk dan campak, pendidikan anak-anak di Asmat juga dapat perhatian khusus. Sejak Mei 2018 WVI bekerja sama dengan Keuskupan Agats menempatkan staf WVI di kampung-kampung tersebut, tinggal bersama masyarakat setempat, dan mengajar anak-anak saat tidak ke sekolah. Bahkan, mulai tahun 2021, WVI berfokus pada program wahana literasi.
”Biasanya kami mengajar anak-anak tiga kali seminggu melalui kegiatan pojok baca. Kami mengajarkan anak-anak dari kelas kecil sampai kelas VI, tentang pengetahuan huruf dan kesadaran fonem (bunyi),” ujar Osto Avian Antonius (28), fasilitator pendamping WVI di Damen.
Tantangannya, menurut Osto, kemampuan anak-anak berbeda-beda. Ada yang lancar belajar, tetapi ada juga yang lambat.
Membangun kesadaran
Uskup Agats, Mgr Aloysius Murwito, mengungkapkan wilayah Asmat adalah wilayah unik. Selain tidak memiliki daratan, cara hidup masyarakat pun berbeda dengan masyarakat umumnya. Hidup yang sangat bergantung pada alam. Makanan tersedia sagu di hutan, dan ikan-ikan di sungai dan laut. Kondisi ini membuat masyarakat puas dengan kehidupannya.
- ”Hidup mereka tidak ditantang untuk berjuang, seperti masyarakat di wilayah pegunungan yang harus mengolah tanah. Mereka merasa tidak butuh apa-apa, termasuk sekolah. Kebutuhan sekolah justru membebankan. Tapi, bukan karena Asmat bodoh. Seni patung Asmat menunjukkan mereka memiliki daya cipta tinggi.
Murwito menegaskan, pendidikan di Asmat bukan sekadar persoalan transfer ilmu dan pengetahuan, tetapi tantangannya adalah bagaimana mengubah cara berpikir masyarakat, terutama untuk menyekolahkan anak-anak. Keusukupan Agats hingga kini telah membuka sekolah dari tingkat TK-SMA. Saat ini ada 5 TK, 24 SD, 2 SMP, dan SMA yang dibawa YPPK Agats.
Namun, sejauh ini target pencapaian pendidikan diakui masih jauh dari harapan. ”Literasi dasar belum selesai. Duduk di kelas VI SD belum jaminan bisa baca, tulis, dan berhitung. Maka, dengan program wahana literasi kami berharap nantinya anak-anak lulus SD sudah bisa baca tulis,” ujar Murwito.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Bupati Asmat, Elisa Kambu
Bupati Asmat Elisa Kambu mengakui membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya masa depan anak-anak menjadi tantangan terbesar pemerintah daerah. ”Mereka masih terlalu percaya pada potensi sumber daya alam mereka. Itu saya bisa buktikan. Mereka selalu membawa keluarga mendekat pada sumber atau tempat untuk mendapatkan makanan. Sagu ada di mana. Tempat untuk mudah mendapatkan ikan di mana. Mereka langsung bawa semua tinggal ke bivak,” ujar Elisa.
Pemerintah hingga kini berupaya membangun kesadaran masyarakat dengan berbagai pendekatan, agar tidak pergi jauh dari rumah dalam mendapatkan makanan. Selain memberikan bantuan alat-alat bercocok tanam, bibit sayuran, keluarga di Asmat juga diberikan alat menangkap ikan agar bisa tangkap ikan lebih banyak dan bisa menjual.
”Kalau tidak, mereka lebih banyak tinggal jauh dari kampung, nanti pulang kalau ada pesta. Padahal, sekolah anak sudah tertinggal. Jadi, tantangannya pada kesadaran orangtua. Mereka bawa anak ke hutan. Kalau kita tahan, mereka akan bilang kau kasih makankah?” papar Elisa.
Karena itu, ia berharap dukungan berbagai organisasi/lembaga untuk meningkatkan pendidikan di Asmat, membebaskan anak-anak Asmat dari buta aksara akan semakin mendorong perubahan yang lebih baik.
Ini pun perlu diikuti perubahan cara pandang dan membangun kesadaran masyarakat. Perlu benar-benar ditanamkan bahwa pendidikan merupakan jalan untuk masa depan anak-anak Asmat yang lebih baik.
Editor:
ICHWAN SUSANTO