Di Balik Penolakan Makan Gratis di Papua: Ketimpangan Pendidikan dan Trauma Konflik

Di Balik Penolakan Makan Gratis di Papua: Ketimpangan Pendidikan dan Trauma Konflik

“Kami Tidak Butuh Makan Gratis, Kami Butuh Pendidikan!”

Demikian bunyi tuntutan dalam spanduk berukuran 4x2 meter yang dibentangkan siswa-siswa di Tanah Papua saat menggelar aksi demonstrasi menolak program Makan Bergizi Gratis atau MBG pada 17 Februari 2025.

Aksi demonstrasi yang rata-rata diikuti ratusan siswa SMA itu terjadi di Kota Jayapura, Provinsi Papua; Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan; serta di Kabupaten Nabire dan Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua Tengah. Tuntutan mereka sama, yaitu menolak MBG dan meminta pemerataan fasilitas pendidikan.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, pendidikan di Bumi Cenderawasih memang menjadi persoalan krusial. Maka tak heran jika ratusan siswa lebih menuntut pendidikan ketimbang menerima program MBG.

“Kami menilai bahwa program MBG bukanlah solusi yang tepat untuk mengatasi masalah pendidikan di Tanah Papua,” kata Ubaid kepada Suara.com, Rabu (19/2/2025).

Persoalan pemerataan pendidikan di Tanah Papua ini setidaknya juga tercermin dari tingkat literasi di sana. Secara umum menurut hasil riset Wahana Visi Indonesia (WVI) provinsi-provinsi di Tanah Papua merupakan wilayah dengan tingkat literasi paling rendah se-Indonesia.

Ketimpangan pendidikan di Papua juga dapat terlihat dari Indeks Pembangunan Manusia atau IPM. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2024 menunjukkan Provinsi Papua Pegunungan merupakan wilayah dengan IPM terendah dengan nilai 54,43. Sementara IPM tertinggi adalah Jakarta dengan nilai 84,15.

Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengungkap faktor di balik rendahnya IPM di Papua Pegunungan karena rata-rata penduduk yang berusia 25 tahun ke atas hanya bersekolah hingga kelas 4 SD.

Siswa mengantre untuk mendapatkan menu makan bergizi gratis perdana di SD Santo Michael Bilogae, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, Senin (20/1/2025). [ANTARA FOTO/Martinus Eguay/app/tom]

Siswa mengantre untuk mendapatkan makan bergizi gratis perdana di SD Santo Michael Bilogae, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, Senin (20/1/2025). [Antara/Martinus Eguay/app/tom]

Melihat realitas tersebut, Ubaid menyarankan pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap program MBG. Sebab tidak semua wilayah menurutnya membutuhkan program tersebut dibanding pendidikan.

“Lakukan dengan tepat sasaran, sebab tidak semua anak atau wilayah punya problem kekurangan gizi. Banyak anak dan juga wilayah yang butuh kebijakan pendidikan bebas biaya,” tuturnya.

Ketidakpercayaan dan Trauma Terhadap Militer

Selain masalah pendidikan yang dinilai lebih penting di Papua, penolakan terhadap program MBG tidak terlepas dari adanya trauma. Anggota Komisi IX DPR RI Paulus Ubruangge menyebut di Provinsi Papua Pegunungan dan Papua Tengah banyak masyarakat yang trauma terhadap makanan dan minuman.

“Di warung maupun di kios-kios itu mereka beli air, habis minum orangnya meninggal. Kemudian beli jajan, habis makan meninggal, itu biasa terjadi di Papua. Itu trauma yang dalam di dua provinsi itu,” ungkap Paulus.

Anggota DPR RI dari daerah pemilihan Provinsi Papua Pegunungan ini menilai pelibatan TNI dalam pendistribusian program MBG di Tanah Papua juga menjadi salah satu faktor lainnya. Sebab beberapa orang di Papua juga memiliki masalah terkait ketidakpercayaan pada militer di tengah situasi konflik yang terjadi. Karena itu, Paulus menyarankan pemerintah agar program MBG di Provinsi Papua Pegunungan dan Papua Tengah dialihkan menjadi sekolah gratis.

“MBG ini program yang bagus, tapi yang sekarang diambil alih sama TNI ini walaupun dipaksa anak-anak tidak akan makan dan itu kita hanya buang-buang uang negara," ungkapnya.

Pelibatan TNI dalam program MBG sejak awal telah dikritik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Wakil Ketua YLBHI Arif Maulana menilai selain di Papua, pelibatan TNI dalam program MBG di daerah-daerah lain juga tidak bisa dibenarkan.

“Karena ini bukan tugas pokok dan fungsi TNI berdasar konstitusi dan UU TNI,” jelas Arif kepada Suara.com.

Terlebih pelibatan TNI dalam program MBG di Papua. Arif menilai itu hanya semakin memperparah rasa trauma masyarakat.

“Kita tahu bahwa Papua daerah konflik ada permasalahan kekerasan oleh aparat kemanan baik Polri atau TNI yang sangat tinggi dan itu mengakibatkan ketidakpercayaan dan trauma dari masyarakat,” bebernya.

Sedangkan Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin sempat mengungkap alasan di balik pelibatan TNI dalam program MBG. Salah satunya karena pertimbangan keamanan.

"Jadi kita perlu supaya dapur-dapur ini dikerjakan oleh satuan tugas teritorialnya TNI Angkatan Darat," kata Sjafrie di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/2).

Makan, Pendidikan dan Kesehatan

Guru besar Ilmu Sosiologi dari Universitas Cendrawasih (Uncen) Avelinus Lefaan mengatakan, tidak semua masyarakat di Tanah Papua memiliki trauma dengan militer. Rasa trauma itu biasanya hanya dialami masyarakat yang berada di daerah-daerah konflik di Papua.

“Saya pikir tidak semua masyarakat Papua menolak militer. Hanya daerah-daerah mungkin yang konflik itu saja,” ujar Avelinus kepada Suara.com.

Pendistribusian program MBG, kata Avelinus, sebenarnya bisa dilakukan TNI di daerah-daerah di luar konflik yang memang mereka dapat menerima keberadaannya. Sementara di daerah-daerah konflik, pemerintah menurutnya bisa melibatkan tokoh masyarakat yang memang dipercayai warga. Namun tetap harus mendapat pengawasan agar benar-benar terdistrubusi dengan baik.

Avelinus menilai program MBG memang diperlukan di Papua. Sekalipun orang Papua dapat makan tanpa adanya program tersebut.

“Masyarakat Papua tanpa dikasih makan dia bisa hidup. Hanya persoalan kita mencari gizi yang berkualitas itu. Makanan-makanan tradisional itu kan harus dikemas secara baik, sehingga kita bisa mendapatkan gizi,” tuturnya.

Avelinus juga menyinggung soal IPM di Papua yang rendah. Menurut pendapat dia, demi meningkatkan itu tidak hanya cukup lewat program MBG. Tapi pemerintah juga harus memikirkan persoalan pendidikan dan kesehatan di Papua yang juga jauh tertinggal dari provinsi-provinsi lain.

“Ketiga variabel itu sangat berkaitan. Kenapa Indeks Pembangunan Manusia Papua itu rendah? Karena kesehatan, pendidikan dan gizinya itu rendah. Oleh sebab itu hal-hal tersebut harus disupport pemerintah,” tandasnya.

 

Sumber: https://liks.suara.com/read/2025/02/19/133739/di-balik-penolakan-makan-gratis-di-papua-ketimpangan-pendidikan-dan-trauma-konflik


Related Articles