Katakan Cukup pada Tengkes dan Permasalahan Gizi Anak

Katakan Cukup pada Tengkes dan Permasalahan Gizi Anak

Pada awal 2024, sebanyak 93 peneliti anak yang berasal dari 11 provinsi didampingi oleh tim peneliti Wahana Visi Indonesia (WVI) melakukan penelitian terhadap kondisi tengkes (stunting), gizi buruk, dan perkawinan usia anak. Penelitian yang mengumpulkan data dari 34 provinsi ini telah dipaparkan di depan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Kesehatan, serta berbagai pemangku kepentingan lain.

Dari 6.875 kuesioner yang dapat digunakan, ditemukan bahwa ada 44 persen anak yang merasa lapar di malam hari karena tidak ada makanan. Sekitar 27 persen anak tidak punya cukup uang jajan atau membawa bekal ke sekolah dan 18 persen anak pernah merasa lapar karena kehabisan makanan di rumah.

Temuan-temuan tersebut merupakan sebagian dari hasil penelitian yang dilakukan anak terhadap kawan-kawan seusia mereka. Selain keterbatasan akses terhadap makanan, khususnya bagi anak-anak perempuan, mereka juga mayoritas belum mendapatkan tablet penambah darah secara rutin. Hal-hal tersebut, jika dibiarkan terus berlangsung pada anak, akan berdampak terhadap kondisi kesehatan bangsa ini.

Target Indonesia untuk menurunkan angka tengkes hingga 14 persen pada 2024 belum berhasil dan hingga kini masih di angka 20 persen. Angka obesitas pada anak juga terus meningkat. Ini menunjukkan bahwa asupan gizi anak tidak seimbang. Gula, garam, dan lemak jauh lebih mudah didapatkan, sementara protein tidak terkejar. Anak sangat mudah membeli jajanan di sekitarnya dengan asupan gizi yang tidak diperhatikan, sementara orang dewasa memiliki pemahaman terbatas akan makanan sehat.

Dengan kondisi seperti itu, bagaimana kita akan memenuhi target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dalam lima tahun ini? Tentu saja tidak ada yang tidak mungkin. Menurut Sumarjati Arjoso, pemerhati tumbuh kembang anak, seperti yang disampaikannya dalam acara peluncuran program Enough, good governance adalah kuncinya. Memenuhi kebutuhan gizi anak bukan hanya tanggung jawab orangtua, melainkan seluruh lapisan masyarakat, baik pemerintah, komunitas, maupun sektor swasta.

Jangan Biarkan Ayam Mati Di Lumbung Padi

Banyak wilayah di di Indonesia yang penduduknya mengalami malanutrisi, kelaparan, dan angka tengkesnya tinggi, ironisnya merupakan daerah yang memiliki potensi sumber daya yang baik. Asmat, misalnya, wilayah ini memiliki potensi yang tinggi dengan banyaknya pohon sagu, kelapa, dan tanaman hortikultura lain.

Selain itu, masyarakat Asmat juga memiliki kebiasaan menangkap ikan atau berburu hewan di hutan untuk pemenuhan kebutuhan makan keluarga. Sebagian besar wilayahnya adalah rawa-rawa sehingga secara teori seharusnya memiliki sumber daya makanan yang cukup. Namun, hingga kini permasalahan pemenuhan gizi di sana masih belum tuntas juga. Diperlukan keterlibatan lebih banyak pihak, termasuk pemerintah, karena akses yang terbatas ke Asmat sehingga potensi besar yang dimiliki belum dapat dikelola secara optimal. Ironi ayam mati di lumbung padi ini seharusnya tidak boleh terjadi di negeri kita. Apalagi jika yang menjadi korbannya adalah anak-anak.

WVI telah memiliki program Kebun Gizi Apung di Asmat. Namun, harus diakui program ini baru menjadi salah satu solusi kecil yang belum dapat menyelesaikan pekerjaan rumah besarnya. Pendampingan yang dilakukan oleh WVI juga belum dapat menjangkau berbagai pemangku kepentingan untuk dapat memberikan dampak yang diharapkan.

Ironi ayam mati di lumbung padi ini seharusnya tidak boleh terjadi di negeri kita. Apalagi jika yang menjadi korbannya adalah anak-anak. Kita semua harus berani dan berkomitmen untuk mengatakan cukup pada kondisi gizi cukup, untuk meraih masa depan mereka.

Pemenuhan gizi dengan memperhatikan keragaman sumber daya adalah hal yang mutlak untuk kita lakukan. Memaksakan setiap orang mengonsumsi makanan yang sama sebagai sebuah standar makanan sehat harus kita hentikan. Di Papua, misalnya, ketika masyarakat sudah secara turuntemurun makan sagu, maka memaksa mengganti dengan beras atau nasi tentu bukan sebuah upaya bijak.

Pengelolaan sumber daya harus dilakukan agar masyarakat dapat memaksimalkan sumber daya terdekat. Diversifikasi pangan dapat menjadi upaya memastikan kebutuhan pangan tercukupi di Indonesia, tetapi belum dilakukan secara serius oleh pemerintah. Pengelolaan pangan saat ini yang hanya berfokus pada komoditas tertentu pada dasarnya bertentangan dengan tradisi dan budaya masyarakat Indonesia yang sejak dulu mampu bertahan dengan ragam pangan lokalnya.

Kerawanan pangan, kurang gizi, tengkes, dan semua permasalahan terkait pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan bagi anak memang terbukti tidak pernah dapat diselesaikan oleh satu pihak saja. Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah juga belum menyelesaikan permasalahan ini. Upaya pemerintah yang berfokus pada komoditas pangan utama saja, ketika produksinya bermasalah, maka akan menyebabkan kerentanan pangan secara nasional.

Lima tahun adalah waktu yang singkat untuk mengatasi ketertinggalan kita. Seluruh elemen masyarakat harus bergerak dalam upaya pemenuhan kebutuhan gizi anak. Masyarakat awam harus diberikan pemahaman tentang pentingnya memenuhi kebutuhan pangan, sementara pemerintah harus menggunakan segala upaya yang dimiliki untuk memenuhinya.

Pemerintah telah membentuk Badan Gizi Nasional yang diharapkan menjadi upaya konkret untuk mewujudkan komitmen pemenuhan hak pangan rakyat. Bersama-sama kita bisa mengawal upaya pemenuhan gizi, terutama untuk anak dan penurunan, atau bahkan penghapusan tengkes. Jika ingin kondisi Indonesia Emas 2045 tercapai, sekarang saatnya kita katakan cukup pada tengkes dan permasalahan gizi lain pada anak!

Angelina Theodora, Direktur Nasional Wahana Visi Indonesia

 

Sumber: https://www.kompas.id/artikel/katakan-cukup-pada-tengkes-dan-permasalahan-gizi-anak


Related Articles