Mereka yang Membangun Pendidikan Inklusif dari Akar Rumput

Bu Melati, salah satu kader Wahana Visi Indonesia, menceritakan kerja-kerja sosialnya sebagai pendamping puluhan anak di kelompok belajar anak dan upayanya menjadi aktivis PATBM. tirto.id/Fadli
tirto.id - Tahun-tahun penuh sukaria yang dijalani Sofia di sekolah lenyap begitu saja ketika ia menyadari tulang belakang tak lagi kuat menopang tubuhnya. Di pertengahan tahun ajaran kelas 2 SMA, ia memutuskan berhenti bersekolah.
Padahal, sejak SD, Sofia selalu berjalan kaki pergi ke sekolah, tanpa kesulitan menyusuri jalan berbalut semen yang bolong di sana-sini, melewati kios-kios sembako di kanan-kiri jalan. Jalan menuju sekolahnya cukup dekat untuk ia jangkau, setidaknya sampai menginjak usia SMP.
Namun, memasuki SMA, Sofia mesti tertatih-tatih. Tak jarang ia tersungkur dengan sendirinya di halaman sekolah, tiada angin, tiada hujan. Hal itu tak lain dikarenakan oleh penyakit tulang belakangnya yang mulai menampakkan diri, menyeruak, dan menjelma petaka.
Akhirnya, meski berat, ia terpaksa putar balik di tengah jalan: putus sekolah. Tekanan tak langsung dari sebaya di lingkungan sekitarnya, termasuk di sekolah, membuatnya tak kuasa.
"Malu," tukasnya singkat, Selasa (9/9/2025).
Tirto berkesempatan berbincang bersama Sofia di kediamannya yang terletak di tengah kepadatan permukiman Kota Palu, di sela-sela pertokoan dan pasar.
Di rumah berukuran sekitar lima meter persegi itu, Sofia tinggal bersama empat keluarga sekaligus. Selain bapak-ibunya, keluarga keponakan dan pamannya tinggal seatap dengannya. Sesekali, keponakannya yang lain juga mampir berkunjung dan menginap.
Meski begitu, Sofia enggan meninggalkan keluarga intinya, terlebih jika ada yang mengajaknya pergi jauh. Karena itu pula, ketika Wahana Visi Indonesia menganjurkan agar memeriksakan kondisi kesehatannya ke seberang provinsi, Makassar, ia sukar mengiyakan. Organisasi kemanusiaan Kristen yang berfokus pada isu anak, keluarga rentan, dan perempuan, tersebut sebenarnya mengajak Sofia secara cuma-cuma.
Setelah dibujuk lama, ia sempat mengangguk. Namun, kerentanan kesehatan sang ibu membuat Sofia terpaksa mengurungkan niatnya. Ibunya mengalami sakit yang ditengarai serupa dengan yang dialaminya, bahkan kini lumpuh dan hanya terbujur lunglai di kamar. Sama halnya dengan Sofia, ibunya juga sukar mendapat akses pemeriksaan yang layak.
Satu-satunya harapan Sofia ada di pundak sang ayah. Ia pun hanya mau pergi kalau ayahnya menemani.
"Kalau saya menemani Sofia, terus ibunya bagaimana di sini?" ungkap ayah Sofia, bercerita sembari duduk di kursi plastik yang khas dipakai di acara kenduri. Suaranya yang parau berselingan dengan gaung azan Magrib Kota Palu.
Oleh karena itu, sampai sekarang tidak ada yang tahu pasti penyakit spesifik yang menderanya. Begitu pula sang ibu. Ada yang bilang masalah kesehatan yang turun-temurun. Ada yang mengindikasikan itu sebagai problem pengeroposan tulang.
Masih Ada Jalan selain Pendidikan Formal
Sejak meninggalkan bangku sekolah, Sofia amat jarang keluar rumah, terlebih dengan kondisi fisiknya yang mulai memburuk. Ia tak lagi aktif seperti dulu.
Semasa SD, Sofia cukup rajin mengikuti kegiatan di dalam dan luar sekolah. Ia sudah menjadi anak bimbingan Wahana Visi Indonesia sejak kelas tiga sekolah dasar dan bergabung dengan kelompok belajar anak atau biasa disingkat KBA.
Tubuhnya masih lincah kala itu. Ia bahkan mengikuti kelas informal menari di kelompok tersebut.
Sayang, lagi-lagi keterbatasan fisik menghambat hobinya. Bahkan akhirnya sekolahnya pun terbengkalai.
Walakin, Wahana Visi Indonesia tak lepas tangan. Para kader dan pendamping terus membujuk Sofia agar bisa aktif berkegiatan di tengah keterbatasan. Salah satunya dengan menawarkan program Kejar Paket C dan keterampilan kerja.
Dari beberapa opsi yang disodorkan, Sofia memilih kursus tata rias. Ketertarikannya terhadap seni merias muncul di sela-sela kegiatannya di rumah: menonton video TikTok tutorial make-up.
"[Ujian Paket C] rame [orang]. Kalau rame saya malu," ujarnya setengah berbisik. Ia masih terbayang ketidakpercayaan dirinya semasa sekolah. Sejak itu pula ia memilih menghindari keramaian, apa pun kegiatannya.
Pelatihan merias yang diikuti Sofia sepenuhnya dibiayai oleh Wahana Visi Indonesia. Untuk bisa mendapatkan sertifikat merias, ia mesti mengikuti 10 pertemuan penuh.
Sayangnya, jadwal dari pemilik salon tempatnya kursus tidak menentu, bergantung pada kesibukan si tutor. Kadang kala sepekan ia bisa hadir dua kali. Tapi, pernah pula seminggu hanya disuruh hadir sekali.
Meski demikian, setidaknya ia merasa nyaman dengan pelatihan privat tata rias. Hanya dirinya, seorang model rias, dan si tutor. Sofia tak merasa malu kalau hanya dua atau tiga orang yang berada di sekitarnya.
Tak hanya melatih keterampilannya merias, pihak penyedia kursus juga mengganti model wajahnya saban hari. Dengan begitu, harapannya, Sofia bisa memupuk kepercayaan diri dan kemampuan bersosialisasinya, sedikit demi sedikit.
Kegiatan Sofia mengikuti kursus merias dengan salah satu model wajah yang disediakan oleh Salon Firman. (Sumber: Dokumentasi Pribadi Wahana Visi Indonesia)
Sama halnya dengan orang yang butuh bantuan tangga atau elevator untuk bisa naik ke bangunan tinggi, Sofia dan orang-orang disabilitas lain juga membutuhkan bantuan. Hanya alat bantunya saja yang berlainan satu sama lain.
Dalam kasus Sofia, misalnya, ia membutuhkan bantuan orang lain untuk sekadar berdiri dan berjalan, juga mobil yang mengantarnya ke tempat kursus merias.
Adalah sang ayah yang setia mendampingi Sofia dan membantunya berkegiatan sehari-hari, di tengah-tengah kesibukannya sebagai tulang punggung keluarga.
"Iya, saya temani [kalau pergi kursus merias]. [Saya] mendukung kegiatan Sofia," kata ayah Sofia. Nadanya terdengar lebih semangat ketika membicarakan Sofia yang mulai bersemangat berkegiatan, setelah dua tahun lamanya sang anak mengurung diri di rumah, jarang keluar rumah.
"[Saya berharap kemampuan] dia bisa meningkat lagi. Bisa berdaya Sofianya," ucapnya, penuh harap.
Memfasilitasi yang Tak Difasilitasi
Di seberang kabupaten, tepatnya di Kabupaten Parigi Moutong, Supriadin menjalani perannya sebagai pendamping anak-anak. Salah satunya melalui kelompok belajar anak.
Sebagai tunanetra, Adin--begitu ia biasa disapa--memang tak mungkin mengajarkan hal-hal yang sukar dilakukannya, seperti menggambar, melukis, atau fotografi. Karena itu, ia membimbing kelompok belajar anak lewat keterampilannya membuat kerajinan tangan, yakni menganyam.
Adin termasuk generasi tua di Sulawesi Tengah yang mengalami masalah serupa: putus sekolah. Ia hanya bersekolah formal sampai sekolah dasar.
Namun, berkat keikutsertaannya sebagai kader Wahana Visi Indonesia, Adin mampu memahami kebutuhan, bakat, cara berkomunikasi dengan anak-anak. Pelatihan yang diikutinya bersama organisasi nonpemerintah tersebut membuatnya mampu menurunkan wawasannya kepada anak dampingan di daerahnya.
Sejak 2012 pria berusia 42 tahun tersebut bergabung dengan Wahana Visi Indonesia sebagai kader. Ia sukarela mengikuti pelatihan dan membagikan pengetahuannya kepada anak-anak, tanpa uang komisi apalagi gaji.
Pria paruh baya, yang sehari-hari bekerja sebagai pembuat cum penjual es batu untuk para nelayan, tersebut tak mau anak-anak di desanya bernasib sama seperti dirinya: putus sekolah dan terbata-bata memandang masa depan.
Di Desa Ambesia, Kecamatan Tomini, Adin menyertai setidaknya 100-an anak. Semuanya ia dampingi, tanpa pandang ras dan agama, bertahun-tahun, sejak mereka putus sekolah sampai kemudian mau kembali bersekolah.
Tak hanya berhenti di permasalahan anak-anak, Adin juga turut andil dalam edukasi kepada para keluarga. Salah satunya agar orang tua anak mau memahami pentingnya pendidikan formal bagi sang buah hati.
Semuanya ia lakukan tanpa gaji ataupun uang akomodasi. Bahkan, tidak ada surat resmi dari pemerintah desa yang mengikatnya. Ia hanya melakukan hal baik atas dasar gerak hati.
"Kami kadang sosialisasi di saat posyandu. Apa [pun] yang bisa kami berikan dari PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat) kan: [membagikan] kira-kira selebaran apa [yang dibutuhkan], bagaimana untuk pengasuhan anak. Termasuk juga ada yang namanya itu pengasuhan dengan cinta. Itu setiap bulan rutin kami lakukan [bimbingan], namanya PSG (Parent Support Group) " tuturnya, ketika ditemui di kantor Wahana Visi Indonesia, Kamis (11/9/2025).
Adin adalah satu dari sekian banyak orang yang berdarah-darah di lapangan untuk mewujudkan cita-cita pendidikan yang merata dan inklusif, termasuk tentu saja bagi anak-anak dengan disabilitas.
Mengingat absennya keterlibatan pemerintah setempat, terutama urusan inklusivitas bagi anak-anak dengan disabilitas, Adin akhirnya memutuskan untuk membuat sendiri wadah sosial yang ramah difabel, medium yang merangkul semua jenis disabilitas. Ia menginisiasi pembentukan komunitas disabilitas yang disebut Solidaritas Difabel Berkarya.
Sampai ketika ia ditemui, jumlah penyandang disabilitas yang berpartisipasi di komunitas tersebut sudah menyentuh angka 70-an. Mereka biasa berkumpul di sekretariat Rumah Merah Putih (begitu Adin menamakannya), yang terletak di Kelurahan Nunu, Jalan Jati, No. 66, Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Adin tak bisa membersamai saban hari di sekretariat, mengingat rumah tinggalnya di Desa Ambesia, Parigi Moutong. Meski begitu, ia hampir selalu hadir setiap kali komunitas mengajaknya berkegiatan bersama teman-teman penyandang disabilitas, bahkan meski harus membelah jalan darat 263 kilometer jauhnya.
"Visi kami adalah bagaimana memberdayakan teman-teman disabilitas. Mungkin tunanetra bisa berbicara vokal, tapi kalau teman-teman tunagrahita kan pikirannya sedikit-sedikit. Jadi, kami saling menopang. Mereka (tunagrahita) yang menuntun jalan kami, kami yang bisa berbicara (mewakili mereka)," ujarnya dengan lugas.
Supriadin (42) ketika diwawancarai oleh Tirto di kantor Wahana Visi Indonesia, Kota Palu. tirto.id/Fadli
Adin merasa tak bisa berdiam diri dan hanya mengandalkan pemerintah. Sebagai orang yang turun sendiri ke lapangan dan mengetahui keadaan sebenarnya, ia enggan membiarkan masalah yang menerpa anak-anak terus berlarut-larut, termasuk kasus anak putus sekolah, pernikahan dini, dan kekerasan terhadap anak.
"Dari pemerintah desa, kecamatan, dan kabupaten, mereka cuman tahu program, tapi enggak ada [wujud nyatanya]. Eksekusi di lapangan [cenderung] kosong," tandasnya.
Adin berharap, pemerintah bisa bekerja nyata di akar rumput, tidak hanya menggembar-gemborkan program-program, apalagi cuma demi mengais apresiasi dan sanjungan padahal bukan mereka yang menangani di lapangan.
"Kami tidak perlu mereka ucapkan terima kasih, tapi setidaknya kami [berharap] diberikan support terus," tukasnya, berusaha menyulut perubahan dan aksi nyata dari pemerintah daerah terkait nasib anak-anak putus sekolah, termasuk difabel.
Demi Menciptakan Ruang Belajar Inklusif
Para penyandang disabilitas yang menjadi anak dampingan Wahana Visi Indonesia tersebar di penjuru wilayah, dari Kota Palu, Sigi, Donggala, hingga Parigi Moutong. Termasuk di antaranya adalah anak yang dibimbing oleh Melati, kader Wahana Visi Indonesia yang berdomisili di Desa Padende, Kabupaten Sigi.
Ia tak membeda-bedakan kondisi anak yang dibersamainya, termasuk penyandang disabilitas. Dari 30 anak yang didampingi oleh Melati, setidaknya ada satu yang punya keterbatasan fisik, tepatnya tunanetra.
Melati sudah belajar banyak hal dari Wahana Visi Indonesia, termasuk cara bersikap dan mengajar teman-teman disabilitas. Oleh karena itulah ia akhirnya memutuskan menggabungkan kegiatan antara anak non-difabel dan difabel dalam satu wadah, tanpa membedakan perlakuan, kecuali memang dibutuhkan untuk membantunya.
"Kami juga dididik bagaimana [mendampingi dan mengajar] anak-anak yang rentan seperti disabilitas," akunya, saat ditemui di kediamannya yang rindang, tepat di belakang Masjid Desa Pedende.
Bu Melati, salah satu kader Wahana Visi Indonesia, menceritakan kerja-kerja sosialnya sebagai pendamping puluhan anak di kelompok belajar anak dan upayanya menjadi aktivis PATBM. tirto.id/Fadli
Menurut Melati, si anak tunanetra tersebut punya bakat seni yang luar biasa. Salah satunya terlihat dari hobinya mendengarkan musik. Sejak itu Melati mengarahkannya agar bisa mengasah bakat bersama kawan-kawan yang lain di kelompok belajar anak.
Di tengah keterbatasan ruang dan kesibukannya sebagai guru SMP, Melati dengan sukarela menyediakan tempat bagi anak-anak untuk belajar di teras rumahnya. Tentu saja tidak semewah laboratorium belajar di pusat kota metropolitan, lantainya masih berbungkus tanah, hanya sebagian yang dipoles semen. Beberapa kursi plastik dan sofa bekas ditaruh di ruangan utama untuk bisa dijadikan tempat duduk anak-anak ketika berkumpul dan belajar.
Yang terpenting baginya, lingkungan itu inklusif bagi semua kalangan anak.
"[Satu anak difabel tersebut] ikut dalam kegiatan biasanya gitu. Bergabung. Anak-anak Padende ini sudah tidak seperti dulu sebelum mengenal Wahana Visi. Mereka sudah paham bahwa tidak boleh mem-bully dan tidak pula menertawakan anak-anak lain," jelasnya.