Pengakuan Haru Mahasiswa Papua Ingin Jadi Guru karena Sudah Tidak Ada Guru di Kampungnya

Pengakuan Haru Mahasiswa Papua Ingin Jadi Guru karena Sudah Tidak Ada Guru di Kampungnya

Mahasiwa Papua

Siapa sangka video perkenalan seorang mahasiswa baru Universitas Pendidikan Muhammadiyah (Unimuda) Sorong, Papua Barat, sukses menuai simpati warganet? Sosok di rekaman yang viral di TikTok itu bernama Leonardo Madai.

Di video berdurasi 55 detik itu, ia lebih dulu memperkenalkan profil singkat, mulai dari nama lengkap, nama panggilan, sampai tempat tanggal lahir. "Namun, warga jagat maya sepertinya tidak mengantisipasi alasan Amoye Madai, begitu sapaan akrabnya, memilih jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia.

"Alasannya tidak ada guru di kampung (saya), jadi saya daftar (kuliah untuk jadi guru)," ungkapnya. Mendapati itu, warganet langsung menyerbu kolom komentar untuk memberi dukungan pada Madai. "SEMANGAT ADEKU ???? SALAM ALUMNI UNIMUDA ????," kata salah satunya di video yang sudah mencatat 1,2 juta penayangan pada Jumat pagi (6/9/2024) tersebut.

Ada juga yang berkomentar, "'Alasan sa pu kampung tidak ada guru' ???? sakit banget dengernya???????? semoga kau jadi orang hebat ya." "Cita-citamu sungguh mulia nak. Kelak kamu akan menjadi guru besar untuk bangun Papua ????????," sahut pengguna berbeda.

"Tuhan mudahkan segala pendidikanmu ya bang," warganet lain mendoakan, sementara pengguna berbeda menulis, "Kaaak semoga niat baiknya dipermudah ya, sehat selalu, diberi kelancaran dalam segala hal." "Sa pu kampung tidak ada guru = kampung saya tidak ada guru. Keren kamu bro ????," timpal yang lain.

"SEMANGAT DEK KUALIAHNYAAA!! huhu nangis dengar alasan kamu, semoga kamu selalu dilancarkan urusannya dan tujuan kamu tercapai, ya!!" ungkap seorang warganet. Mahasiswa Papua itu terlihat membalas salah satu komentar dengan mengucap terima kasih.

Upaya Samsung Basmi Tingginya Buta Huruf Anak di Papua

Ekosistem pendidikan di Papua sudah acap kali jadi sorotan, termasuk tingkat literasi yang masih rendah. "Saat guru mengajarkan literasi, ada satu kebiasaan yang sering terlewat, yaitu mengajarkan bunyi," sebut Marthen S. Sambo, pengajar sekaligus Education Manager Wahana Visi Indonesia (WVI), saat jumpa pers "Run for The East" di bilangan Jakarta Pusat, Kamis, 16 Mei 2024.

Mengajarkan bunyi-bunyi dasar setiap huruf jadi hal penting, mengingat perbedaan fonetik antara abjad lepas dengan sebuah kata dalam Bahasa Indonesia yang bisa membingungkan bagi anak kecil. Marthen, yang sudah mengabdi di bidang pendidikan di Papua selama 15 tahun, menyebut bahwa hal dasar seperti ini bisa jadi salah satu penghambat banyak anak Orang Asli Papua (OAP) kesulitan punya tingkat literasi yang tinggi.

Kebanyakan dari mereka langsung disodori Bahasa Indonesia formal di sekolah dengan bunyi satu kata penuh dan penulisan yang asing. Berdasarkan hasil penelitian Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bersama WVI, dari 2.119 murid kelas tiga di 171 SD, 30 persen di antaranya belum bisa membaca, sementara 12 persen lain bisa membaca, namun tidak bisa memahami apa yang dibaca.

Mengenalkan Bunyi Huruf Saat Mengajari Membaca

Hal yang Sering Terlewat Ketika Belajar Membaca Ternyata Pengaruhi Tingkat Literasi Anak-anak Papua

Dengan mengenalkan anak pada hal terdekat, seperti bunyi huruf pertama namanya, itu bisa membuat mereka lebih akrab dengan bacaan. Marthen juga menuturkan, bagi anak-anak kelas tiga SD yang sudah bisa membaca, rata-rata kecepatan membaca suatu tulisan adalah 31 kata per menit.

Hal ini jauh di bawah rata-rata anak Indonesia sepantaran yang bisa membaca dengan kecepatan 80 kata per menit. "Artinya, satu kata itu dua sampai tiga detik baru bisa tahu," tutur Mathen. Ia menganggap hal ini terjadi karena anak-anak OAP, terutama mereka yang hidup di pedalaman, tidak akrab dengan tulisan sehingga berlatih membaca bukanlah hal yang rutin.

"Itu menandakan bahwa anak tidak terbiasa dengan text book. Kalau sering melihat tulisan, kecepatan mengenali kosakata itu cepat," kata Marthen. "Itu kenapa buku teks wajib, dan itu kenapa literasi tanpa buku itu omong kosong."

Marthen mengasosiasikan lemahnya tingkat membaca dengan tidak sesuainya konteks bacaan anak-anak di daerah 3T, seperti Papua, dengan rendahnya tingkat literasi.

Tidak Paham dengan Apa yang Dibaca

Guru Bantu, Tulang Punggung Pendidikan di Pedalaman Papua

Dalam penelitian yang disebutkan sebelumnya, diketahui persentase anak-anak yang bisa memahami bacaan adalah 58 persen, di mana angka ini masih jauh dari harapan, yaitu di atas 80 persen. "Anak itu harus dikasih asupan literasi yang sesuai lingkungannya dulu," jelas Marthen.

Ia menuturkan, banyak anak yang tidak paham dengan apa yang dibaca, karena bahan bacaan tersebut bukan sesuatu yang biasa ditemukan sehari-hari. Kemudian, karena anak tidak bertemu tulisan setiap hari, sulit bagi mereka untuk memahami makna sebuah tulisan.

Di sinilah peran orangtua jadi penting. Mayoritas waktu yang dihabiskan anak-anak tingkat sekolah dasar adalah di rumah bersama keluarga, kata Marthen. Namun, muncul pula masalah lain.

Tidak semua orangtua di daerah pedalaman Papua bisa membaca. Beberapa dari mereka juga tidak bersekolah sehingga sulit mengajarkan anak-anaknya untuk membaca. Perlu ada intervensi untuk mengadakan sesi bersama orangtua demi mengetahui sejauh mana potensi anak bisa belajar membaca di rumah.

 

Sumber: Pengakuan Haru Mahasiswa Papua Ingin Jadi Guru karena Sudah Tidak Ada Guru di Kampungnya - Page 4 - Lifestyle Liputan6.com


Related Articles