Perkuat Dukungan Keluarga dan Masyarakat
Di tengah kasus kekerasan seksual yang tak pernah berjeda, upaya melawan kekerasan seksual harus terus diperkuat. Sejak dini, anak-anak harus disiapkan dan dibekali dengan pengetahuan yang cukup sehingga mampu mengenali dan mencegah kekerasan seksual yang berpotensi menimpanya.
Pencegahan anak dari kekerasan seksual harus menjadi ujung tombak dalam memutus mata rantai kekerasan seksual. Untuk menjawab tantangan itu, Wahana Visi Indonesia, Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi), dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyusun Modul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual pada Anak bagi Anak dan Orang Tua. Sebelumnya, mereka melakukan riset pada September 2022.
Hasil riset dengan responden di sejumlah daerah tersebut berhasil menguak apa yang ada di benak pelaku kekerasan seksual. Selain memiliki pikiran kotor, yang ada di benak pelaku antara lain kekerasan seksual hanya main-main/tidak serius dan tidak dipantau masyarakat. Apalagi, calon korban masih anak-anak dan tidak memiliki pemahaman tentang apa yang terjadi padanya.
Ada juga pikiran bahwa kekerasan seksual akan melanggengkan suatu hubungan dalam berpacaran. Namun, ada pula yang berpikiran bahwa kekerasan seksual wajar karena pelaku/calon pelaku dulu adalah korban serta tidak memikirkan dampak terhadap si pelaku sendiri.
Pelaku melakukan kekerasan seksual juga karena rasa penasaran tentang seksualitas sangat besar, perasaan terlalu akrab dengan korban, hasrat/nafsu seksual yang membara, serta perasaan tertekan dan ingin meluapkan semua emosinya dengan melakukan kekerasan. Ada juga karena perasaan diri hebat atau kuat dan perasaan bahwa ada kesempatan untuk melakukan kekerasan seksual.
Adapun faktor yang berperan dalam mencegah kekerasan seksual antara lain anak dilindungi oleh pihak keluarga, lingkungan, dan teman-temannya; lingkungan yang memonitor tindak tanduk warga; edukasi orangtua sejak dini tentang organ tubuh mana yang tidak bisa diperlihatkan ataupun disentuh pihak lain; serta adanya mekanisme/rujukan alur ke mana anak harus melapor kasus kekerasan seksual.
Sejumlah responden juga menyatakan faktor individu calon korban berperan dalam mencegah kekerasan seksual ketika anak mempunyai persiapan untuk melawan pelaku, anak mempunyai kemampuan bela diri, mampu menghindar jika dipanggil orang yang mengajaknya untuk melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan.
Selain itu, anak memiliki pengetahuan, kemampuan, keberanian untuk melapor, serta tahu alur dan mekanisme pelaporan kekerasan seksual, dan memiliki bekal pengetahuan tentang hukum.
Peran orangtua sangat penting. Orangtua perlu ”jemput bola” secara terbuka dan jujur, bekerja sama dengan anak untuk menyediakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak untuk berbagi pengalaman mereka. Orangtua perlu mendengarkan anak tanpa menghakimi dan memvalidasi perasaan mereka.
Orangtua yang memanfaatkan waktu yang cukup untuk mendengarkan secara aktif, penuh perhatian, dan empati kepada anak mereka ketika mereka mengungkapkan kekerasan seksual yang dialami.
Ketika orangtua mendengarkan ungkapan anak-anak mereka dengan cermat, mereka dapat mendokumentasikan secara detail kekerasan seksual yang dialami anak, termasuk identitas pelaku, lokasi, dan waktu terjadinya kekerasan, serta informasi lain yang ujungnya dapat membantu dalam mendukung penegakan hukum dan mencari keadilan bagi anak.
Aktifis melakukan aksi damai Tolak kekerasan Seksual pada Perempuan di Jalan Darmo, Surabaya, Minggu (9/12/2018). Mereka mendesak untuk segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Ketua Umum Himpsi Andik Matulessy menyebut, tindakan kekerasan akan memberikan luka psikologis pada anak dan menghambat tumbuh kembang anak yang optimal. Maka, intervensi dari berbagai pihak untuk mendukung dan mengoptimalkan UU TPKS menjadi hal yang sangat penting, terutama dalam meningkatkan kesadaran pencegahan kekerasan seksual di dalam keluarga.
”Adanya Modul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual pada Anak diharapkan dapat menjadi jawaban terhadap perlindungan dan pengasuhan anak dalam era digital ini,” ujar Andik pada Peluncuran Hasil Riset dan Modul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual pada Anak, Selasa (20/6/2023).
CEO & National Director WVI, Angel Theodora, menuturkan, keterlibatan masyarakat, termasuk anak, orangtua, tokoh adat, tokoh agama, bersama pemerintah dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual harus dilakukan bersama agar terwujud kondisi lingkungan yang mendukung perlindungan anak.