Cerita Staf: Bertumbuh dalam Pengetahuan dan Spiritual Bersama WVI
Saya akrab disapa Ade. Saya bekerja di WVI sejak tahun 2007. Pertama kali bergabung saat WVI masih ada di Aceh dalam masa transisi respons tsunami Aceh. Setelah tiga tahun di Aceh, saya sempat bekerja di Kantor Nasional selama enam bulan sebelum akhirnya pindah ke Papua selama lima tahun, lalu ke Palu selama dua tahun. Tiga tahun terakhir ini saya kembali ke Kantor Nasional sebagai staf pada Departemen IT.
Saya terdorong untuk bergabung bersama WVI karena sebagai seorang Putra Aceh saya ingin membantu pemulihan daerah saya yang terdampak tsunami waktu itu. Saya tidak memiliki banyak uang dan kekuatan, namun saya punya kemampuan di bidang IT dan butuh wadah untuk menyalurkan kemampuan saya ini. Sebelum bergabung dengan WVI saya sempat bergabung dengan NGO lain seperti GTZ dan Oxfam. Saya pikir saya hanya bertahan setahun saja di WVI, seperti pada NGO sebelumnya. Ternyata saya salah. Kini, lebih dari 10 tahun saya masih bertahan di WVI.
Salah satu alasan saya bertahan adalah karena WVI memiliki suasana kerja yang berbeda. Kami akrab satu sama lain, meski hanya sebatas rekan kerja. Waktu itu, Pak Suryanto, manajer IT yang juga atasan saya, sangat baik dan peduli terhadap saya.
Waktu pindah ke Jayapura, Papua, saya satu-satunya staf beragama Islam di sana. Namun teman-teman dengan hangat menyambut kehadiran saya. Saya mendapat banyak saudara dan bapak angkat di sana meski berbeda suku, ras, dan agama. Meski berbeda, tetapi itu tidak menjadi halangan buat kami untuk saling mengenal.
Jujur waktu pertama kali bergabung, saya sempat kuatir. Kemana nantinya hasil karya pekerjaan saya dibawa? Akankah digunakan untuk keperluan tertentu yang berpengaruh buruk pada saya? Ternyata semua pertanyaan saya tersebut terjawab dari hari ke hari. WVI tidak membawa pengaruh buruk buat pekerjaan saya. Meski WVI adalah lembaga berbasis keyakinan Kristen namun saya kembalikan lagi kepada diri saya. Sebagai seorang Muslim saya tidak terpengaruh. Dulu waktu Aceh dilanda tsunami, banyak orang asing dari berbagai latar belakang keyakinan dan suku tetap membantu. Ini berarti mereka tidak memandang perbedaan agama. Meski berbeda agama saya tetap berteman akrab dengan mereka. Saya terbiasa menyaksikan teman-teman berdevosi. Mereka juga kadang mengingatkan saya untuk sholat jika jamnya sudah tiba. Ini adalah sebuah anugerah buat saya. Berbeda namun saling menerima.
Dengan devosi serta kebiasaan teman-teman WVI untuk beribadah, saya termotivasi untuk semakin tekun juga dalam menjalankan ibadah saya. Apakah saya sudah sholat tepat waktu? Apakah saya menjalankan nilai-nilai ibadah saya yang lain? Akhirnya saya terdorong untuk refresh diri dan meningkatkan ibadah saya.
Sebagai seorang staf IT, saya paham bahwa kemampuan saya juga harus meningkat seiring kemajuan zaman. Sebenarnya ini sudah terjadi saat saya bergabung dengan WVI pada 2007 lalu. Waktu itu atasan saya adalah orang asing, jadi saya juga harus meningkatkan keahlian saya dalam menggunakan Bahasa Inggris untuk komunkasi. Kemudian waktu saya dipindah ke Papua, saya langsung bertugas untuk menyelesaikan permasalaha sponsorship dalam waktu yang cepat. Dengan bantuan teman-teman, perlahan saya bisa beradaptasi dengan perubahan tersebut. Saat saya kembali ke Kantor Nasional, saya juga harus mengikuti transformasi digital dari sistem lama ke sistem baru untuk pelayanan yang lebih baik. Sekarang saya harus mengurus konekvitas untuk seluruh Area Program dengan menguasai beberapa teknik informasi saat ini.
Banyak pelayanan WVI yang berkesan buat saya. Salah satunya adalah program sponsorship. Di negara kita, masih banyak anak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kalau bukan kita yang membantu mereka lewat program sponsorship, siapa lagi yang bisa membantu mereka di tempat asal mereka?
Pada sisi pengembangan ekonomi, saya terkesan dengan cara organisasi ini bekerja. Dulu saya pernah mengikuti acara saat ibu-ibu rumah tangga dilatih untuk mengelola keuangan mereka dan membuat donat yang unik serta memiliki nilai jual. Tak hanya itu mereka juga dilatih tentang manajemen keuangan termasuk menyisihkan dan menggunakan uang di rumah tangga. Menurut saya ini adalah hal yang sangat luar biasa.
Dalam respons bencana, karena saya banyak terlibat untuk respons, saya juga belajar bahwa bencana memang membuat orang terdampak menjadi miskin. Saya bersyukur bisa terlibat dalam respons, karena saya belajar hal-hal baru seperti Bantuan Nontunai serta sistem lain yang digunakan supaya hasilnya lebih cepat.
Ditulis oleh: Fachruddinsyah Adek, Connectivity Analyst / Digital Workspace Analyst Wahana Visi Indonesia