Gizi Anak Terancam, Ibu-ibu Sintang Bersatu Melawan Makanan Ultra-Proses
Benda apa yang paling membuat hati ibu ketar-ketir? Salah satunya adalah alat timbang berat badan. Bukan untuk menimbang berat badan sendiri, tapi untuk menimbang berat badan anak setiap bulan. Hati setiap ibu akan sangat bahagia bila kader Posyandu atau bidan menyatakan berat badan anaknya bertambah. Sebaliknya, hati ibu akan ciut bila berat badan anaknya berkurang. Apalagi kalau sehari-hari anaknya kerap melakukan aksi Gerakan Tutup Mulut (GTM), menolak makanan bergizi baik tapi lahap bila diberi makanan ultra-proses.
Eliyanti (25), seorang ibu balita berusia 1 tahun 3 bulan, kerap merasa khawatir karena fase awal MPASI (Makanan Pendamping ASI) anaknya tidak berjalan mulus. Sehari-hari anaknya kerap meminta makan mi instan daripada masakan rumahan yang Eliyanti siapkan. Mi instan malah jadi makanan kesukaann anaknya. Meskipun praktis dan disukai anak-anak, mi instan sebenarnya tidak dianjurkan untuk dikonsumsi balita. Ada beberapa alasan mengapa:
-
Kandungan Gizi Rendah: Mie instan umumnya rendah serat, vitamin, dan mineral yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Kandungan nutrisinya lebih banyak terdiri dari karbohidrat sederhana yang cepat dicerna, namun tidak memberikan nutrisi yang lengkap.
-
Tinggi Sodium: Kandungan garam (natrium) pada mie instan sangat tinggi, jauh melebihi kebutuhan harian anak. Asupan garam yang berlebihan dapat meningkatkan risiko tekanan darah tinggi pada anak.
-
Bahan Tambahan: Mie instan mengandung berbagai macam bahan tambahan makanan seperti pengawet, pewarna buatan, dan penyedap rasa yang belum tentu aman untuk dikonsumsi oleh anak-anak, terutama balita.
-
Risiko Obesitas: Konsumsi mie instan secara teratur dapat meningkatkan risiko obesitas pada anak karena kandungan kalori dan lemak yang tinggi. Obesitas pada anak dapat memicu berbagai masalah kesehatan lainnya di kemudian hari.
-
Gangguan Pencernaan: Mie instan dapat menyebabkan gangguan pencernaan pada anak, seperti sembelit atau diare, terutama jika dikonsumsi dalam jumlah banyak atau terlalu sering.
“Anak saya sekarang sangat menyukai makanan instan seperti Indomie serta susah makan sayur,” katanya. Ia khawatir anaknya kurang mendapat asupan gizi yang cukup jika terlalu sering mengonsumsi makanan instan. Para ibu di desa tempat Eliyanti tinggal pun mengeluhkan hal yang sama. Anak-anak lebih tertarik dengan ultra processed food daripada whole food.
Selain makanan ultra-proses, makanan bergizi pun memiliki saingan lain di desa yaitu, jajanan. Rafa, seorang anak laki-laki yang masih berumur 11 tahun sangat suka jajan mi di sekolahnya. Padahal bahan-bahan yang dipakai untuk mi tersebut banyak mengandung pengawet dan sodium. Kebiasaan Rafa mulai berubah ketika ibunya mulai menyediakan mi buatan rumahan.
“Saya suka rasa mi sayur pakis yang di masak oleh ibu karena mie yang dibuat oleh tangan orang tua kami pasti akan lebih sehat dan terhidar dari pengawet yang berbahaya bagi tubuh manusia,” ungkap Rafa sambil tersenyum.
Eliyanti dan ibu dari Rafa sekarang memiliki keterampilan baru yang berhasil membuat anak-anak mereka makan makanan bergizi dengan lebih lahap. “Setelah saya mengikuti pelatihan pengolahan makanan yang WVI dan Betang Pelita adakan, saya jadi tahu cara membuat mi dari pakis, bayam, dan sawi serta nugget dari ayam, wortel, telur, tepung kanji. Tentu saja makanan ini memiliki kandungan gizi yang baik serta tidak pakai pengawet. Saya jadi merasa tenang saat anak saya hanya ingin makan mie,” tutur Eliyanti. “Selain itu, saya jadi mendapat pengetahuan baru tentang bahan pangan lokal yang memiliki gizi yang tinggi yang tentu saja bisa menjadi bahan makanan yang kaya akan gizi bagi anak saya,” tambahnya.
Ibu-ibu pun tidak perlu lagi susah-susah mencari bahan pangan lokal karena desa telah memiliki kebun gizi yang mensuplai beragam sayur-mayur. Pakis, bayam, dan sawi yang jadi salah satu bahan membuat mi rumahan dapat ibu-ibu ambil dari hasil panen kebun gizi di desa.
Anak-anak di Sintang sekarang bisa makan dengan baik karena orang tua sudah semakin mahir mengolah makanan bergizi seimbang. Hal ini akan mendukung perbaikin status gizi balita dan menjaga kesehatan anak-anak usia sekolah seperti Rafa. Praktik baik ini pun dapat menjadi contoh bagi ibu-ibu lain yang mungkin sedang mengalami tantangan yang sama. Mari bersama tingkatkan gizi anak Indonesia dan katakan cukup untuk status gizi balita yang tidak ideal.
Penulis: Fransiskus T. N. S. M. (staf Betang Pelita, mitra lokal WVI di kantor operasional WVI area Melawi dan Sintang, Kalimantan Barat)
Penyunting: Mariana Kurniawati (Communication Executive)