Hemat Bibit, Karung Panen Bertambah
Tanaman kacang tampak berjajar rapi di kebun seluas 75 are milik ibu dari 3 orang anak ini, May Atambaru (35). Tidak terlihat rumput bergerombol di kebunnya karena mereka sering melakukan penyiangan selama 2 kali sebelum akhirnya melakukan panen.
Tergabung dalam kelompok Himbuluri Sub 3 Desa Praibakul, May dan 4 orang anggota kelompoknya melakukan kegiatan penanaman, penyiangan, hingga pemanenan secara bersama-sama, dari satu kebun anggota kelompok ke kebun anggota kelompok lainnya. Bahkan semua anggota kelompok yang kebunnya berada di sekitar kebun milik May mulai mempraktekkan beberapa teknik Good Agricultural Practices (GAP).
Teknik GAP diperkenalkan oleh proyek IRED (Indonesia Rural Economic Development) Wahana Visi Indonesia Area Program Sumba Timur bekerja sama dengan Yayasan Injuwatu Sumba (YIS) dengan menggunakan dana dari Pemerintah Australia (DFAT) melalui World Vision Australia (WVA).
“Tahun ini saya melakukan beberapa praktek GAP kacang tanah, seperti pembuatan larikan, mengatur jarak tanam 20x40 cm, penggunaan 2 bibit perlubang, serta melakukan penyemprotan pupuk organik cair pada tanaman yang tumbuhnya tidak subur,” ungkap May, atau biasa disapa Mama Figo.
Mama Figo mengakui bahwa dengan mempraktekkan penggunaan 2 bibit per lubang membuat ia bisa menghemat bibit kacangnya. Katanya, “Tahun lalu untuk tanah seluas 75 are ini, saya membutuhkan hingga 50 kg bibit kacang, sedangkan tahun ini saya hanya butuh 35 kilo bibit kacang.”
Meski cara penanaman kacang dengan menggunakan teknik GAP sudah ia lakukan, perasaan ragu untuk mendapatkan hasil panen yang baik sempat menghantui dirinya karena curah hujan terjadi sangat singkat di desanya. Tidak hanya itu saja, beberapa penyakit kacang tanah yang mengakibatkan kacang tanahnya membusuk dan hama ulat tanah juga sempat menyerang tanamannya.
Ternyata, setelah ia melakukan pemanenan pada Mei lalu, hasilnya sungguh menggembirakan. Ia dan keluarganya berhasil mendapatkan 23 karung berisi 35 kilo perkarung atau 805 kg. Bila dibandingkan dengan tahun lalu dimana ia hanya menggunakan teknik larikan, ia mengumpulkan sebanyak 540 kg kacang tanah saja.
“Sudah sekitar 160 kg yang saya jual langsung dengan kulitnya saat panen kemarin untuk membeli berbagai kebutuhan rumah tangga dan juga untuk keperluan anak sekolah. Harga per kilo Rp10.000. Sementara hasil panen lainnya masih disimpan untuk dijual pada bulan Agustus atau September saat harga kacang tanah mulai tinggi. Nanti kacang tanah yang dijual dalam bentuk pipil,“ jelasnya bersemangat.
Melihat hasil yang jauh di luar perkiraannya, membuat Mama Figo akan tetap mempraktikkan teknik GAP yang sudah ia lakukan serta berencana untuk memperluas lahan kacangnya.
Ditulis oleh: Uliyasi Simanjuntak, Staf Proyek IRED Wahana Visi Indonesia