Lombok Timur Ambil Aksi Cinta Bumi

Lombok Timur Ambil Aksi Cinta Bumi

Kabupaten Lombok Timur memiliki luasan mangrove tertinggi di antara kabupaten lain di Pulau Lombok. Namun sekitar 1.600 hektar atau 50%-nya dalam kondisi rusak. Kerusakan hutan mangrove dapat berdampak buruk bagi lingkungan, biota laut, dan ekonomi masyarakat pesisir. Bila hutan mangrove tidak segera direstorasi maka akan meningkatkan kerentanan daerah tersebut terhadap banjir rob, memperburuk krisis iklim, menghilangnya habitat hidup biota laut, dan menurunkan penghasilan masyarakat pesisir. 

“Kata orang tua, dulu kawasan mangrove lebih tebal, garis pantainya juga lebih luas. Tapi sekarang mangrove semakin tipis dan garis pantai juga semakin berkurang karena abrasi,” ujar Halwa (15 tahun), seorang anak perempuan yang tinggal di daerah pesisir Lombok Timur. “Oleh karena itu lingkungan mangrove sangat penting untuk kita lestarikan karena kalau lingkungan ini rusak maka masa depan kita juga akan terganggu,” ungkap Olivia (17 tahun), teman Halwa yang sama-sama peduli akan isu lingkungan. 

Halwa, Olivia, dan anak-anak lain yang tinggal di desa-desa dampingan proyek MARVEL (Mangrove Adaptive and Resilient Village for Enhanced Livelihoods) di Lombok Timur semakin sadar dan vokal menyuarakan pentingnya restorasi mangrove setelah terlibat dalam Forum Anak. Proyek MARVEL diinisiasi oleh Wahana Visi Indonesia. Selain melibatkan Forum Anak dalam gerakan restorasi mangrove, proyek ini pun melibatkan kelompok perempuan, pemangku kepentingan, serta mitra lokal lainnya. 

“Untuk menjaga lingkungan, kita ikut serta dalam kegiatan menanam dan melindungi mangrove, selain itu bersama Forum Anak kita juga melakukan sosialisasi terkait isu anak dan lingkungan,” ujar Jaskia (13 tahun). Restorasi mangrove akan menjadi cara memperbaiki ekologi yang akan memajukan ekonomi masyarakat. Anak-anak dan masyarakat di Lombok Timur sedang memulai aksi penting ini dengan menanam bibit-bibit mangrove dan juga bibit-bibit usaha yang mengutamakan keberlanjutan. 

 

Simpan-Pinjam yang Lebih Hijau 

Masyarakat di Lombok Timur memiliki potensi untuk mengembangkan wawasan mengenai literasi keuangan. Akses terhadap layanan keuangan terbuka lebar dan masyarakat juga sudah terbiasa dengan layanan keuangan. Contohnya, tersedia koperasi dan bank yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Masyarakat juga mengetahui bagaimana koperasi dan bank beroperasi serta layanan apa saja yang tersedia. 

Namun, sebagian besar masyarakat di Lombok Timur belum menyadari bahwa literasi keuangan bukan hanya soal akses dan fasilitas tapi juga soal keterampilan mengelola keuangan keluarga. Keluarga-keluarga menggunakan dana atau modal yang mereka miliki untuk kebutuhan konsumtif sehingga dana atau modal yang dimiliki akhirnya tidak menghasilkan keuntungan, seringkali malah membawa kerugian. Potensi ekonomi dari restorasi mangrove juga jadi sulit tergali karena masyarakat belum terbiasa mengelola ekonomi keluarga. 

WVI bekerja sama dengan pemerintah desa mencoba mengurai tantangan ini dengan melaksanakan dua pelatihan yakni, Literasi Keuangan Inklusif Gender (Gender Inclusive Financial Literacy/GIFT) dan Asosiasi Simpan-Pinjam untuk Kesejahteraan Anak (ASKA). Tujuannya untuk mengedukasi masyarakat, termasuk pelaku UMKM, nelayan, petani, kader dan pelaku usaha lainnya, tentang bagaimana mengelola keuangan keluarga dan usaha mereka secara efektif sehingga bisa mencapai kemandirian finansial. Pelatihan ini juga menyoroti peran perempuan dalam memajukan ekonomi keluarga. 

Melalui pelatihan ini, para ibu pertama kali berkenalan dengan ASKA. Mereka mulai memiliki pemahaman tentang kelompok simpan pinjam ASKA yang dapat menjadi alternatif yang layak untuk mulai mengelola keuangan keluarga. Ibu-ibu juga mulai memahami manfaat dari berbagi pengambilan keputusan keuangan dalam keluarga. Sehingga ibu juga dapat terlibat dalam menentukan prioritas kebutuhan dalam keluarga yang salah satunya adalah kebutuhan anak. 

“Dengan adanya program ASKA kita bisa belajar menabung dengan menyisihkan uang sehingga dapat berguna untuk waktu yang akan datang,” ujar Siti, pedagang dan pengepul sampah di salah satu desa. “Kami juga belajar membatasi diri untuk tidak konsumtif. Biasanya nelayan jika pulang melaut bisa menghasilkan banyak uang. Namun karena kebanyakan istri tidak dapat mengelola keuangan dengan baik, keluarga jadi konsumtif dan tidak ada yang ditabung. Namun dengan adanya pelatihan ini, kami diajarkan untuk mengelola keuangan rumah tangga dan saya yakin bisa melakukannya,” imbuhnya. Saat ini sudah terbentuk lima kelompok ASKA yang beranggotakan kader, nelayan, pedagang, petani dan masyarakat lainnya. Sebagian besar anggotanya adalah para ibu. 

Keterampilan literasi keuangan merupakan tabungan wawasan bagi masyarakat di Lombok Timur. Restorasi mangrove yang mereka lakukan akan membawa dampak positif pada roda perekonomian. Hutan mangrove memiliki potensi usaha eco-tourism, silvofishery, produk olahan mangrove, dan banyak lagi. Bila saat itu tiba, keluarga-keluarga di Lombok Timur sudah siap mengelola modal dan menjalankan usaha dengan baik. Melalui kelompok ASKA yang saat ini terbentuk, masyarakat dapat menabung modal untuk menjalankan bisnis yang berasal dari restorasi mangrove. 

 

Silvofishery: Peluang Ekonomi Hijau di Lombok Timur 

Silvofishery adalah sistem pertambakan teknologi tradisional yang mengintegrasikan budidaya perikanan (atau tambak) dengan penanaman atau pengelolaan hutan mangrove. Sistem ini dapat memberi dampak positif pada ekologi dan ekonomi. Artinya, dengan kembalinya mangrove di sekitar pesisir, ragam biota laut pun akan kembali, sehingga dapat menciptakan peluang penghasilan. Silvofishery merupakan pendekatan yang berkelanjutan karena fokus pada konservasi mangrove yang juga memberi dampak ekonomi pada masyarakat. Sistem ini sering disebut juga sebagai Wanamina. 

Kabupaten Lombok Timur memiliki potensi besar untuk menerapkan silvofishery. WVI bekerja sama dengan Prof. Dr. Esti Handayani Hardi, S.Pi, M.Si, seorang akademisi dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman, melakukan kunjungan lapangan ke Lombok Timur untuk mengkaji potensi ini. Akademisi yang sudah berpengalaman dalam pendampingan silvofishery ini juga memaparkan bahwa dengan adanya kawasan mangrove dan kawasan tambak di Lombok Timur, silvofishery sangat mungkin untuk diterapkan. Namun, kedepannya perlu memperhatikan tantangan hidrologi dan kedalaman tambak agar dapat menerapkan sistem ini dengan baik. 

“Kami memang tidak memahami secara matang bagaimana proses tambak ini seharusnya dilakukan, sehingga banyak kesalahan dalam tahap persiapan tambak yang membuat hasil tambak kami menjadi tidak optimal. Dengan adanya konsep silvofishery, kami berharap dapat memperbaiki kondisi tambak sekaligus ekosistem mangrove yang ada di desa,” ungkap Herman (41 tahun), salah satu petambak di desa. 

Namun dengan adanya kunjungan lapangan dan transfer ilmu antara Prof. Esti dengan masyarakat, perlahan para petambak di Lombok Timur makin mengenal seluk-beluk silvofishery. “Bisa bertemu dan berdiskusi dengan ahli budidaya perikanan adalah sebuah pengalaman berharga. Silvofishery merupakan konsep yang baik dimana ada integrasi antara tambak dan mangrove. Selama ini tambak yang saya kelola hasilnya kurang maksimal karena kurangnya pengetahuan dalam teknis pembuatan dan pengelolaan tambak,” ujar Suhirman (45 tahun). 

Saat ini, para petambak di desa-desa dampingan proyek MARVEL bersedia mencoba menerapkan silvofishery di lima area tambak. Lima tambak percontohan ini pun mendapat dukungan dari pemerintah setempat. Kepala Bappeda Lombok Timur, M. Zaidarrohman, S.S.T.P, M.H menyampaikan bahwa silvofishery adalah salah satu alternatif aktivitas ekonomi yang memiliki potensi besar bagi masyarakat di kawasan pesisir. Ia pun menambahkan, restorasi mangrove memberi harapan untuk mendukung pelestarian lingkungan dan kemajuan ekonomi di Lombok Timur. 

WVI akan terus mendampingi proses ini dan turut belajar bersama para petambak. Harapannya, silvofishery di Lombok Timur dapat menjadi bisnis ramah lingkungan yang berkelanjutan. 

 

Budidaya Lebah Trigona di Hutan Mangrove 

Selain tambak ikan atau udang, ekosistem mangrove juga memiliki manfaat ekonomi lain yakni, budidaya lebah trigona. Melihat potensi kawasan mangrove yang ada di Lombok Timur, budidaya lebah madu trigona akan sangat menguntungkan. Madu dan propolis yang dihasilkan lebah trigona memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Selain itu, budidaya lebah trigona juga termasuk mudah karena natur lebah jenis ini tidak menyengat. 

WVI melalui proyek MARVEL memfasilitasi pelatihan budidaya lebah trigona pada masyarakat di desa-desa dampingan. “Kami sangat antusias dengan adanya kegiatan ini. Bisa terlibat dan praktik langsung untuk budidaya lebah trigona. Ini merupakan langkah awal yang baik dengan mengetahui cara membudidayakan lebah trigona, mengenali jenis pakannya, cara pemindahan koloni, hingga cara panen. Harapannya kami dapat dengan serius dan tekun melakukan budidaya ini, sehingga berkelanjutan dan dapat menjadi sumber penghasilan alternatif bagi masyarakat,” ujar Aliman, salah satu peserta. 

Pemerintah desa sangat antusias dan mendukung kegiatan peningkatan ekonomi bersama Wahana Visi Indonesia. Mewakili desa, Tajudin selaku Kepala Desa, menyampaikan “Pelatihan budidaya madu trigona memiliki prospek yang baik. Oleh karena itu, desa berkomitmen untuk mendukung dengan cara membagikan koloni lebah trigona kepada kelompok masyarakat melalui BUMDes (Badan Usaha Milik Desa). Harapannya ini dapat berkelanjutan dan meningkatkan penghasilan masyarakat,” ungkapnya. 

 

 

 

Penulis: Maria Natalia Pratiwi (Koordinator Proyek MARVEL di Lombok Timur) 

Penyunting: Mariana Kurniawati (Communication Executive


Artikel Terkait