Menapaki Jalan Sepi sebagai Advokat Perlindungan Anak dan Perempuan

Menapaki Jalan Sepi sebagai Advokat Perlindungan Anak dan Perempuan

Data jumlah kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan yang tercatat di Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) ibarat puncak gunung es. Angka yang tampak bukan menggambarkan jumlah kasus yang riil. Statistik ini malah menunjukkan pertumbuhan kesadaran penyintas atau keluarga untuk melaporkan kasus. 

Begitu banyak kasus kekerasan masih tidak terlapor karena akar permasalahannya masih tidak terselesaikan. Suster Rita, seorang biarawati di Kabupaten Manggarai Barat menilai, akar permasalahan kekerasan terhadap anak dan perempuan bersumber pada pemahaman yang salah antara kodrat dan gender. “Masyarakat belum bisa membedakan mana yang namanya kodrat, dan mana yang gender,” ungkapnya. 

Suster Rita mencatat, pada tahun 2023, 45 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan terjadi di Manggarai Barat. Sebanyak 34 diantaranya merupakan kasus kekerasan terhadap anak, baik kasus kekerasan seksual maupun fisik yang terjadi secara langsung atau melalui media sosial. Berdasarkan data SIMFONI PPA per Oktober 2024, Provinsi Nusa Tenggara Timur mencatat 847 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. 

 

Kotak-kotak Kodrat jadi Riwayat Kekerasan di Manggarai 

“Mayoritas penyintas berasal dari keluarga yang tidak utuh atau orang tua tunggal, seorang ibu dengan anaknya, yang berhadapan dengan masyarakat yang mengenal laki-laki sebagai karakter pemimpin yang tanpa batas. Kasus-kasus ini kebanyakan dilakukan oleh keluarganya sendiri, keluarga terdekat seperti paman yang biasa disebut Bapak Kecil atau Bapak Tua kalau di NTT,” tutur Suster Rita. Pekerjaannya sebagai seorang koordinator lembaga Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) di Manggarai Barat membuatnya menyaksikan bagaimana perlindungan anak dan perempuan dilucuti oleh budaya patriarki. 

Sejak 2017, JPIC telah menjadi lembaga yang menyediakan rumah aman bagi anak dan perempuan yang menjadi penyintas kekerasan. Selain itu, JPIC juga melakukan advokasi di berbagai level serta mendampingi penyelesaiaan kasus kekerasan. Suster Rita bersama timnya melakukan pekerjaan yang berat dan membutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak yang sevisi. Selain pemerintah desa, kepolisian, dan lembaga hukum negara, JPIC juga bermitra dengan Wahana Visi Indonesia untuk melakukan berbagai langkah pencegahan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Manggarai Barat. 

“Sosialisasi mengenai cara melaporkan kasus yang terus-menerus dilakukan, serta sekarang masyarakat juga tahu kalau ada rumah aman, membantu peningkatan pelaporan kasus oleh anak atau perempuan,” ujar Suster Rita. Namun, ia sendiri tidak dapat memungkiri bahwa kasus kekerasan masih tidak terbendung karena format pembagian peran yang terbentuk di masyarakat. 

Biarawati muda yang memiliki gelar Sarjana Hukum ini menjelaskan, kekerasan terhadap anak dan perempuan menjadi tak terhindarkan bila masyarakat masih meyakini pembagian peran yang tegas antara laki-laki dan perempuan. Manggarai Barat atau bisa digeneralisir hingga seluruh Pulau Flores menjadi contoh area yang masih hidup dalam budaya seperti ini. 

Dalam setiap keluarga di Manggarai, laki-laki selalu dididik untuk menjadi sosok yang tidak boleh memperlihatkan kelemahan. Laki-laki diberi tanggung jawab untuk menjadi penentu semua keputusan. Di sisi lain, perempuan selalu dididik untuk menjadi sosok yang harus lemah, di rumah, bergantung penuh pada laki-laki. Pembagian peran yang berlandas pada kodrat ini memberi ruang pada laki-laki untuk memandang bahwa perempuan itu bisa diperintah bahkan dikuasasi. Hal ini yang menciptakan peluang terjadinya kekerasan fisik atau seksual. Perempuan identik sebagai korban, dan laki-laki adalah pelaku. Ketimpangan relasi kuasa berbasis gender pun terjadi. 

 

Mengarahkan Pandangan dengan Kacamata Gender 

Di permukaan nampaknya pembagian peran ini lebih menguntungkan laki-laki, namun nyatanya tidak demikian. Dengan banyaknya pengalaman mendampingi kasus-kasus kekerasan, Suster Rita pun memahami bahwa kasus kekerasan ini juga membuat laki-laki menjadi korban. 

“Laki-laki ini adalah korban dari budaya itu sendiri, dari tugas atau kepercayaan yang diberi oleh masyarakat. Dia tidak pernah meminta untuk dilahirkan sebagai pemimpin, yang tidak boleh menangis, tidak boleh ada di dapur. Laki-laki ini tentu ingin mengungkapkan perasaannya, bahwa dia sakit hati atau sedih. Tapi karena dari kecil ditanamkan, kamu sebagai laki-laki tidak boleh begini-begitu, harus bisa ini-itu, tidak boleh lemah seperti perempuan, akhirnya laki-laki ini memendam. Ketika dia sudah tidak bisa lagi memendam, maka ia sedang menjadi puncak gunung es bagi dirinya sendiri. Inilah yang menjadi salah satu pemicu terjadinya kekerasan,” jelasnya. 

Dengan kacamata ini, ia selalu mencoba melakukan pendekatan baik pada penyintas maupun pelaku. Menilai satu kasus kekerasan dari sisi laki-laki dan perempuan membuatnya ingin mulai melakukan pemulihan relasi dalam keluarga. Ia ingin mengalihkan relasi kuasa dalam keluarga menjadi relasi kasih yang sadar akan kesetaraan gender. Ketika Suster Rita diperkenalkan dengan kegiatan Pengasuhan dengan Cinta (PDC) yang diinisiasi oleh WVI, ia merasa kegiatan ini menjadi cara yang tepat. Kegiatan ini dapat menjadi salah satu langkah efektif untuk membangun keluarga-keluarga yang harmonis, tidak timpang gender, dan saling melindungi.  

“Saya tidak habis pikir ketika menangani kasus di mana keluarga malah berpihak pada pelaku dewasa karena masih ada hubungan keluarga atau dituakan atau dianggap penting. Sedangkan anak yang menjadi penyintas tidak dilindungi dan jadi mengalami kekerasan lagi,” katanya. Kasus-kasus seperti ini yang membuat Suster Rita hancur hati sekaligus juga menempatkan dirinya dalam posisi yang tidak aman. Kasus yang melibatkan keluarga atau orang dengan kedudukan tertentu dapat menyeret Suster Rita dalam pusaran intimidasi dan tekanan. 

Sebagai manusia biasa, Suster Rita kerap merasa takut bilamana menerima intimidasi atau tekanan dari pelaku dan keluarganya, atau keluarga penyintas. Kasus-kasus yang ia tangani pun seringkali menempatkan Suster Rita dalam posisi yang sulit untuk tetap netral. Ia menempuh jalan yang sepi sebagai aktivis dan advokat isu perlindungan anak dan perempuan. Hari-hari yang berat ia lalui dengan selalu mengingat harapannya. “Rumah yang melindungi itu bukan di sini, seharusnya di rumah sendiri,” tuturnya. 

Suster Rita sangat memahami tantangan dari pekerjaan ini. Oleh karena itu ia sempat menolak ketika kongregasi memintanya studi lanjut di bidang hukum. Ia merasa gentar dan tidak memiliki kemampuan yang cukup. Namun, ketika ia mengingat kembali bagaimana ketika kecil hidupnya pun diubahkan karena bantuan dari pihak lain, maka Suster Rita memantapkan diri untuk menjadi agen perubahan bagi orang yang membutuhkan. 

Sebagai anak kampung di Sumba Timur, Suster Rita kecil tinggal tanpa akses terhadap dunia luar. Pengalaman pertama Suster Rita merasakan koneksi dengan dunia terjadi ketika kantor operasional WVI mulai melakukan program pengembangan masyarakat di kampungnya. 

“Kehadiran WVI adalah salah satu sisi kehidupan yang paling membahagiakan ketika saya masih anak-anak. Ketika saya mendapat surat dari sponsor di luar negeri yang mengatakan bahwa mereka bahagia bisa mengenal saya, menganggap saya seperti keluarga sendiri, meskipun saya tidak tahu sponsor itu ada di mana tapi saya merasa dekat,” cerita Suster Rita mengenang masa kecilnya. 

Kini, ketika bisa merefleksikan jalan hidupnya, Suster Rita memahami bahwa setiap kegiatan yang WVI lakukan ketika ia masih anak-anak itu meninggalkan jejak-jejak yang membantunya mempersiapkan diri berkenalan dengan dunia luar. “Apa yang saya alami waktu kecil bersama WVI itu jadi titik balik untuk saya mulai menyusun cita-cita, mau jadi apa saya ke depan,” ujarnya. 

 

Pekerjaan Rumah ketika Penyintas Kembali ke Rumah 

Sejak UU TPKS disahkan pada tahun 2022, isu perlindungan anak dan perempuan mendapat naungan yang memiliki kekuatan untuk mengubah kehidupan masyarakat. Undang-undang ini juga tidak melulu tentang hukuman. Di dalamnya juga mengatur tentang pencegahan kekerasan; penanganan, pelindungan, dan pemulihan korban; pelaksanaan penegakan hukum dan rehabilitasi pelaku; upaya mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan; serta upaya menjamin ketidakberulangan kekerasan. 

Sejalan dengan mimpi besar UU TPKS, Suster Rita dan tim di JPIC, bermitra dengan organisasi lain seperti WVI juga memikirkan kelanjutan kehidupan para penyintas setelah kasus dinyatakan selesai di mata hukum. “Apakah penyintas anak dan perempuan ini kembali diterima di masyarakat? Kalau ternyata pelaku yang sudah dipenjara itu adalah pencari nafkah di keluarga, bagaimana mereka mau melanjutkan hidup? Tidak mungkin kalau bukan perempuan yang mulai bergerak,” ujar Suster Rita. 

Tidak dapat dipungkiri, anak dan perempuan yang menjadi penyintas seringkali sulit diterima kembali di tengah masyarakat. Memperkarakan kasus secara hukum masih dinilai sebagai cara yang dapat mengeruhkan hubungan dalam keluarga dan komunitas. Status sebagai penyintas dan pelapor kasus kekerasan malah jadi hukuman baru. Hal ini yang sering memberatkan pelaporan dan penyelesaian kasus secara hukum karena setelah kasus selesai, penyintas tidak punya jaminan untuk kembali ke keluarga dan komunitasnya. 

Pemberdayaan perempuan merupakan langkah tepat untuk memperlengkapi penyintas agar siap melanjutkan hidup di tengah masyarakat. “Mengajarkan perempuan menjahit atau membuat keripik itu bukan hanya tentang menambah keterampilan tapi lebih pada membuat perempuan sadar kalau ia mampu, ia berkualitas. Pemberdayaan ini tentang membangkitkan kepercayaan diri dan kemaampuan perempuan untuk melawan setiap kekerasan dalam bentuk apapun,” papar Suster Rita. 

Satu kasus kekerasan menandakan kedalaman akar masalah, kerumitan penyelesaian, dan kerentanan yang masih berlanjut. Begitu banyak aspek yang perlu diperbaiki dan kemitraan yang perlu dijalin demi perlindungan bagi anak dan perempuan. Suster Rita, sosok lahir dan bertumbuh di Sumba Timur ini merupakan satu dari sekian banyak pejuang yang peduli akan isu ini. Ia pun mengajak kita untuk terus menjadi orang yang peduli dan pelaku perlindungan anak dan perempuan. 

“Setiap penyintas, bisa dan harus bangkit. Penyintas tidak sendirian. Banyak orang yang peduli. Jadi harus memulai, melanjutkan kehidupan, mencapai cita-cita dan tujuan hidup sehingga jadi perempuan yang berdaya untuk anak dan perempuan lainnya,” pesan Suster Rita. 

 

 

Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive


Artikel Terkait