Mengenal Kebiasaan Makan Masyarakat Asmat
#FoodForShare – Kabupaten Asmat adalah wilayah yang dikelilingi sungai dan tanahnya berlumpur. Itulah mengapa kabupaten ini sering dijuluki sebagai ‘kota di atas lumpur’ dan ‘kota seribu papan’. Hal ini sesuai dengan kondisi daerahnya di mana jalan dan rumah-rumah warga yang berada di atas papan dengan tanah berlumpur. Tak hanya memiliki wilayah yang unik, masyarakat di wilayah ini juga punya kebiasaan makan yang unik.
Kebiasaan masyarakat Asmat yang masih mengambil makanan dari alam (peramu), membuat ketersediaan makanan dalam keluarga bergantung pada musim yang ada. Namun, mereka memiliki sagu sebagai makanan utama.
Sagu biasanya diolah menjadi bola sagu tanpa campuran. Sagu mentah dibentuk bulat seperti bola dan dibakar hingga matang. Makanan ini juga dikonsumsi oleh anak dan orang tua. Jika ada hasil tangkapan ikan, udang, babi, burung kasuari, ulat sagu, sayuran seperti kangkung, pakis akan menjadi tambahan untuk makan.
Berbeda dengan kebanyakan kaum perkotaan, masyarakat Asmat lebih sering makan satu kali sehari. Orang tua pun tahu bahwa standar memberi makan adalah satu kali sehari, dan itu mereka berlakukan kepada anak-anak.
Anda masih ingat kejadian luar biasa campak dan gizi buruk yang terjadi di Asmat pada 2018 lalu? Kebiasaan makan satu kali sehari dan tidak lengkap menjadi salah satu penyebab terjadinya kurang gizi. Budaya di mana anak paling kecil adalah makan yang paling terakhir membuat keadaan semakin tidak mendukung untuk menghasilkan anak yang sehat dan cerdas.
Alam di Asmat menyajikan bahan makanan yang beragam. Sungainya menghasilkan berbagai jenis ikan, kerang, udang dan kepiting. Hutan menghasilkan berbagai tumbuhan yang dapat dikonsumsi seperti buah asam, buah kom dan buah bintang serta sagu.
Juga masih banyak binatang yang ditangkap dan dikonsumsi oleh masyarakat seperti babi hutan, burung kasuari, buaya, biawak, burung mambro dan sebagainya. Sayuran memang banyak tersedia seperti kangkung, pakis, dan katuk, tetapi karena cara mengambil yang tidak diiringi dengan menanam kembali membuat hasil hutan semakin sedikit dan semakin jauh.
Kondisi lahan yang berlumpur dan air pasang memerlukan keterampilan dan pengenalan jenis tanaman yang dapat ditanam. Meski demikian, budaya masyarakat yang masih peramu menjadi tantangan tersendiri dalam menyediakan bahan pangan.
Hidup bersama dan berbagi yang sangat kental juga mengakibatkan bahan makanan yang bisa digunakan untuk dua minggu hanya bisa bertahan selama beberapa hari saja. Hal unik lainnya adalah, saat ada asap membumbung dari suatu rumah, pertanda ada makanan di rumah tersebut, maka keluarga akan berkumpul.
Ditulis oleh: Hotmianida Panjaitan, Program Manager Asmat Hope Wahana Visi Indonesia