Menuju Pertanian yang Tangguh
Pertanian era modern harus tangguh, terutama di Indonesia. Sebagai salah satu sektor yang turut menyumbang peningkatan laju ekonomi negara, pertanian Indonesia juga jadi sorotan dunia. Berhadapan dengan perubahan iklim, bersaing meraih pasar, dan berusaha menjadi petani yang sejahtera merupakan beberapa isu pertanian di desa-desa. Wahana Visi Indonesia, didukung oleh Australian NGO Cooperation Program (ANCP), merancang proyek bernama INCLUSION yang mencoba menjawab isu-isu tersebut. Dalam jangka waktu lima tahun (2022 – 2027), proyek INCLUSION mengimplementasikan kegiatan di tiga provinsi, yaitu Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah.
Keluar dari Kebiasaan Lama
Yanti Sandiana (47) mengenal dunia bertani sejak kecil. Orang tuanya bekerja sebagai petani hortikultura (budidaya tanaman kebun) di sebuah desa di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Ketika anak-anak, ia terbiasa melihat orang tuanya menanam sayuran. Beranjak remaja, ia mulai menanam sendiri. Hasil sayur sawi, bayam, dan kangkung yang ia tanam bisa jadi sumber tambahan uang jajan, atau untuk membeli buku. Sebagian juga ia tabung untuk digunakan saat Natal.
Saat ini, Yanti adalah orang tua tunggal dengan empat orang anak. Ia punya motivasi kuat untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai jenjang pendidikan paling tinggi. Namun bila ia masih berkutat dengan kebiasaan-kebiasaan lama dalam bertani, maka harapan akan pendidikan anak-anaknya bisa pupus. Belajar dari pengalaman, Yanti mengakui bila petani hortikultura perlu berubah agar penghasilan makin bertambah. Bahkan bila memungkinkan, dengan teknologi pertanian modern, cara kerja pertanian hortikultura pun harus makin mudah.
”Saya sudah melihat beberapa petani hortikultura yang sudah menggunakan paket irigasi tetes di lahan mereka. Sejak saat itu saya berangan-angan untuk suatu saat nanti saya akan menggunakan pakit irigasi tetes seperti ini di lahan saya,” kata Yanti. Ia sudah menetapkan pilihan bahwa teknologi pertanian yang bernama irigasi tetes bisa menjadi jawaban yang ia perlukan.
Irigasi tetes merupakan metode perawatan tanaman hortikultura yang cocok dengan geografis dan konteks petani-petani di Nusa Tenggara Timur. Teknologi ini bisa menghemat air dan tenaga kerja, mendistribusikan pemupukan yang seimbang untuk setiap tanaman, dan mengutamakan otomatisasi. Beban kerja petani untuk menyiram dan memupuk terpangkas. Produktivitas petani pun meningkat. Dalam kehidupan sehari-hari, petani yang juga berperan sebagai orang tua jadi punya waktu luang untuk keluarga.
Bahkan bagi Yanti peningkatan efektivitas dan efisiensi kerja ini membuka peluang baru. “Perubahan yang paling besar adalah tentu dengan semakin ringannya pekerjaan khususnya penyiraman. Maka saya akan memperluas lahan hortikultura saya dan saya semikin yakin bahwa empat orang anak saya akan berhasil dalam bangku pendidikan lewat usaha pertanian hortikultura. Saat ini anak saya yang pertama sudah kuliah di Akademi Teknik Kupang dan anak-anak yang lain saya akan kuliahkan setelah tamat SMA nanti,” ujarnya.
Kisah serupa datang juga dari Nikson (38) yang juga seorang petani hortikultura dari Kabupaten Kupang. Ayah dua orang putri ini memiliki mimpi untuk bisa menyediakan rumah yang aman dan nyaman bagi keluarganya. Bila berlama-lama menggarap kebun dengan cara yang sama, ia yakin rumah impiannya tidak akan pernah terwujud. Ia membutuhkan inovasi dalam cara bercocok-tanam.
Pilihan Nikson jatuh pada irigasi tetes. Ia melihat sendiri bagaimana teknologi ini bisa menjadi peluang memiliki penghasilan lebih. Beberapa petani di desa menyediakan demplot di dua lokasi sebagai tempat belajar dan mencontoh penerapan irigasi tetes sehingga Nikson bisa puas mempelajari teknologi baru ini. Ia pun tak ragu lagi untuk memasang metode irigasi tetes di kebunnya yang seluas 80 are.
Banyak manfaat baik yang dirasakan Nikson bersama keluarga pasca penggunaan irigasi tetes ini. Sebut saja, penghematan penggunaan air yang akan berpengaruh pada biaya pulsa listrik yang dibeli untuk menyedot air yang ditampung di bak, penghematan penggunaan pupuk bagi tanaman, pertumbuhan tanaman lebih baik karena kebutuhan air selalu tersedia, penghematan waktu kerja terutama kegiatan penyiraman sehingga masih banyak waktu bisa dipakai untuk pemeliharaan tanaman lainnya. Nikson dan keluarga juga jadi punya waktu untuk kegiatan kemasyarakatan dan keagamaan. Dari hasil penggunaan irigasi tetes pada tanaman cabe yang hampir berjumlah 7.000 pohon, Nikson bisa mempunya penghasilan lebih yang ia gunakan untuk pembangunan rumah tempat tinggal mereka yang berukuran 9x12 m.
Bibit-Bibit Baru
Selain irigasi tetes, inovasi jenis bibit juga menjadi salah satu cara agar pertanian semakin maju. Bibit yang tepat akan menghasilkan panen yang lebih berkualitas. Namun, karakteristik lahan jadi penentu bibit yang tepat. Hal inilah yang membuat Yetika berinisiatif untuk trial and error, hingga akhirnya mendapat bibit yang tepat untuk hasil panen berkualitas di Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah.
Yetika merupakan seorang Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Profesi ini bertugas untuk memahami dengan benar apa yang petani alami, secara khusus dalam pertanian jagung. Pada tahun 2018, ia mencoba menanam 5 kg bibit jagung yang diperoleh dari salah satu kelompok tani. “Dengan bibit tersebut saya memperoleh hasil panen sebanyak 1-1,2 ton jagung kering. Hasil ini sudah cukup bagus menurut petani di desa ini. Namun saya merasa hasil panen yang saya dapatkan itu belum maksimal,” tuturnya. Dengan kata lain, 1 kg bibit bisa menghasilkan 200 kg jagung kering.
Dari rekan kerjanya Yetika memperoleh informasi tentang bibit jagung lain yang bisa menghasilkan 330 kg jagung kering hanya dengan 1 kg bibit. Informasi ini membenarkan asumsi Yetika yang merasa bahwa bibit dari kelompok tani di desa bukanlah bibit yang tepat.
“Hasil tersebut membuat saya sangat tertarik untuk mencoba sehingga pada tahun 2021 saya mencoba menanam bibit jenis NK 212 sebanyak 5 kg yang merupakan rekomendasi dari Wahana Visi Indonesia dan hasil panennya saat itu cukup baik. Dengan perawatan yang lebih tepat, saya yakin hasilnya akan sangat baik,” ujar Yetika. Meskipun harga bibit jenis NK 212 lebih mahal, Yetika tidak mengurungkan niatnya merekomendasikan bibit ini kepada para petani. Persoalan harga bibit serta hasil pemantauan kualitas jagung dengan bibit NK 212 ia paparkan dan ajukan pada pemerintah desa.
“Dalam rapat desa tahun 2022, saya merekomendasikan bibit NK 212 untuk dijadikan sebagai bibit jagung bantuan kepada masyarakat desa dengan memanfaatkan dana desa. Hal ini disambut baik oleh pemerintah desa karena mereka juga telah melihat figur dari tanaman NK 212 yang telah saya tanam. Saya merekomendasikan bibit NK 212 tersebut karena saya ingin petani-petani di desa ini juga merasakan bahwa tidak rugi ketika mereka menanam bibit jagung berkualitas walaupun harganya memang sedikit mahal. Dengan perawatan yang baik mereka bisa mendapatkan keuntungan lebih dari yang mereka dapatkan sebelumnya,” ujarnya.
Belajar menggunakan bibit baru pun dilakukan oleh Safrin (70). Inyo, begitu ia akrab disapa, seorang petani jagung dari Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah. “Pertama kali saya menanam jagung itu sekitar 20 tahun yang lalu. Saya pernah tanam benih biji kira-kira 20 kg tapi hasil yang saya dapat cuma 2 ton. Dulu itu saya tanam jagung masih buta budidaya, jadi perlakuannya (perawatan) saya rekayasa saja. Saya masih terbelakang dalam hal perlakuan. Nanti kita lihat jagung itu rubuh baru torang tau kalau disitu ada gai (hama ulat tanaman jagung),” katanya.
Walaupun berusia lanjut, Inyo bersemangat mencoba bibit baru yang diperkenalkan oleh PT Saprotan Utama Nusantara. Sebagai mitra Wahana Visi Indonesia dalam implementasi proyek INCLUSION di Sulawesi Tengah, PT Saprotan Utama Nusantara memberikan solusi inovatif agar kualitas dan kuantitas tanaman jagung para petani semakin baik.
Pada Juni 2022, PT Saprotan Utama Nusantara membuat demplot di lahan pekarangan milik Inyo. Bibit yang digunakan adalah varietas P21 bison. Dalam proses perawatan Inyo selalu mengikuti instruksi yang diberikan. Banyak cara yang membuat ia kagum karena sangat berbeda dengan cara yang dulu ia lalukan. “Sekarang sangat praktis karena saat semprot rumput sekaligus dicampur dengan pupuk Ultradap. Hasilnya rumput mati jagungnya subur. Selanjutnya disemprot pupuk lagi dengan MKP, ternyata itu pemberat buah dan itu cara baru perawatan tanaman jagung,” cerita Inyo.
Saat kegiatan panen bersama yang dihadiri Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Holtikultura Kabupaten Tojo Una-Una, Inyo dapat menunjukkan bahwa dari 1 kg benih ia dapat menghasilkan 1,125 kg dipipil panen atau 787,5 kg kering jual. Selain itu, sebelum demplot jagung dipanen, banyak petani yang datang kepada Inyo untuk menanyakan jenis bibit apa yang digunakan dan bagaimana pemeliharaannya sehingga buahnya besar dan merata dari awal pertumbuhan.
Setelah merasakan manisnya hasil bibit baru, Inyo berkomitmen untuk memperluas wilayah pertanian jagungnya. Inyo juga tak henti menyuarakan agar petani lain menggunakan bibit yang baik dan mengikuti cara budidaya jagung yang benar agar pendapatan meningkat. “Selama 20 tahun lebih saya bertani, sudah 3 orang anak saya menjadi sarjana yang sekarang sudah bekerja, itu hasil dari bertani. Menjadi petani yang berhasil, harus bisa mengikuti pekembangan, maka hasilnya akan meningkat dan keluarga akan sejahtera,” ujarnya.
Komoditas Lokal di Persimpangan Pasar
Yahuda (61) menjadi saksi hidup bagaimana pertanian kenari di desanya terus berjuang mencari pasar yang paling menguntungkan. Kenari merupakan komoditi lokal yang sudah turun-menurun menemani perekonomian masyarakat Alor, Nusa Tenggara Timur. Yahuda berkisah, “Tahun 1970an saya jual kenari dengan harga Rp 10,-/lidi. Ukuran panjang lidi bisa mencapai 20-30 cm. Waktu menjual kenari, kami jalan kaki dari desa ke pasar kira-kira 9-10 km, 2 jam lamanya. Dulu susah sekali untuk bisa ke pasar karena jalan yang terjal, harus naik turun gunung, dan sampai ke pinggiran pantai,”.
Pada periode itu, keluarga Yahuda harus berhasil menjual sekitar 30 kg kenari agar kebutuhan beras dan lauk makan keluarganya terpenuhi dari minggu ke minggu. Tiga dekade berjalan, pembangunan dan akses dari dan ke pasar sudah membaik. Pada tahun 2005-2006, satu kilo kenari dibanderol seharga Rp 12-13.000,-. Dua dekade berikutnya, tahun 2022, ketika Yahuda bisa ke pasar dengan menggunakan kendaraan dan berjarak tempuh 1 jam saja dari rumah, satu kilo kenari sebanding dengan Rp 40.000,-. “Kalau harga kenari Rp 40.000,- per kg dan terus naik maka masyarakat akan sangat bersemangat mencari kenari, tidak seperti dulu lagi,” tutur pria yang saat ini menjabat sebagai Kepala Desa. Yahuda berharap kenari dapat terus memberi keuntungan bagi petani dengan harga jual yang stabil. Kenari sempat mengalami penurunan harga menjadi Rp 20-25.000,-/kg di beberapa musim.
Bagi Yahuda, kenari telah menjadi komoditas lokal yang menjadi ciri khas Alor yang patut dipertahankan. Meskipun ia pernah juga menyaksikan bagaimana siklon Seroja menumbangkan banyak pohon kenari tua, dan menghanyutkannya ke laut, Yahuda tidak berkecil hati. “Saya adalah orang yang merasakan perubahan dari menjual kenari, yang dari awalnya menjual kenari per tusuk Rp 10,- sampai sekarang sudah mecapai Rp 35-40.000,- per kg. Saya pernah hidup dari hasil jual kenari sampai saya sudah menjadi Kepala Desa saat ini,” katanya.
Ia pun berpesan, “Kami berencana menanam kenari bersama masyarakat desa, mungkin di tahun 2024. Karena menurut kami kenari bisa terancam punah jika tidak ada program resmi dari pemerintah untuk budidaya pohon kenari. Menurut kami pemerintah Kabupaten Alor harus membuat Peraturan Daerah (PerDa) yang melarang keras penebangan pohon kenari. Kami berupaya agar masyarakat dapat melestarikan pohon kenari bukan hanya untuk saat ini tapi untuk anak cucu. Kalau bukan kita yang memberikan contoh mau siapa lagi,”.
Berbeda generasi, Katerina (27) menjadi contoh bagaimana petani muda pun turut meningkatkan derajat kenari sebagai hasil panen bernilai ekonomi. “Saya suka menjadi petani kenari karena dapat membantu kebutuhan rumah untuk kehidupan sehari-hari. Saya mulai menjual kenari dengan aktif di umur 21 tahun, pada tahun 2016,” tutur perempuan tuna netra ini. Hasil penjualan kenari dari kebun keluarganya bisa ia manfaatkan untuk membeli beras dan sedikit demi sedikit menabung untuk keperluan sekolah adik-adiknya.
Katerina mengakui, harga kenari yang sempat mencapai Rp 40.000,-/kg mampu memberinya keuntungan dan alangkah baiknya bila bertahan di harga tersebut. Katerina sudah tidak memiliki masalah akses dari rumahnya ke pasar. Perjalanan itu bisa ia tempuh dalam waktu 20 menit dengan menggunakan kendaraan bermotor. Keterbatasan penglihatannya pun bisa ditanggulangi karena tersedia ojek yang membantunya membawa kenari ke pasar. Ia pun biasa ditemani seorang adiknya agar tetap aman selama berjalan kaki di pasar. Namun, harga kenari yang tidak stabil kerap menjadi kekhawatiran Katerina hingga saat ini.
Kenari menjadi contoh bagaimana komoditas lokal yang perlu pelestarian juga membutuhkan pengawalan harga agar menarik perhatian pasar, juga memberi keuntungan bagi petaninya. Saat ini, proyek INCLUSION masih mengusahakan berbagai pendekatan agar aspirasi petani kenari bisa terhubung dengan permintaan pasar. Semoga ke depannya kenari dapat menjadi kunci sukses perputaran ekonomi petani yang berdampak bagi tiap keluarga di Alor.
Penulis :
Uri Petan Pering (Penyedia Jasa Individu INCLUSION Project area Kupang, Nusa Tenggara Timur)
Ferdinand Bano (DF INCLUSION Project area Kupang, Nusa Tenggara Timur)
Matheos R. Dima (Penyedia Jasa Individu INCLUSION Project area Kupang, Nusa Tenggara Timur)
Nofrin Tobigo (Penyedia Jasa Individu INCLUSION Project area Halmahera Utara)
Eben Hezer Matana (Penyedia Jasa Individu INCLUSION Project area Sulawesi Tengah)
Penyunting :
Mariana Kurniawati (Communication Executive)