Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif
Terdapat tiga aspek yang mempengaruhi seberapa besar risiko bencana dapat dikendalikan. Aspek-aspek tersebut adalah ancaman (hazzard), kerentanan (vulnerability), dan kapasitas (capacity). Ancaman adalah satu-satunya aspek yang berada di luar kontrol manusia. Tingkat kerentanan dan kapasitas masih bisa mengalami penyesuaian melalui kegiatan-kegiatan pemberdayaan.
Salah satu sekolah pendidikan khusus di Kabupaten Tangerang melakukan kegiatan pemberdayaan guru dan siswa untuk mengelola kerentanan dan kapasitas. Hal ini mereka lakukan karena ingin selalu siap siaga bila risiko berubah menjadi bencana. Terutama karena tingkat kerentanan siswa di sekolah tersebut sangat tinggi.
Setiap hari, sekolah yang berdiri sejak 2012 ini mendidik kurang-lebih 35 anak dengan disabilitas. Ada murid yang tuna rungu dan tuna grahita. Beberapa diantaranya juga dibarengi dengan keterbatasan mobilitas. “Kesiapsiagaan itu penting supaya kita aman,” ungkap Cyntia, salah satu murid tuna rungu yang sedang duduk di bangku kelas 11. Keamanan siswa memang menjadi prioritas utama dalam pembuatan rencana kedaruratan di sekolah. Apalagi ketika siswa merupakan anak dengan disabilitas.
Mengacu pada jurnal Center for International Rehabilitation (2005), bencana tsunami Samudera Hindia yang menghantam Aceh pada tahun 2004 memberikan dampak yang sangat tidak proporsional pada anak dengan disabilitas. Sebanyak 50% dari 145 anak dengan disabilitas yang sedang berada di satu sekolah luar biasa meninggal saat bencana terjadi. Anak dengan disabilitas menjadi semakin rentan bila terjadi bencana saat berada di sekolah. Terutama bila sekolah tidak memiliki rencana kedaruratan yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak tersebut. Selain risiko kehilangan nyawa, anak disabilitas pun rentan mengalami disabilitas baru akibat bencana.
“Sekolah semakin sadar akan pentingnya rencana kedaruratan, terlebih karena sekolah kami adalah sekolah khusus, ketika kami mengetahui tentang SPAB (Satuan Pendidikan Aman Bencana) yang memang sudah dicanangkan oleh Kemendikbud Ristek. Ketika kami makin terpapar tentang SPAB, lalu melakukan proses pembuatan rencananya sampai simulasi, dari situ kami paham kalau rencana kedaruratan di sekolah kami sangat penting,” ujar Fasya, guru sekaligus wakil kepala sekolah bagian kurikulum. Saat melakukan proses pembuatan rencana kedaruratan, sekolah ini mendapat dukungan pendampingan dari proyek SinerGi, hasil kerja sama antara Wahana Visi Indonesia dengan USAID.
Para guru mengakui proses pembuatan rencana ini tidak mudah. Sulit bagi para guru membayangkan dan mereka-reka risiko serta bagaimana cara mengantisipasi atau menanggulanginya. Tantangan juga terjadi ketika guru-guru harus menginformasikan dan mengajarkan hal ini pada para murid. “Seorang anak di kelas saya masih usia balita dan autis. Saat kita simulasi, ketika saya memberitahu bahwa sedang terjadi gempa, anak tidak mengerti. Malah pergi ke dekat jendela dan melihat-lihat apa yang teman sekelasnya lakukan,” cerita Rof’atul, guru kelas PAUD dan TK yang akrab disapa Ibu Ela. “Dari situ saya sadar tiap anak murid kami harus diajarkan dengan cara yang berbeda-beda, sesuai kemampuan masing-masing,” lanjutnya.
Semakin beragam disabilitas siswa, maka semakin beragam pula metode ajarnya. Termasuk juga ketika mengajarkan tentang kesiapsiagaan bencana. Setelah trial and error, guru-guru di sekolah merasa kalau murid-murid spesial ini jauh lebih paham tentang kesiapsiagaan bila menggunakan media gambar atau visual. Beberapa murid juga paham ketika diajarkan melalui lagu. Eka, salah satu murid kelas 8 dengan disabilitas kognitif, dapat menyanyikan dan memperagakan lagu yang berbunyi, “Kalau ada gempa, lindungi kepala. Kalau ada gempa, masuk kolong meja. Kalau ada gempa jauhi kaca-kaca. Kalau ada gempa, jalan...ke tempat terbuka...,”.
Berkaca dari perbedaan kapasitas tiap murid di sekolah ini, para guru sadar bahwa aspek utama rencana darurat di sekolah khusus adalah inklusif. Inklusivitas bahkan sudah harus dimulai sejak penyusunan rencana kedaruratan. “Kami sadar akan hal ini dan oleh karena itu proses ini kami lakukan dengan mengajak orang tua murid juga beberapa murid tuna rungu yang sudah SMA,” tutur Fasya.
Masukkan dari anak dengan disabilitas tentunya berdasar pada pengalaman pribadi. Pengalaman dan pengetahuan yang datang langsung dari anak dengan disabilitas akan menjadi rekomendasi yang mampu mengatasi hambatan. Dengan kata lain, penyandang disabilitas mampu menentukan metode atau pendekatan pengurangan risiko bencana yang paling efektif untuk mereka.
“Hal ini terjadi ketika kami membicarakan tentang sistem peringatan dini,” cerita Fasya, “Memang peringatan dini itu sudah ada standarnya, alatnya menggunakan apa. Tapi tidak sesuai dengan konteks murid di sekolah,”. Anang, siswa tuna rungu yang duduk di kelas 12 kemudian menjelaskan, “Kalau kibar-kibar bendera merah, itu tanda kalau ada gempa,”. “Ya betul, akhirnya kami memilih menggunakan simbol bendera merah dan kentungan karena itu yang lebih pas dan berdasarkan masukkan dari para siswa juga,” lanjut Fasya.
Saat ini, sekolah sudah merampungkan dokumen kajian risiko bencana partisipatif dan dokumen rencana kedaruratan. Dokumen tersebut telah merinci pelaksanaan, administrasi dan logistik, komando dan komunikasi, peta dan petunjuk evakuasi, serta tindakan dan prosedur bila terjadi bencana. Terutama, terdapat pula bagian yang menyebutkan data murid yang memerlukan evakuasi khusus.
Guru dan sekelompok murid tuna rungu pun sudah membuat media ajar yang dapat membantu murid lainnya semakin paham tentang langkah-langkah kedaruratan di sekolah. Media ajar ini juga bisa dijadikan alat monitoring kapasitas siswa. Pencapaian dan pembelajaran sekolah ini menjadi contoh baik bagi tiap sekolah yang sudah ataupun ingin menerapkan SPAB. Karena jangan tunggu sampai risiko berubah menjadi bencana dan kita tidak siap-siaga.
Penulis : Mariana Kurniawati (Communication Executive)