Perubahan Iklim Mengancam Perlindungan Anak-anak Indonesia
Kualitas alam dan lingkungan yang semakin menurun berpengaruh pada isu perlindungan anak. Lingkungan yang memburuk dan alam yang tidak menentu dapat menempatkan anak dalam situasi bahaya misalnya, ancaman penyakit, kekerasan, dan kematian. Dalam situasi kemiskinan ekstrim, kerentanan anak sangat tinggi.
Jika kualitas alam dan lingkungan terus menurun maka muncul tekanan ekonomi yang dapat membuat anak menjadi pekerja anak. Hal ini juga memicu meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga termasuk kekerasan terhadap anak. Sehingga akan berbuntut pada sulit mengakses pendidikan dan meningkatnya angka perkawinan usia anak. Imbas berikutnya, kasus kekerasan seksual juga meningkat terutama bagi masyarakat yang sulit mengakses layanan perlindungan anak.
Rentetan isu ini akan menjadi siklus yang selalu memposisikan anak dalam kondisi paling rentan. Belum lagi, kualitas alam yang memburuk juga berdampak pada akses pangan yang mempengaruhi status gizi balita serta kesehatan anak-anak. Ini menjadi penanda bahwa situasi alam Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja akan menjadi ancaman terbesar bagi perlindungan anak.
Fakta dan Penyebab Perubahan Iklim di Indonesia
Berdasarkan data BMKG, Indonesia akan terus mengalami cuaca ekstrim dalam beberapa waktu ke depan. Jika dirunut, situasi ini makin intens dalam beberapa tahun terakhir. Tren pergeseran pola cuaca ini erat kaitannya dengan perubahan iklim.
Sejak tahun 1800-an, aktivitas manusia telah menjadi penyebab utama perubahan iklim terutama akibat pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas. Pembakaran ini menghasilkan emisi gas rumah kaca berlebihan yang bekerja seperti selimut yang melilit bumi sehingga mengikat panas matahari dan menaikkan suhu. Contoh emisi gas rumah kaca adalah karbondioksida dan metana yang berasal dari penggunaan bensin kendaraan bermotor atau batu bara. Pembukaan lahan dengan membabat hutan juga menimbulkan karbondioksida. Sedangkan metana berasal dari tempat pembuangan sampah. Banyaknya penyediaan energi, industri, transportasi, bangunan, pertanian, dan tata guna lahan merupakan penghasil emisi gas rumah kaca yang utama.
Di Indonesia, perubahan iklim juga dipicu aktivitas manusia yang merusak alam. Misalnya, perambahan hutan dan minimnya manajemen sampah yang baik. Keduanya dapat berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan yang ditandai dengan memburuknya kualitas udara dan air, menurunnya daya dukung alam terhadap perubahan cuaca, hingga meningkatnya penyebaran penyakit.
Perubahan Iklim: Ancaman juga Bencana
Perubahan iklim di Indonesia menjadi ancaman bencana. Akibat perubahan iklim, beberapa bencana seperti banjir dan tanah longsor kerap terjadi. Dalam setiap bencana, anak adalah pihak yang paling rentan. Secara umum, seorang anak belum mampu mengupayakan keberlanjutan hidupnya secara mandiri atau masih terikat dengan orang dewasa di sekitarnya. Secara fisik, seorang anak belum mampu melakukan upaya penyelamatan diri dalam situasi bencana. Oleh karena natur ini, penting memastikan dan memprioritaskan keselamatan anak dalam setiap tanggap bencana.
Perubahan iklim juga menjadi ancaman untuk ketahanan pangan. Berkaca dari anak dan masyarakat dampingan WVI yang menggantungkan ekonomi pada pertanian, perkebunan, atau peternakan, dampak perubahan iklim sudah sangat terasa. Cuaca ekstrim mengacaukan waktu tanam dan panen sehingga sulit mengendalikan ekonomi keluarga dan masyarakat. Ketika ekonomi terganggu maka siklus yang mengancam perlindungan anak pun terjadi.
Saat ini, WVI melakukan proyek-proyek yang memperhatikan kesiapan petani dan keluarga dalam menghadapi perubahan iklim. Sehingga setiap keluarga, khususnya petani, memiliki resiliensi dan mampu memberikan pola pengasuhan anak yang baik. Petani pun dapat membangun mekanisme penanganan kasus anak sambil mempertahankan rantai distribusi pangan dan ekonomi.
Panggilan untuk Melindungi Alam dan Setiap Anak
Mengatasi perubahan iklim dalam kerangka perlindungan anak harus dikaitkan dengan Teori Ekologi Anak. Perkembangan anak dipengaruhi berbagai hubungan yang dibangun dari yang terkecil yaitu, orang tua hingga terbesar yaitu, negara. Interaksi anak dengan lingkungannya membentuk perkembangan anak.
Teori ini membagi sistem hidup anak menjadi lingkaran microsystem, mesosystem, exosystem, makrosystem, dan chronosystem. Tiap lapisan lingkungan di sekitar anak memiliki interaksi yang mempengaruhi tumbuh kembang anak. Tiap lapisan seharusnya mulai menyentuh isu perubahan iklim karena isu ini menjadi ancaman bagi keamanan hidup anak (Bronfenbrenner, 1974).
Sederhananya, dalam keluarga, sangat penting mengajarkan anak konsep ramah lingkungan misalnya, memilah sampah atau menghabiskan makanan. Dalam lingkungan pertemanan, anak diperkenalkan mekanisme pengelolaan sampah. Kebiasaan membuang sampah pada tempatnya dapat menjadi langkah awal yang baik. Anak-anak juga belajar untuk lebih memanfaatkan transportasi umum.
Masyarakat dan pemerintah dapat berkontribusi melalui kebijakan maupun norma sosial misalnya, tidak menebang pohon, wajib menggunakan produk daur ulang, atau melarang penggunaan kantong plastik. Media massa pun dapat mengarusutamakan informasi pola hidup ramah lingkungan.
Kedekatan antara perubahan iklim dengan terancamnya perlindungan setiap anak Indonesia bukan hanya menjadi masalah masyarakat global. Ini adalah masalah kita semua. Bila kita mulai melestarikan alam, maka kita pun sedang memperjuangkan perlindungan bagi setiap anak di masa depan.
Penulis: Satrio D. Rahargo (Child Protection and Participation Manager)
Penyunting: Mariana Kurniawati (Communication Executive)