Oleh-oleh dari Sumba Barat Daya - Cara Masyarakat Bersyukur Menguatkan Kami

Oleh-oleh dari Sumba Barat Daya - Cara Masyarakat Bersyukur Menguatkan Kami

Rasa haru, bahagia, dan ungkapan syukur dari masyarakat berhasil menyentuh dan menguatkan hati saya. Saya hanyut dalam keharuan mereka. Hal ini saya alami dan rasakan ketika disambut tulus dan hangat di satu desa dampingan Wahana Visi Indonesia (WVI) di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.  

Tempat yang saya kunjungi kali ini merupakan desa yang baru saja menerima pendampingan dan bermitra dari WVI. Namun, pertemuan yang kami lakukan sudah terasa sangat akrab. Dialog yang seyogyanya hanya berlangsung 30-45 menit mengalir hingga lebih dari satu setengah jam. 

“Kami sadar dan tahu, berkenalan dengan WVI adalah cara Tuhan menolong kami. Kami yakini bahwa WVI adalah perpanjangan tangan Tuhan untuk menjawab kerinduan kami mendapatkan layanan pengembangan masyarakat di kampung ini,” ujar Bapak Ardo (44), seorang tokoh agama yang disegani masyarakat. Ia mengawali dialog kami. 

Perbincangan pun bergulir membahas beberapa isu di desa. Salah satunya adalah sulitnya akses air bersih. Masyarakat mengakui, selama ini harus membeli air dengan harga 150.000 rupiah per tangki untuk kebutuhan maksimal dua minggu. Selain itu, masyarakat juga mencoba menampung air hujan. Padahal di Sumba jarang turun hujan. Saya tidak dapat membayangkan betapa sulit memenuhi kebutuhan air, termasuk untuk ladang dan kebun masyarakat. Sementara ladang dan kebun adalah penghasilan utama. Masyarakat mengungkapkan, mereka harus berhemat air untuk mandi demi bisa menyiram kebun. 

Isu akses air bersih menjadi salah satu prioritas aktivitas program pengembangan masyarakat di desa ini. Sebuah mimpi besar yaitu, tersedianya air di desa mulai dirancang. Saya sangat salut dengan kerja sama yang terjalin baik antara staf WVI di Sumba Barat Daya dengan masyarakat di desa dampingan. Berkat kerja sama ini, akses air benar-benar bisa terwujud.  

“Kami sudah melihat airnya keluar dari bawah tanah. Kami akan saling dukung memastikan air sampai di kampung ini dan kami akan kelola dengan baik. Kalaupun butuh perbaikan kelak, kami yang akan tangani dengan baik. Kami akan buat sistem sesuai kemampuan warga dusun,” tutur Bapak Prederik (55), selaku Sekretaris Desa. Ia menjawab pertanyaan kami tentang rencana pengelolaan sarana air bersih setelah pembangunan selesai dan serah terima dilakukan. 

Saya merasa, semangat masyarakat untuk mengupayakan perubahan terjadi karena adanya relasi yang akrab dan tulus antara Venti sebagai manager kantor operasional WVI di Sumba Barat Daya, seluruh staf, serta tenaga lepas, dengan anak dan masyarakat di desa ini. Di semua kunjungan, sangat terlihat kedekatan yang terbuka dan setara. Anak dan masyarakat di desa menerima staf WVI di Sumba Barat Daya, bahkan saya yang sehari-hari bertugas di Kupang, seperti keluarga dekat. 

Saya pun turut melihat langsung bagaimana kondisi sumber mata air yang jadi harapan baru warga desa. “Sumber airnya di bawah, Pak Portun. Ayo kita lihat kesana, Pak. Nanti kami pegang Bapak turun karena agak terjal,” jelas Pak Ardo sambil tertawa. 

Kami turun ke lokasi pemboran mata air. Benar saja, saya harus melalui jalanan menurun dan terjal. Hasilnya, saya tergelincir dan sedikit terkilir meskipun sudah dipegang kuat-kuat oleh Pak Ardo. Selain hati yang hangat, saya turut membawa oleh-oleh kaki kram yang butuh penanganan khusus setelah kembali ke Kupang. 

Selain isu air bersih, kami pun berbincang tentang cara orang tua mendidik dan merangkai mimpi untuk anak mereka kelak. Seorang ibu bernama Mama Lusia (60) tunjuk tangan lalu bercerita. 

“Saya sudah 60 tahun jadi tidak ada lagi anak saya yang delapan belas tahun ke bawah, yang tadi Bapak bilang sebagai usia anak. Tetapi saya akan terus mendukung anak-anak di sini. Saya tidak sekolah tetapi saya berusaha menyekolahkan semua anak-anak saya. Saya sangat yakin sekolah sangat penting,” katanya bersemangat. Kami menyambut cerita Mama Lusia dengan tepuk tangan. Anak-anak Mama Lusia semua berhasil sarjana dan beberapa menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Cerita hidup Mama Lusia menjadi ilustrasi bahwa setiap orang tua sebenarnya memiliki mimpi yang besar untuk anak-anaknya. Sekarang, bersama WVI, pemerintah setempat, dan mitra lainnya, masyarakat desa tidak perlu lagi berjuang sendiri mewujudkan mimpi tersebut. 

Sumba Barat Daya, baik secara alam, maupun kondisi sosial masyarakat, memang membutuhkan banyak sumber daya dan cara yang tepat untuk menunjang perubahan. Namun, di balik segala kerentanan, tersimpan ketulusan, penerimaan, dan harapan untuk mengupayakan perubahan. Cara masyarakat mensyukuri hidup menjadi motivasi bagi saya dan rekan-rekan WVI di Sumba Barat Daya untuk terus berkarya yang terbaik. Namun, kami pun tidak bisa bekerja sendiri. Kerja sama lintas sektor, lintas pemangku kepentingan sangat dibutuhkan demi mewujudkan Sumba Barat Daya makin penuh pengharapan dan memberi perubahan baik untuk anak dan masyarakat. 

 

 

Penulis: Portunatas Tamba (Manager zona kantor operasional WVI untuk area Nusa Tenggara Timur) 

Penyunting: Mariana Kurniawati (Communication Executive) 


Artikel Terkait