Transformasi Pengasuhan di Ngada, Nusa Tenggara Timur

Transformasi Pengasuhan di Ngada, Nusa Tenggara Timur

Orang tua memiliki peran yang sangat penting dan berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak. Pengasuhan yang baik dapat memberikan dasar yang kuat untuk perkembangan anak yang sehat, baik secara fisik maupun psikologis. Namun, banyak orang tua yang tinggal di daerah terjauh di Indonesia masih terpola dengan pengasuhan zaman dahulu yang berpegang pada pepatah “Di ujung rotan ada emas.”. Artinya, pengasuhan yang sarat kekerasan masih dianggap sebagai cara yang benar dalam mendidik anak. Orang tua tidak peduli dengan perasaan anak yang terluka dan kadang menimbulkan dendam kepada orang terdekat karena pola pengasuhan yang tidak berpihak pada perlindungan anak. 

Fransiskus (43 tahun), seorang ayah dari salah satu desa dampingan Wahana Visi Indonesia di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur dulunya adalah sosok orang tua yang masih memegang cara-cara pengasuhan lama. Kebiasaan pengasuhan yang ia ketahui adalah yang seperti ia lakukan sekarang yakni, masih sarat kekerasan verbal pada anak. “Sebagai orang tua, saya merasa sudah cukup melakukan yang terbaik bagi anak-anak saya,” ujarnya, memulai cerita perubahan dirinya. 

Ia mulai mengetahui bahwa keluarganya dapat bertumbuh menjadi lebih baik ketika terlibat dalam kegiatan Pengasuhan dengan Cinta. “Awalnya, saya bertanya, apa yang akan saya dapatkan dari kegiatan ini. Namun, setelahnya saya baru paham bahwa sebagai orang tua, saya masih harus banyak belajar. Supaya ke depannya, anak-anak saya bisa lebih baik,” tuturnya. 

Salah satu sesi penting dalam kegiatan Pengasuhan dengan Cinta adalah, setiap orang tua diminta untuk menilik masa lalu masing-masing. Mencari akar dari kekerasan yang mereka lakukan pada anaknya saat ini. “Saya ingat dengan jelas, waktu kecil jari kelingking saya pernah patah akibat hukuman dari kenakalan saya,” ujar Fransiskus. Ia menemukan luka masa lalu yang ternyata tidak terputus hingga ia sudah menjadi orang tua. Menilik masa lalu merupakan langkah awal yang membantu para orang tua melepaskan pengampunan, untuk kemudian bertolak menjadi orang tua yang tidak melakukan hal buruk yang sama pada anak-anak mereka. 

“Lalu kami diajak untuk menghargai masa sekarang dan belajar dari Kitab Suci mengenai sikap-sikap yang bisa membangun atau menghancurkan fondasi rumah tangga. Kami berbagi pengalaman mengenai kehidupan rumah tangga. Saya banyak mendapat kisah tentang pengasuhan anak dari orang tua lain yang telah menjalani pernikahan lebih dari puluhan tahun. Ini menjadi motivasi tersendiri bagi saya bersama istri yang baru menjalani 12 tahun pernikahan,” ceritanya. 

Fransiskus mengambil komitmen untuk tidak mengasuh anak-anaknya dengan kekerasan lagi. Ia berjanji bahwa rantai kekerasan akan berakhir di dirinya, tidak diwariskan pada anak-anaknya. Sebagai seorang ayah, ia berharap bisa mulai menjadi pendoa bagi anak-anaknya. Ia juga mulai menyusun mimpi-mimpi keluarga. "Ini membutuhkan kerja sama antara suami dan istri agar semua mimpi itu dapat terwujud,” kata sosok yang sehari-hari bekerja sebagai aparat desa ini. 

Akhir sesi kegiatan Pengasuhan Dengan Cinta menjadi momen yang paling berkesan bagi Fransiskus. Sesi ini juga yang mendorong Fransiskus untuk menjadi ayah yang mendoakan anak-anaknya. “Kami diminta untuk menulis doa dan harapan untuk anak dan keluarga. Ini jarang saya lakukan. Saya langsung teringat saat anak pertama saya sempat dirawat di rumah sakit selama lebih dari tiga bulan. Sehingga saat itu saya menulis agar kami sekeluarga selalu diberi kesehatan dan kebahagiaan,” ungkapnya. Namun setelah anaknya kembali sehat, ia lupa bahwa ada kekuatan doa dan harapan yang menopang pengasuhannya. Kini, Fransiskus telah diingatkan kembali akan hal ini. 

“Semoga ke depan saya dan istri dapat menerapkan semua yang telah diajarkan dan kami dapat menghilangkan kekerasan verbal dan fisik sehingga tidak menimbulkan luka atau dendam pada anak-anak kami,” pungkasnya. 

 

 

Penulis: Angelina Uta (Fasilitator Pengembangan dari Yakkestra, mitra lokal WVI di Ngada) 

Penyunting: Mariana Kurniawati (Communication Executive) 


Artikel Terkait