Nyala Juang Mama-Mama Cegah Konflik Sosial di Tanah Papua
Mama Mien atau Mince ketika ditemui Tirto di Hutan Sagu, Jayapura, Kamis (19/9). (Tirto.id/Mochammad Fajar Nur)
Mince atau biasa disapa Mama Mien, bercerita dengan tenang dan cakap sambil duduk di bongkahan batu gompal, Kabupaten Jayapura, Papua, Rabu (18/9/2024). Mama Mien tidak surut berbagi kisah walaupun cuaca siang itu terasa sumuk dengan secuil angin dengan dipayungi rindang teduh hutan sagu.
“Maaf, usia tua buat mata saya sering berair,” kata Mien sambil menyeka mata dengan tisu kepada Tirto.
Mien berbagi cerita tentang peran perempuan di Papua mampu sebagai agen kerukunan hingga mampu berperan pada segala lini kehidupan. Termasuk dalam merajut dan menjaga harmoni sosial masyarakat.
Mien sendiri mantan guru yang sudah 35 tahun mengabdikan diri untuk mendidik anak-anak Papua. Perempuan asal Biak Numfor ini sudah purna tugas pada 2017 lalu. Mien mengakui tidak pernah berhenti menjadi pendidik. Mien terus aktif bersuara dan memberikan pelatihan soal hak-hak dan peran perempuan di Papua.
“Perempuan Papua ada [bekerja] di pesisir pantai, di tanah besar pegunungan, di lembah, di mana ada danau, dan lain-lain. Dan beraktifitas bagaimana mereka menghidupi keluarga, menopang suami, tentu dilakukan itu bagaimana memberi makna dalam kehidupan,” jelas Mama Mien.
Mama Mien atau Mince ketika ditemui Tirto di Hutan Sagu, Jayapura, Kamis (19/9). (Tirto.id/Mochammad Fajar Nur)
Mien sadar, masih ada pandangan di masyarakat yang menempatkan perempuan serupa vas bunga di pojok ruangan. Misalnya ketika ada pengambilan keputusan di tingkat adat, perempuan jarang dilibatkan untuk ambil peran. Bahkan diberikan ruang berpendapat saja masih teramat sukar.
Kendati demikian, bukan berarti tak ada belati yang mampu membabat rimba lebat itu. Mien misalnya, bersyukur dengan kehadiran Komite Kerukunan yang digagas oleh Wahana Visi Indonesia (WVI).
WVI merupakan lembaga nonpemerintah yang bergerak di bidang kemanusiaan dengan fokus pelayanan kepada anak. Termasuk di Papua, yang puluhan tahun sudah menjadi sasaran program kerja WVI.
Komite Kerukunan adalah salah satu wadah yang lahir dari program WVI di Papua bertajuk Transformasi Komunitas untuk Kerukunan atau disebut program NOKEN Papua. Program NOKEN Papua berlangsung di 3 Kabupaten, yakni Jayapura, Jayawijaya, dan Biak Numfor. Program ini dilaksanakan sejak Februari 2022 hingga Januari 2025 mendatang.
Mama Mien menjadi salah satu anggota Komite Kerukunan dari Biak Numfor. Lewat Komite Kerukunan, Mien turut menebalkan peran perempuan sebagai agen kerukunan dan persatuan. Komite Kerukunan memang sengaja diisi oleh berbagai unsur: pemuda, tokoh adat, tokoh lintas agama, tokoh perempuan, hingga pemerintah distrik/kampung.
Mien menuturkan, Komite Kerukunan memberikan kesempatan bagi perempuan bersuara dan setara dalam pengambilan keputusan adat. Dengan berbagai pendekatan, mulai dari dialog hingga cara keadatan, Komite Kerukunan sudah berhasil beberapa kali meredam bibit-bibit konflik sosial.
“Kita bicara tentang bagaimana terwujudnya kerukunan itu dalam suku, agama, ras, tapi juga dalam pengambilan keputusan yang sangat minim, artinya tidak semua perempuan bisa mendapatkan posisi. Tapi melalui Komite Kerukunan ini banyak hal yang ter-connect dan itu bisa menjembatani kami,” ujar Mama Mien.
Papua dan konflik, merupakan dua hal yang seringkali berkaitan. Konflik di Papua secara umum bisa dibagi menjadi dua yaitu horizontal dan vertikal.
Konflik vertikal berkaitan dengan pemerintah atau aparat keamanan. Meliputi persoalan separatisme, diskriminasi, kebijakan hingga pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Sementara, konflik horizontal dapat terjadi dalam berbagai konteks sosial yang mengancam kerekatan kehidupan masyarakat seperti isu kesenjangan, akses pendidikan, kesehatan, persoalan bencana, konflik wilayah, kesukuan, hingga gesekan sebab isu politik dan agama.
Mien mengakui program NOKEN Papua, melakukan intervensi untuk menjaga kohesi sosial dari ancaman potensi konflik horizontal. Hal itu dijalankan lewat kerja-kerja yang dilakukan oleh Komite Kerukunan yang turun ke masyarakat dan pemerintah setempat. Pasalnya, Mien memahami konflik yang terjadi akan lebih banyak berdampak pada perempuan dan anak-anak.
“Apalagi kalau perempuan dalam keadaan hamil anak yang sedang menyusui, itu juga harus disampaikan sehingga tentu saja kita melibatkan pemerintah ketika itu terjadi maka pemerintah punya tanggung jawab memfasilitasi korban,” ujar Mien.
Mien mencontohkan bagaimana cara kerja Komite Kerukunan meredam bibit konflik sosial. Belum lama ini, terjadi ketegangan di daerahnya akibat perbedaan pilihan politik dalam kontestasi Pemilu lalu. Salah satu caleg daerah tidak mengizinkan warga yang bukan loyalisnya mendapatkan air bersih dari sumur yang dibangunnya.
Kejadian tersebut memantik ketegangan di masyarakat terlebih persoalan itu merembet ke isu kepemilikan tanah dan wilayah. Sebagai anggota Komite Kerukunan di Biak Numfor, Mama Mien dan anggota komite ikut turun tangan mengurai kekusutan.
Komite Kerukunan membangun dialog dua pihak yang berkonflik. Mencari titik tengah dengan melibatkan para tetua adat dan pemerintah desa. Mama Mien turut melibatkan perempuan dan pemuda sebagai aktor kunci membuat suasana kembali kondusif.
“Maka itu tadi aktor-aktor seperti pemerintah, tetua-tua adat, terus perempuan yang kita anggap bahwa dia punya peran, dia bisa memainkan peran-perannya untuk bagaimana meminimalkan segala hal,” kata Mien yang mengaku persoalan itu berakhir damai.
Zonal Program Manager Papua Wahana Visi Indonesia (WVI), Sabtarina Febriyanti, menuturkan, program NOKEN Papua secara tidak langsung menjamin hak dan kehidupan anak-anak di Papua. Konflik sosial di Papua, sering kali akan bermuara pada pengabaian hak-hak anak dalam mendapatkan pendidikan, kesehatan serta kehidupan yang layak dan aman.
Rina menjelaskan, program NOKEN Papua berupaya mencegah konflik sosial dengan cara mempererat kohesi sosial masyarakat. Konflik sosial tak jarang membuat anak-anak Papua tidak bisa hadir ke sekolah, mengakses layanan kesehatan, bahkan raibnya tempat tinggal karena harus mengungsi.
“Kalau konflik enggak terjadi, maka anak bisa tetap sekolah, enggak perlu nanti ada kerusuhan yang membuat mereka mengungsi. Kalau sakit, mereka tetap bisa akses kesehatan,” kata Rina saat ditemui Tirto di Pusat Pelatihan dan Pembinaan Wanita (P3W) Gereja Kristen Injil di Tanah Papua (GKI-TP), di Jayapura, Papua, Rabu (18/9/2024).
Zonal Program Manager WVI zona wilayah Indonesia Timur, Sapta Rina Dwi Febrianti, saat ditemui di Jayapura, Kamis (19/9/2024). (Tirto.id/Mochammad Fajar Nur)
Program NOKEN Papua, dilaksanakan di tiga kabupaten dengan masing-masing berfokus di tiga distrik pada setiap kabupaten. Walaupun terbatas, setiap wilayah ini memiliki potensi dan karakteristik konflik yang berbeda-beda.
Di Jayawijaya misalnya, kerawanan konflik di daerah itu sangat tinggi. Konflik bisa dilatarbelakangi oleh keributan antarsuku, faktor politik, hingga konflik tanah.
Sementara itu, di Kabupaten Jayapura, masih rawan terjadinya konflik yang dipantik oleh persoalan politik dan urusan tanah. Rina menjelaskan sering terjadi pemalangan karena ribut urusan wilayah.
Kemudian di Biak Numfor, relatif belum terjadi konflik yang terjadi besar dan sering. Namun, daerah ini dinilai dapat disebut sebagai wilayah akses terluar yang juga kerap terjadi pertemuan dan kedatangan orang-orang non-Papua di sana. Bila diabaikan, khawatir terjadi perbedaan pendapat yang berujung pada konflik lebih besar di Biak Numfor.
WVI berharap lewat Komite Kerukunan, masyarakat Papua bisa berdaya dan mampu ambil peran dalam mencegah konflik sosial di wilayah mereka. Itulah mengapa program NOKEN Papua sengaja melibatkan segala unsur mulai dari pemuda, perempuan, tokoh adat, tokoh agama, hingga pemerintah desa.
“Di sini kan dikenal ada tiga tungku, ada adat, pemerintah, dan tokoh agama. Ini memang tidak bisa dipisahkan. Mereka memiliki fungsi peran masing-masing,” ujar Rina.
Meski program NOKEN Papua akan berakhir awal 2025, Rina mengaku pihaknya berharap Komite Kerukunan tetap jalan atau setidaknya mendapatkan dukungan pemerintah daerah. Apalagi, saat ini sudah ada tiga distrik yang memberikan SK resmi bagi Komite Kerukunan. Rina percaya keterlibatan seluruh pihak dapat mempererat kohesi sosial masyarakat untuk menghalau bibit konflik horizontal.
“Kami tetap mengupayakan yang terbaik yang kami bisa. Makanya kita ingin, kalau bicara tentang perubahan perilaku, itu harus dilakukan secara terus-menerus konsisten. Kita harap tiga tahun ini kita masih bisa berlanjut lagi, harapan kami,” ujar Rina.
Dirasakan Masyarakat
Dari dermaga Khalkote, Jayapura, tak lebih dari 15 menit untuk sampai ke kampung tempat tinggal Mama Yos. Menumpangi speedboat, desa tempat tinggal perempuan bernama asli Yosina itu, berdekatan dari Danau Sentani. Selasa (17/9/2024), menjelang sore, dari kejauhan, Mama Yos sudah menunggu di dermaga dengan kaus gelap tanpa alas kaki.
Dia mengajak saya bercengkrama dan duduk di pinggir danau sore itu. Semakin temaram langit, angin Danau Sentani terasa lebih tenang dengan aroma amis ikan dari kejauhan. Beberapa ekor babi berwarna gelap dan anjing rumahan, melintas mengais sisa makanan di tanah.
“Di sini sunset itu bagus sekali, jika seberang sore seperti ini memang angin cukup kencang,” kata Mama Yos kepada Tirto.
Sambil menikmati matahari terbenam, saya mendengarkan cerita Mama Yos tentang peran Komite Kerukunan. Sebagai tutor di PAUD dan rumah baca, Yosina mengaku sangat terbantu dengan adanya Program NOKEN Papua besutan WVI.
Berbincang dengan Mama Yos, warga kampung di pinggir Danau Sentani, Jayapura, Rabu (18/9). (Tirto.id/Mochammad Fajar Nur)
Di kampungnya sendiri, terdapat seorang pemuda, Syahdan, yang berperan aktif sebagai anggota Komite Kerukunan. Syahdan, suatu ketika pernah ada kejadian sekolah di tempat tinggal Yosina terpaksa tutup. Alasannya, ada dua guru di sekolah itu yang bertengkar dan berimbas membuat gerbang sekolah dipalang. Anak-anak, sampai harus berhenti belajar selama hampir dua minggu lamanya.
“Ada juga dorang trauma lihat gurunya itu baku pukul bertengkar,” tutur Mama Yos.
Karena terenyuh melihat kondisi anak-anak, Mama Yos menceritakan hal ini kepada Komite Kerukunan dari program NOKEN Papua. Beruntung, Yosina dekat dengan anggota komite yang kerap berkegiatan di kampungnya, Rina, dan, Jon.
Keluh kesah Mama Yos pun didengar. Komite Kerukunan berhasil membangun dialog dengan masyarakat untuk mencari titik tengah pertengkaran guru di sekolah.
Mereka menyadarkan anak-anak menjadi korban terbesar dari konflik sosial yang terus dipelihara. Yosina dan Komite Kerukunan berhasil membuat sekolah kembali dibuka dan mendamaikan konflik.
“Warga-warga bilang, eh kamu damai sudah, tidak usah ribut-ribut sudah. Akhirnya mereka guru ke kantor polisi dan damai selesai,” tutur perempuan berusia 49 tahun itu.
Tidak hanya menyelesaikan konflik di sektor pendidikan. Program NOKEN membantu mama-mama di desa. Komite Kerukunan pernah membuat lokakarya di desa soal perlindungan anak di lingkup keluarga. Program itu dinilai membuka mata perempuan di desa untuk mengutamakan hak-hak anak seperti perlindungan dan pendidikan.
“Seperti anak tidak boleh pukul, anak tidak boleh maki-maki. Dengan sendirinya orang tua mulai sadar, terus menyadari rumah baca itu penting,” sambung Mama Yos.
Salah satu anggota Komite Kerukunan dari Kabupaten Jayapura, Antoneta, (51), setuju jika program NOKEN Papua dapat mendongkrak peran perempuan sebagai agen kerukunan. Antoneta yang juga menjadi kepala desa itu bercerita lewat Komite Kerukunan, perempuan bisa lebih dihargai jika ingin mengeluarkan pendapat dalam penyelesaian suatu konflik.
Antoneta menjelaskan, kerja-kerja Komite Kerukunan harus terus berlanjut meski program NOKEN Papua yang digagas WVI akan berakhir. Lebih lanjut, dia juga mendorong pemerintah daerah bisa ikut ambil peran untuk memberikan payung hukum dan dukungan terhadap kerja-kerja Komite Kerukunan yang selama ini konsisten dilakukan secara sukarela.
“Ilmunya [mencegah konflik] sudah ada di kita. Ini ilmu yang paling bagus untuk mengatasi ketika ada masalah di kampung atau distrik kita, jadi kita harus selalu jalani Komite Kerukunan,” kata Antoneta ditemui Tirto di Jayapura, Kamis (19/9/2024).
Hal senada juga dikatakan Ketua Sinode GKI-TP, Andrikus Mofu. Dia menilai peran Komite Kerukunan sejalan dengan kerja-kerja gereja dan peran forum antaragama di Papua dalam mengupayakan kerukunan. Andrikus pun berharap program NOKEN Papua mendapat dukungan luas karena berperan positif menjaga kohesi sosial dan kemanusiaan masyarakat Papua.
Andrikus tak menampik, Papua salah satu wilayah yang rawan terjadi konflik sosial. Tetapi, dia menuturkan, bukan berarti kemanusiaan dan harmoni tidak bisa ditegakkan di tanah Papua. Tuhan memandatkan kita untuk menjaga kehidupan dan merawat cita-cita bersama.
“Oleh sebab itu gereja dalam nilai ini harus berbicara dan selalu berbicara soal kemanusiaan di atas segala hal,” ujar Andrikus kepada Tirto saat ditemui di Kabupaten Jayapura.
Sementara itu, ditemui di kantornya, Asisten I Bidang Pemerintahan Kabupaten Jayapura, Elphyna Situmorang, mengaku, mendukung penuh program NOKEN Papua besutan WVI dan berharap bisa terus dilanjutkan. Hal itu sejalan dengan program pemda kabupaten Jayapura untuk merawat kerukunan masyarakat.
Elphyna pun mengapresiasi program NOKEN Papua karena bisa melakukan pendekatan kultural membuat perempuan semakin diberikan ruang untuk berdaya. Elphyna menekankan Papua merupakan wilayah aman dan mampu merawat harmoni. Peran antarsektor, bisa menjadi kunci untuk membantu pemerintah menjaga kondusifitas bersama.
“Saya rasa juga NOKEN nanti untuk ke depan kalau memang berakhir, kami pemerintah juga bisa [membantu] menyurati kepada NGO dapat memperpanjang program NOKEN,” ujar Elphyna kepada Tirto.
Asa besar terhadap kelangsungan program NOKEN Papua besutan WVI dan eksistensi Komite Kerukunan mencerminkan luhurnya cita-cita masyarakat Papua menjaga kerukunan. Konflik memang terjadi namun bukan berarti tanah ini harus selamanya dihidupkan dengan luka dan trauma. Tanah Papua mampu menjadi episentrum harapan untuk keberlangsungan hidup yang rukun dan harmoni.
Perempuan dan anak-anak harus jadi fokus utama saat berbicara dampak konflik sosial di Papua. Jangan ada lagi anak-anak yang putus sekolah, kehilangan punya tempat tinggal, tak mampu berobat bahkan harus kehilangan nyawa tersebab konflik. Peran seluruh pihak dinantikan untuk menciptakan kerukunan dan kesetaraan. Selaiknya Noken – tas tradisional masyarakat Papua – yang dirajut penuh cinta dan menampung semua.
Program NOKEN Papua membuktikan pula perempuan mampu berperan jadi agen kerukunan. Mereka bukan lagi suara yang sayup, namun dapat berdentum nyaring merajut perdamaian dan menjaga kerukunan sosial.
Teringat ucapan Mama Mien saat menjawab pertanyaan soal hal yang membuat ia tak kenal lelah memperjuangkan hak-hak perempuan. Terlebih, sebagai anggota sekaligus pengajar di Komite Kerukunan besutan WVI, usianya sudah lebih dari setengah abad.
“Saya tak tahu bisa buat berkata apa lagi,” jawab Mince lirih.
“Mungkin karena saya perempuan. Perempuan itu melahirkan dan merawat kehidupan,” kata Mama Mien sambil tersenyum.
Sumber: Nyala Juang Mama-Mama Cegah Konflik Sosial di Tanah Papua