Peran Orang Terdekat Sangat Penting untuk Menekan Angka Stunting di Jawa Timur
ILUSTRASI BALITA SEHAT - Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2024 mengungkap 3 dari 20 bayi di wilayah Jawa Timur mengalami stunting. Keluarga memiliki peran penting untuk bisa mencegah anak mengalami stunting.
SURYAMALANG.COM, MALANG - Tantangan menekan angka stunting di Jawa Timur masih tinggi. Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2024 mengungkap 3 dari 20 bayi di wilayah Jawa Timur mengalami stunting.
Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Timur, Desy Mega Aditia mengatakan, keluarga memiliki peran penting untuk bisa mencegah anak stunting.
Banyak kasus stunting terjadi karena pola sosial masyarakat yang belum paham tentang gejalanya.
Dikatakan Mega, kebutuhan nutrisi maupun protein tidak hanya saat anak sudah lahir, tetapi juga saat sebelum menikah dan hamil.
Oleh karena itu, pengetahuan tentang pentingnya memilih makanan perlu diketahui oleh para calon pengantin.
"Jadi intervensinya bukan saat anak lahir dan tumbuh kembangnya terganggu, tetapi sebelum menikah pun harus diedukasi."
"Keluarga memiliki peran penting. Dukungan itu sangat berarti," katanya kepada SURYAMALANG.COM, Kamis (30/10/2025).
Selain peran keluarga, ia juga menekankan pentingnya sinergi di lingkungan, pun sinergi lintas stakeholder dalam penanganan stunting.
Pemprov Jatim telah bekerjasama dengan pemerintah daerah dan sejumlah organisasi masyarakat yang memiliki konsen terhadap penurunan angka stunting di Jawa Timur.
Angka prevalensi di Jawa Timur pada 2024 adalah 14,7 persen. Menempati posisi ke-37 dari 38 provinsi. Paling tinggi berada di Papua Pegunungan dengan angka prevalensi 40 persen.
"Kita bisa bergerak bersama dan saling membantu. Tantangannya tidak mudah, maka tidak bisa sendiri-sendiri," paparnya.
Salah satu yang menjadi kolaborator di Jawa Timur adalah Wahana Visi melalui Program PASTI, yakni Partner Akselerasi Penurunan Stunting di Indonesia.
National Program Manager PASTI, Hotmianida Panjaitan mengatakan, di Jawa Timur, lembaganya bekerja di dua kabupaten yakni Ngawi dan Malang.
Di Kabupaten Malang, ada dua kecamatan yang menjadi pelaksanaan program. Dua kecamatan tersebut adalah Kecamatan Gondanglegi dan Kecamatan Pakis.
Angka prevalensi stunting di Kabupaten Malang yakni 23,3 persen.
Program PASTI telah mendampingi 29 desa di Kabupaten Malang. Bahkan telah direplikasi ke 118 desa/kelurahan untuk mempercetat penanganan stunting.
"Kami percaya dengan menyasar akar persoalan stunting, termasuk pola pengasuhan, akses informasi dan keterlibatan remaja sebagai calon orang tua, dapat mendorong perubahan yang besar dan berkelanjutan pada keluarga dan masyarakat," ujarnya.
Sepanjang tahun 2025, program ini telah menjangkau 2.592 orang dewasa, 842 remaja dan 541 balita di Kabupaten Ngawi dan Malang.
Sebanyak 97,6 persen kalangan orang tua atau pengasuh dan ibu hamil mengalami peningkatan wawasan terkait stunting.
Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB), Aniswaty Aziz mengatakan upaya pencegahan yang efektif bisa dimulai dari desa.
Keterlibatan masyarakat menjadi kekuatan utama. Kolaborasi dengan berbagai unsur telah memungkinkan jangkauan yang lebih luas.
"Karena kami memiliki keterbatasan sumber daya manusia. Kami tidak mungkin datang dari pintu ke pintu, maka sangat penting sekali keberadaan kader," katanya.
Dalam pelaksanaannya, 90 kader Tim Pendamping Keluarga (TPK) telah dilatih dan melakukan Kampanye Perubahan Perilaku (KPP) kepada 2,444 orang tua atau pengasuh dan ibu hamil.
Sebanyak dan 97,6 persen diantaranya mengalami peningkatan pengetahuan.
Selain itu, program ini juga melibatkan remaja melalui pendekatan peer educator, untuk membangun kesadaran akan pentingnya kesehatan sejak remaja.
“Dulu banyak keluarga menganggap gizi cukup itu yang penting anak kenyang."
"Tapi setelah ikut kelas edukasi dan praktik bersama, pemahaman mereka berubah."
"Sekarang mulai memperhatikan kualitas makanan dan keterlibatan semua anggota keluarga,” paparnya.
Badi’atus, seorang ibu asal Kabupaten Malang, menceritakan perubahan yang ia rasakan setelah mengikuti kelas tersebut.
Dahulu, ia hanya mengolah makanan ala kadarnya. Setelah mengikuti pelatihan, ia kini bisa mengolah makanan yang menarik untuk dinikmati oleh anaknya.
"Jadi saya bisa buat olahan telur menjadi seperti burger. Dulu anak saya dua bulan tidak naik berat badannya, tapi sekarang sudah naik. Dari 8 Kg menjadi 9 Kg," katanya.