Upaya Warga Sekadau Beralih dari Jamban Sungai untuk Atasi Cemaran
Mongabay, Sekadau - Suara gemercik air berpadu dengan tawa anak-anak yang mandi di Sungai Sekadau, pagi itu. Ibu-ibu menepuk-nepuk pakaian di batu besar di tepi sungai dengan air berwarna kecoklatan.
Air Sungai Sekadau ini jadi tumpuan berbagai keperluan warga melakukan sehari-hari, dari mulai mandi, mencuci baju dan sayuran, hingga buang air besar.
Kebiasaan buang air besar di sungai berlangsung sejak dulu, tanpa disadari menimbulkan risiko bagi lingkungan dan kesehatan, terutama penyebaran penyakit diare dan muntaber.
Perlahan, kebiasaan itu mulai berubah. Warga sudah membangun jamban sehat di rumah masing-masing dengan inovasi sederhana yang mereka rancang sendiri.
Pada 7 Agustus 2025, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, resmi menyandang status open defecation free (ODF). Dengan pencapaian ini, Sekadau tercatat sebagai kabupaten pertama di Kalimantan Barat yang berhasil mencapai target bebas buang air besar sembarangan.

Sebelum berstatus ODF, rata-rata warga melakukan buang air besar di sungai dengan membuat jamban dari kayu dan seng sebagai dinding dan atapnya. Foto: Anggita Raissa/Mongabay Indonesia
Tantangan
Akses terhadap fasilitas sanitasi layak telah lama jadi tantangan utama bagi warga Sekadau. Masyarakat di daerah dengan julukan ‘Bumi Lawang Kuari’ itu selama bertahun-tahun, bergantung pada jamban terbuka di tepi sungai.
Rita, menceritakan pengalaman dulu harus terbiasa dengan jamban di sungai. Dia bilang, tak ada biaya untuk membangun jamban. Mereka suah terbiasa pakai jamban sungai bersama-sama.
Kebiasaan itu, katanya, berlangsung turun-temurun.
“Rumah saya sempit, nggak ada lahan untuk bikin jamban,” kata perempuan 28 tahun ini.
Dia bilang, keterbatasan biaya membuat keluarganya tak pernah berpikir bangun WC (water closet) sendiri.
“Kalau mau bikin jamban, perlu uang banyak, kloset mahal, sementara kebutuhan sehari-hari saja kadang pas-pasan,” katanya.
Tak cuma melakukan buang air besar sembarangan (BABS), masyarakat di Sekadau juga melakukan aktivitas lain seperti mandi, mencuci pakaian, piring, sampai mencuci sayuran di sungai.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2021 tentang penggunaan fasilitas buang air besar di Sekadau, tercatat 20,96% rumah tangga belum memiliki jamban atau kakus sendiri. Sementara itu, pemanfaatan jamban umum juga masih sangat terbatas, hanya 2,94% rumah tangga yang menggunakannya.

Salah satu warga Desa yang lokasinya berdekatan dengan objek wisata Batu Jatoh, Kabupaten Sekadau, sedang mengecek tangki air untuk dialiri ke rumah-rumah warga. Desa tersebut menjadi pelopor pertama yang berhasil meraih status ODF pada 13 Desember 2015. Foto: Anggita Raissa/Mongabay Indonesia
Kondisi topografi Sekadau terutama di Sekadau Hilir, juga tak memungkinkan untuk bangun tangki septik (septic tank). Sebagian besar wilayah merupakan dataran rendah cenderung berawa, rawan banjir dan memiliki daya resap tanah yang buruk.
Ningsih, warga yang tinggal di bantaran Sungai Sekadau, sudah dua kali membangun tangki septik, namun tak bertahan lama.
Saat musim hujan dan air sungai meluap, tangki septik yang dia bangun selalu tergenang hingga akhirnya rusak.
“Airnya masuk ke dalam septik, lama-lama jebol. Jadi, terpaksa kami kembali ke jamban sungai.”
Meski perempuan paruh baya itu punya jamban sendiri, tetapi dia mengaku masih sering menggunakan jamban sungai. Alasannya, selain tangki septik mudah rusak, kondisi lingkungan membuat jamban pribadi tak selalu bisa digunakan.
“Kalau hujan besar, jamban di rumah nggak bisa dipakai. Jadi, ya, terpaksa ke sungai lagi.”
Prasetyo Widhi Buwono, anggota bidang Advokasi Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI), menyebut, kebiasaan buang air besar (BAB) sembarangan dapat menimbulkan dampak serius bagi kesehatan dan lingkungan.
Menurut dia, BAB sembarangan di sungai, dapat mencemari air masyarakat untuk berbagai kebutuhan, seperti mandi, mencuci, transportasi, bahkan sebagai sumber air minum.
“Pencemaran ini berpotensi menyebarkan bakteri penyebab infeksi saluran cerna, termasuk diare dan muntaber,” kata Prasetyo kepada Mongabay.
Selain di sungai, BAB sembarangan di kebun juga berisiko menimbulkan infeksi. Anak-anak yang terpapar dapat mengalami infeksi cacing yang berdampak pada gangguan tumbuh kembang.
Pada orang dewasa, infeksi cacing dapat menyebabkan gangguan pencernaan dan anemia, yang dapat berbahaya bagi ibu hamil karena meningkatkan risiko perdarahan saat persalinan.
Dia bilang, BAB sembarangan juga memicu masalah lain. Bau kotoran dapat mengundang lalat yang membawa jutaan bakteri. Jika lalat hinggap pada makanan yang tidak ditutup, bakteri bisa mengkontaminasi makanan.
Kalau makanan masyarakat konsumsi, katanya, dapat menyebabkan penyakit infeksi saluran cerna, termasuk muntaber dan demam tifoid.

Warga gotong royong membangun ‘Gentong Mas Santun’ sebuah inovasi tangki septik untuk di permukiman yang mudah banjir dan tanah amblas. Dokumentasi: Wahana Visi Indonesia
Inovasi ‘Gentong Mas Santun’
Bicara penggunaan jamban di Sekadau, tiga orang pemuda, yakni Rusdiani, M Indra Kusuma, dan M Rifani, punya peran penting.
Melihat kondisi kampung di Sekadau Hilir masih banyak bergantung pada jamban sungai karena tangki septik mudah rusak kena banjir, mereka gunakan gentong sebagai alternatif.
Tangki septik itu mereka beri nama “Gentong Mas Santun,” singkatan dari Gerakan Tolong Masyarakat Sanitasi Tuntas. Desainnya praktis, biaya pembuatan relatif murah, dan bisa pasang di lahan sempit.
Gentong sebagai pengganti tangki septik, hingga bisa menampung limbah tanpa mencemari sungai.
Inovasi sederhana ini mendapat perhatian masyarakat. Melihat potensi ini, Wahana Visi Indonesia (WVI), ikut mengembangkan konsep Gentong Mas Santun agar lebih layak dan berstandar kesehatan.
Mereka membantu memperbaiki desain, menambahkan komponen lebih aman, dan memperluas jangkauan penggunaan.
Margaretta Siregar, Area Program Manager Cluster Hulu Kapuas WVI menyebut inovasi Gentong Mas Santun ikut berperan mendorong percepatan target ODF di Sekadau.
“Gentong Mas Santun jadi solusi alternatif bagi warga yang kesulitan membangun tangki septik karena kondisi topografi. Dengan inovasi ini, semakin banyak keluarga bisa memiliki akses jamban sehat. Itu mendukung deklarasi Sekadau sebagai kabupaten ODF,” katanya kepada wartawan, di Sekadau.
Ningsih, misal, dengan ada Gentong Mas Santun jadi tak khawatir lagi bila hujan deras datang. Tangki septiknya tidak hancur lagi. Hal itu karena rancangan Gentong Mas Santun dengan bahan kuat dan tahan lama, hingga mampu menahan tekanan air maupun tanah. Sistem ini juga lebih mudah dalam perawatan.
Dua kali dalam seminggu, Ningsih rutin melarutkan klorin (bahan kimia disinfektan) ke dalam Gentong Mas Santun.
Klorin berfungsi menghambat pertumbuhan serta membasmi bakteri dan mikroba pada tinja.
“Jadi, kalau Gentong Mas Santun ini penuh, kami bisa buang limbahnya dengan aman ke lubang resapan tanpa takut mencemari lingkungan. Air yang keluar juga sudah lebih jernih dan tidak berbau,” katanya.
Dia juga membuat larutan effective microorganisms 4 (EM4), konsentrat yang mengandung campuran mikroorganisme menguntungkan. Larutan EM4 ini untuk mempercepat proses dekomposisi (penghancur tinja).
“Larutan EM4 bisa dibuat sendiri dengan cara mencampurkan air dan gula, kemudian difermentasikan hingga siap digunakan,” katanya.
Menurut dia, membuat larutan EM4 secara mandiri jauh lebih murah dibanding membeli produk jadi di pasaran. Pembuatan Gentong Mas Santun juga hanya memerlukan biaya Rp2 juta, sedangkan tangki septik konvensional bisa menghabiskan lebih Rp3-Rp5 juta, dan tak awet bila sering banjir.
Selain itu, proses ini juga ramah lingkungan karena memanfaatkan bahan sederhana yang mudah dan tidak menghasilkan limbah berbahaya.
Senada dengan Rita. Sebagai penerima manfaat dari Gentong Mas Santun sekaligus kloset, Rita juga merasakan perubahan besar dalam kehidupan sehari-harinya.
Anaknya, Sasha tak lagi harus pergi ke jamban sungai untuk buang air besar.
“Sekarang lebih praktis karena punya jamban sendiri di rumah,” katanya.
Ada 28 Gentong Mas Santun terpasang oleh WVI di wilayah itu. Dari jumlah itu, 21 berada di pinggiran Sungai Sekadau Hilir, sedangkan tujuh lainnya di daerah rawa.
ODF merujuk pada kondisi ketika setiap individu dalam komunitas tidak buang air besar sembarangan.
ODF merupakan salah satu pilar dalam program sanitasi total berbasis masyarakat (STBM) yang terdiri dari lima pilar utama, yakni, setop buang air besar sembarangan, cuci tangan pakai sabun (CTPS), dan pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga. Juga, pengamanan sampah rumah tangga, dan pengamanan limbah cair rumah tangga.

Ningsih hendah memasukkan klorin ke dalam tangki septik ‘Gentong Mas Santun’ yang berfungsi untuk menghambat pertumbuhan serta membasmi bakteri dan mikroba pada tinja. Foto: Anggita Raissa/Mongabay Indonesia
Jalan menuju ODF di Sekadau bukanlah hal mudah.
“Umumnya masyarakat yang sudah melakukan BABS dalam jangka waktu yang lama, itu sulit untuk diubah kebiasaannya. Tapi, bukan berarti nggak bisa,” kata Margaret.
Meski sulit, dia bilang penting melakukan pendekatan lewat peningkatan kesadaran untuk masyarakat guna menumbuhkan rasa jijik dan tidak nyaman terhadap praktik buang air besar sembarangan.
Dengan cara ini, dia berharap warga sadar perilaku itu bisa membawa penyakit dan membahayakan keluarga mereka sendiri.
Ketika masyarakat mulai merasa risih dengan kebiasaan itu, barulah mereka termotivasi untuk mencari solusi.
“Di sinilah peran fasilitator, pemerintah desa, dan organisasi pendamping menjadi penting, agar warga tidak hanya paham risikonya juga tahu bagaimana cara membangun jamban sehat sesuai kondisi lingkungan mereka.”
Pada 2017, Pemerintah Sekadau mengesahkan Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 51 tentang Gerakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
Aturan ini jadi landasan upaya mengurangi kebiasaan buang air besar sembarangan yang sudah lama melekat di masyarakat.
“Sekitar 40–50% masyarakat Sekadau masih buang air di sungai karena keterbatasan fasilitas dan kebiasaan turun-temurun,” kata Aron, Bupati Sekadau, ditemui di di Kantor Bupati Sekadau, September lalu.
Meski begitu, ada juga desa yang berhasil lebih dulu lepas dari kebiasaan BABS dan menjadi percontohan bagi daerah lain.
Desa dengan lokasi berdekatan dengan objek wisata Batu Jatoh, Sekadau, menjadi pelopor pertama yang berhasil meraih status ODF pada 13 Desember 2015.
Warga juga melakukan urunan dengan sistem ‘Arisan WC’ untuk program cetak kloset. Ini dilakukan agar setiap rumah tangga memiliki akses jamban sehat.
WVI memberikan pelatihan kepada warga agar dapat membuat kloset sendiri, disamping hasil produk yang bagus, harga pun relatif lebih murah ketimbang beli langsung di toko.
Saat ini, seluruh rumah tangga di desa itu sudah memiliki jamban sehat lengkap.
Dampaknya, Sekadau berhasil mendeklarasikan diri sebagai wilayah ODF. Deklarasi itu, katanya, menandai 94 desa di kabupaten ini berhasil menghentikan praktik BABS.
“Salah satu komitmen utama dalam STBM adalah menghentikan praktik buang air besar sembarangan atau ODF. Kabupaten Sekadau kini telah berhasil mencapai target bebas buang air besar sembarangan.”

Turunkan diare
Henry Alpius, Kepala Dinas Kesehatan, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana Sekadau, mengatakan, status ODF sangat berkaitan dengan penurunan penyakit akibat lingkungan, salah satunya diare.
Sebelum program ODF berjalan, Sekadau kerap banyak kasus muntaber. Setelah ODF, kasus penyakit terkait lingkungan mengalami penurunan signifikan.
Pada 2015, kasus diare di Sekadau tercatat 3.192 kasus. Angka ini mulai menunjukkan penurunan pada 2018, menjadi 2.638 kasus, setahun setelah penetapan peraturan STBM.
Tren positif itu terus berlanjut dalam empat tahun terakhir. Hingga 2024, kasus diare berhasil ditekan signifikan, tersisa 581 kasus.
Henry menyebut, keberhasilan ini tak lepas dari kebijakan pemerintah daerah yang mengatur penggunaan APBDes untuk infrastruktur kesehatan.
Setiap desa wajib mengalokasikan minimal 20% dari APBDes untuk program kesehatan, termasuk mendukung pencapaian ODF.
“Bila desa tidak menganggarkan dana untuk kesehatan, APBDes tidak akan mereka dapatkan,” ujar Alpius.
Dia menekankan, masyarakat dan pemerintah bersama-sama kerja sama untuk program ODF ini.
“Program ODF ini perlu menggandeng organisasi kesehatan, demikian juga organisasi masyarakat sipil. Peran puskesmas harus optimal bekerja sama dengan pemerintah desa sampai daerah. Butuh komitmen pemerintah untuk pembiayaannya salah satunya dari dana desa.”

Rumah-rumah warga di pinggiran Sungai Kapuas. Mereka memanfaatkan air sungai untuk mandi, mencuci, bahkan buang air besar. Foto: Anggita Raissa/Mongabay Indonesia