WVI Selenggarakan Bedah Strategi Percepatan Penurunan Stunting di NTT

Wahana Visi Indonesia (WVI) menggelar bedah strategi percepatan penurunan stunting di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kegiatan itu mengusung tema "Melihat hasil SSGI 2024 dan strategi ke depan", berlangsung di Hotel Harper Kupang, Jumat (18/7/2025).
Iwan Ariawan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia memaparkan materinya dibalik angka prevalensi stunting tahun 2024.
Dia menyebut hasil SSGI tahun 2024 stunting di NTT tergolong masalah gizi dan kurang gizi tergolong sangat tinggi. Ia juga memaparkan beberapa data mengenai stunting hingga faktor yang menyebabkan stunting.
Dia menjelaskan faktor sanitasi dan lingkungan pun ikut berpengaruh. Kemiskinan di NTT masih diatas 40 persen yang berpeluang menambah stunting di NTT.
Iwan kemudian mengajak adanya upaya kolaborasi dalam mengurai persoalan ini. dengan semangat kolaborasi dan kerja keras melakukan intervensi individual, intervensi spesifik dan intervensi sensitif pencegahan stunting tepat sasaran, NTT akan mencapai target RPJP 2045 penurunan prevalensi stunting.
"Harus dilakukan secara kolaboratif dan kerja keras untuk mencapai hal itu," katanya.
Kepala BKKBN NTT Faizal Fahmi menyebut peran besar perlu dilakukan agar pasangan usia subur dan ketika menikah adalah tidak melahirkan anak stunting baru. BKKBN sendiri telah melakukan pendampingan keluarga beresiko stunting.
Namun, kesulitannya adalah melakukan pendampingan pada keluarga yang hendak menikah. Pendekatan lainnya adalah lintas kolaborasi.
"Saya kira cukup jelas. Kita harus kerja dimana, sasaran kita dimana. Setiap kabupaten punya permasalahan sendiri. Tidak bisa digeneralisir," katanya.
Dia berkata, stunting tidak boleh ditangani secara berlarut-larut. Perlu ada aksi nyata dengan dukungan berbagai program Pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis hingga keberadaan Sekolah Rakyat.
"Saya kira peluang ini harus kita manfaatkan, sehingga kekurangan dana untuk mensupport anak-anak yang kurang gizi, bisa terpenuhi," katanya.
Kepala Bapperida Kabupaten Kupang Juhadri D Selan menyebut dalam berbagai kesempatan, persoalan utama adalah mengenai pembiayaan. Bila melakukan intervensi, dana BOK rata-rata baru cari bulan Juli. Demikian juga dengan Dana Desa.
"Artinya kita ada space bulan yang kita tidak tangani apa-apa. Kita di Kabupaten Kupang coba ambil solusi, DAK DAU untuk memastikan tidak ada kekosongan PMT," ujarnya.
Dia mengatakan, kebanyakan di desa-desa tidak ada intervensi karena keterbatasan anggaran. Sehingga perlu ada solusi bersama dalam membangun skema pembiayaan agar berbagai kekosongan waktu itu bisa terisi.
Pemerintah Kabupaten Kupang, kata dia, dalam dokumen RPJMD telah disiapkan berbagai skema. Namun, mengenai pembiayaan stunting harus menjadi perhatian bersama, termasuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat.
Kepala Dinas Dukcapil NTT Jonny E. Ataupah mengatakan, perlu ada keterlibatan bersama untuk membantu mengurai masalah ini. Dia tidak mau berbicara mengenai kekurangan anggaran karena kunci utamanya ada pada kolaborasi.
Sebab, hampir semua NGO luar maupun dalam negeri selalu melakukan aktivitas di Provinsi NTT. Berbagai aktivitas itu juga menyasar masalah kemiskinan dan kesehatan, termasuk stunting.
"Saya tidak perlu berbicara lagi kurang dana, saya lebih sepakat, soal apa saja faktor resiko dan mungkin kedepan kita menilik dari situ," katanya.
Dia mengatakan, mungkin selama ini intervensi dilakukan tidak pada waktu dan sasaran yang tepat. Sehingga, perlu dilakukan telaah lebih dalam. Dengan begitu, keterbatasan anggaran maka bisa menangani masalah stunting.
Sekalipun Dukcapil bukan merupakan layanan dasar, ia mendorong agar adanya pemenuhan pada kepemilikan akta anak maupun kartu identitas anak. Data di NTT terdapat
296 yang belum memiliki akta anak dan 1 juta anak belum memiliki kartu indentitas anak.
Sehingga, Dukcapil akan siap untuk melakukan kolaborasi mendorong pemenuhan identitas itu sebagai salah satu bagian dalam mengurai masalah stunting di NTT.
Kepala Bapperida NTT Alfonsius Theodorus mengatakan, data SSGI memang sulit dibantah. Bedah angka yang disampaikan, sulit diblok karena berdasarkan analisis ilmiah.
"Apapun langkah kita, yang harus berapa cepat langkah kita mencapai angka maksimal. Kita punya konsep banyak sekali, tapi angka ini sulit sekali mencapai optimal," katanya.
Alfonsius mengatakan, data SSGI yang sudah dianalisis perlu juga dilihat sumbernya. Bisa saja data capaian yang kurang. Namun, ada kaitannya pada intervensi pada anggaran yang terbatas.
Dia mengaku, komitmen bersama Kepala Daerah cukup sudah dilakukan berulang. Alhasil, terkadang dilakukan intervensi di lapangan terdapat deviasi dari distribusi normal.
"Pertanyaannya berapa cepat. Ternyata ada informasi, skema yang dibangun dari desa juga tersendat. Karena dari desa 20 persen membantu kita," katanya.
Angka SSGI yang ada bisa dipicu hambatan pada satu sisi yang membuat semua sistem menjadi terkendala. Dia mengatakan, data Dukcapil dari daerah harusnya bisa terkoneksi ke tingkat Provinsi dengan ril time. Dengan begitu maka intervensi bisa dilakukan lebih tepat.
Sumber: WVI Selenggarakan Bedah Strategi Percepatan Penurunan Stunting di NTT - Halaman all - Pos-kupang.com