Desa dan Kelurahan Kunci Wujudkan Kota Layak Anak
Desa dan Kelurahan Kunci Wujudkan Kota Layak Anak
Program Kabupaten/Kota Layak Anak dapat terwujud dengan dukungan desa/kelurahan. Desa dan kelurahan perlu membangun sistem yang mendukung pelindungan dan pemenuhan hak anak.
Oleh SEKAR GANDHAWANGI, 16 Januari 2023 21:10 WIB·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Populasi anak mencapai satu pertiga dari jumlah total penduduk Indonesia. Jutaan anak tersebut mesti dilindungi untuk mencapai Indonesia Emas 2045 sebagaimana dicanangkan dalam program Kabupaten/Kota Layak Anak. Desa dan kelurahan berperan penting agar program tersebut terwujud.
Pelaksana Tugas Deputi Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Rini Handayani mengutarakan, posisi Indonesia dalam persaingan global di masa depan ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia. Anak yang terlindungi dan dipenuhi haknya dapat tumbuh menjadi sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.
Di sisi lain, Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak pada 5 September 1990. Artinya, pemerintah berkomitmen menghormati dan memenuhi hak anak yang menjadi salah satu pertimbangan dalam proses pembangunan. Hal ini diterjemahkan dalam program Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) yang digagas Kementerian PPPA sejak 2006.
”Untuk mendorong KLA, mesti dimulai dari wilayah terkecil, yaitu desa dan kelurahan yang kemudian disebut Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA). Jika desa dan kelurahan layak anak, maka kabupaten/kota pun demikian,” kata Rini secara daring, di Jakarta, Senin (16/1/2023).
Implementasi KLA lantas diuji coba di beberapa desa pada November 2020. Selanjutnya, pemerintah meluncurkan Petunjuk Teknis Penyelenggaraan KLA di Desa/Kelurahan. Petunjuk teknis tersebut disusun, antara lain, oleh Kementerian PPPA dan Wahana Visi Indonesia.
Untuk mendorong KLA mesti dimulai dari wilayah terkecil, yaitu desa dan kelurahan yang kemudian disebut Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak.
Menurut Direktur Nasional Wahana Visi Indonesia Angelina Theodor, petunjuk teknis ini dapat menjadi acuan untuk memperkuat peran perangkat desa atau kelurahan, kader, hingga fasilitator KLA. Hal ini juga agar desa dan kelurahan bisa membuat sistem yang terencana, menyeluruh, dan berkelanjutan.
Pemetaan
Anggota tim penyusun Petunjuk Teknis Penyelenggaraan KLA di Desa/Kelurahan, Taufieq Uwaidha, mengatakan, tidak semua desa/kelurahan paham permasalahan anak. ”Pemetaan situasi anak menjadi dasar pengambilan komitmen, penyusunan kebijakan pelindungan anak di desa/kelurahan, penyusunan data dasar anak dan profil desa/kelurahan layak anak, serta penyusunan rencana dan anggaran pembangunan,” tuturnya.
Setelah melakukan pemetaan, pemerintah desa atau kelurahan dapat membuat deklarasi komitmen sebagai desa atau kelurahan layak anak, membentuk tim pelaksana, menyusun kebijakan dan rencana pembangunan. Pemerintah desa atau kelurahan juga mesti memantau, mengawasi, dan melaporkan pelaksanaan desa/kelurahan layak anak.
Ada 15 indikator desa/kelurahan layak anak yang mesti dipenuhi. Beberapa indikator itu meliputi, antara lain, tak ada perkawinan anak di desa/kelurahan tersebut, tidak ada anak dengan masalah gizi, semua anak mendapat pendidikan formal atau nonformal, serta memiliki anggaran untuk pelindungan anak. Indikator lainnya yakni desa/kelurahan memiliki Forum Anak, cakupan akta kelahiran anak mencapai 90 persen, dan ada kawasan tanpa rokok.
Taufieq menambahkan, penyelenggaraan KLA di desa/kelurahan bisa mengacu pada konsep norma, struktur, dan proses. Pada konsep norma, misalnya, masyarakat menyepakati nilai-nilai untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati hak anak.
Pada poin struktur, diperlukan pihak yang menegakkan penyelenggaraan KLA di desa/kelurahan. Sementara para poin proses, kapasitas sumber daya manusia penyelenggara KLA perlu diperkuat.
Hendra, Pelaksana Tugas Camat Takari, Kabupaten Kupang, NTT, mengatakan, pelindungan dan pemenuhan hak anak di wilayahnya memanfaatkan kearifan lokal. Masyarakat melakukan musyawarah dengan melibatkan tokoh adat, lantas membuat kesepakatan adat untuk mencegah pernikahan dini di tingkat desa.
Editor: EVY RACHMAWATI