Pentingnya Mengajarkan Bunyi Dasar Setiap Huruf Saat Anak-Anak Papua Belajar Membaca
Membaca jadi salah satu kemampuan dasar dalam pendidikan formal. Anak-anak saat ini sudah dikenalkan pada huruf dan bacaan, bahkan sejak usia yang sangat muda. Biasanya, mereka mulai mempelajari huruf lewat nyanyian berisi 27 abjad Bahasa Indonesia.
Nyanyian yang akrab di telinga tersebut jadi pegangan dasar literasi anak-anak Indonesia. Sayangnya, ada langkah yang sering terlewat dalam belajar membaca, bahkan oleh para pendidik.
"Saat guru mengajarkan literasi, ada satu kebiasaan yang sering terlewat, yaitu mengajarkan bunyi," sebut Marthen S. Sambo, pengajar sekaligus Education Manager Wahana Visi Indonesia (WVI), saat jumpa pers "Run for The East" di bilangan Jakarta Pusat, Kamis, 16 Mei 2024.
Mengajarkan bunyi-bunyi dasar setiap huruf jadi hal penting, mengingat perbedaan fonetik antara abjad lepas dengan sebuah kata dalam Bahasa Indonesia yang bisa membingungkan bagi anak kecil. Marthen, yang sudah mengabdi di bidang pendidikan di Papua selama 15 tahun, menyebut bahwa hal dasar seperti ini bisa jadi salah satu penghambat banyak anak Orang Asli Papua (OAP) kesulitan punya tingkat literasi yang tinggi.
Kebanyakan dari mereka langsung disodori Bahasa Indonesia formal di sekolah dengan bunyi satu kata penuh dan penulisan yang asing. Berdasarkan hasil penelitian Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bersama WVI, dari 2.119 murid kelas tiga di 171 SD, 30 persen di antaranya belum bisa membaca, sementara 12 persen lain bisa membaca, namun tidak bisa memahami apa yang dibaca.
Karena itu, dalam proyek "Run for The East," WVI dan sejumlah mitra korporasi akan menggalang donasi untuk meningkatkan literasi lewat program "Kampung Literasi." Secara khusus, inisiasi ini membidik wilayah Asmat dan Wamena.
Kemampuan Baca Rata-Rata Anak di Papua Masih 31 Kata per Menit
Marthen S. Sambo, Education Manager WVI, saat ditemui di acara Konferensi Pers "Run for The East", Kamis (16/05/2024), di Jakarta Pusat. (dok. Liputan6.com/Rusmia Nely)
Marthen mengungkap, mengenalkan bunyi pada anak jadi salah satu program paling dasar dalam kegiatan ini. Dengan mengenalkan anak pada hal terdekat, seperti bunyi huruf pertama namanya, itu bisa membuatnya lebih akrab dengan bacaan.
Marthen juga menuturkan, bagi anak-anak kelas tiga SD yang sudah bisa membaca, rata-rata kecepatan membaca suatu tulisan adalah 31 kata per menit. Hal ini jauh di bawah rata-rata anak Indonesia sepantaran yang bisa membaca dengan kecepatan 80 kata per menit.
"Artinya, satu kata itu dua sampai tiga detik baru bisa tahu," tutur Mathen. Ia menganggap hal ini terjadi karena anak-anak OAP, terutama mereka yang hidup di pedalaman, tidak akrab dengan tulisan sehingga berlatih membaca bukanlah hal yang rutin.
"Itu menandakan bahwa anak tidak terbiasa dengan text book. Kalau sering melihat tulisan, kecepatan mengenali kosakata itu cepat," kata Marthen. "Itu kenapa buku teks wajib, dan itu kenapa literasi tanpa buku itu omong kosong."
Budaya Tutur yang Masih Sangat Kuat
Ilustrasi masyarakat Papua. (Liputan6.com / Katharina Janur)
Marthen mengasosiasikan lemahnya tingkat membaca dengan tidak sesuainya konteks bacaan anak-anak di daerah 3T, seperti Papua, dengan rendahnya tingkat literasi. Dalam penelitian yang disebutkan sebelumnya, diketahui persentase anak-anak yang bisa memahami bacaan adalah 58 persen, di mana angka ini masih jauh dari harapan, yaitu di atas 80 persen.
"Anak itu harus dikasih asupan literasi yang sesuai lingkungannya dulu," jelas Marthen.
Ia menuturkan, banyak anak yang tak paham dengan apa yang dibaca, karena bahan bacaan tersebut bukan sesuatu yang biasa ditemukan sehari-hari. Kemudian, karena anak tidak bertemu tulisan setiap hari, sulit bagi mereka untuk memahami makna sebuah tulisan.
Di sinilah peran orangtua jadi penting. Mayoritas waktu yang dihabiskan anak-anak tingkat sekolah dasar adalah di rumah bersama keluarga, kata Marthen.
Namun, muncul pula masalah lain. Tidak semua orangtua di daerah pedalaman Papua bisa membaca. Beberapa dari mereka juga tidak bersekolah sehingga sulit mengajarkan anak-anaknya untuk membaca.
Maka itu, WVI akan mengadakan Parent Awareness Workshop di desa-desa yang akan dihadirkan Kampung Literasi. Di kesempatan itu, mereka akan menggelar sesi bersama orangtua untuk mengetahui sejauh mana anak bisa belajar membaca di rumah.
Run for the East
Konferensi Pers "Run for The East" yang diluncurkan oleh Wahan Visi Indonesia, Kamis (16/05/2024), di Jakarta Pusat. Tujuannya adalah menggalang dana lewat kampanye lari bersama duta kampanye seperti Ganindra Bimo dan Chicco Jerikho serta enam korporasi berbeda yang diikuti pula oleh tiga komunitas lari di Jakarta. (dok. Liputan6.com/Rusmia Nely)
Dengan menggandeng sejumlah duta kampanye dari berbagai bidang industri, seperti hiburan dan usaha, WVI menghadirkan "Run For the East." Pihaknya dan enam korporasi akan berpartisipasi dalam gerakan lari bersama dan donasi demi meningkatkan literasi di daerah pedalaman Papua.
"Pojok baca di desa-desa di daerah Asmat dan Wamena akan dibangun. Kami juga akan menyiapkan kapasitas penunjang, sehingga bisa dikelola para orangtua, tutor, dan tokoh agama," sebut Franky Banfatin, Head of Social Impact & Sustainability WVI .
Proyek ini akan berlangsung dari Mei hingga September 2024 dengan jadwal lari yang masih akan diumumkan lebih lanjut. Sejauh ini, peserta lari akan diikuti pihak korporasi yang bermitra dengan WVI, para duta kampanye, seperti aktor Ganindra Bimo dan Chicco Jerikho, serta komunitas pelari di Jakarta.
Franky mengatakan, kegiatan kampanye berlari sambil berkontribusi untuk kemanusiaan ini punya konsep yang hampir sama seperti proyek mereka tahun lalu. Ia dan tim memilih lari karena itu hal sederhana dan sedang jadi tren.
Terkait Kampung Literasi, targetnya akan dibangun satu di setiap desa di wilayah Asmat dan Wamena. Pihaknya merencanakan pembangunan Kampung Literasi di empat desa di Asmat dan 18 desa di Wamena.