Dedikasi untuk Edukasi di Papua

Dedikasi untuk Edukasi di Papua

Banyak orang percaya bahwa pendidikan adalah salah satu kunci pemutus kemiskinan. Jika pendidikan yang berkualitas lebih mudah diakses, maka kesempatan untuk hidup lebih sejahtera mulai terbuka. Hal ini juga yang dipercayai oleh Marthen ketika ia memutuskan untuk mengambil peluang kerja sebagai guru bantu di Provinsi Papua Pegunungan. Setelah mendapat gelar S1 dari Universitas Kristen Satya Wacana, ia segera meninggalkan kota Salatiga dan menetap di Papua. Marthen tergerak untuk mengabdi sebagai tenaga pendidik bagi anak-anak di Papua sejak bertemu dengan rekan mahasiswa dari berbagai provinsi di Indonesia. 

“Cerita kawan-kawan, khususnya dari Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku, tentang kondisi masyarakat di tempat tinggal mereka, mulai membuat hati saya tergerak untuk bisa langsung berbuat sesuatu yang nyata. Di kelas saya ada dua teman dari Papua yang banyak memberikan inspirasi, sekaligus membuat saya penasaran akan Papua yang penuh keajaiban,” cerita sosok yang sekarang berperan sebagai Education Manager di kantor nasional Wahana Visi Indonesia ini. 

Awalnya, pekerjaan sebagai guru bantu ia anggap sebagai bentuk pengabdian masyarakat yang sementara, sekaligus menambah pengalaman kerja. Ia hanya berencana melayani satu tahun di Papua tapi kemudian berubah menjadi panggilan hidup. Menjadi guru bagi murid-muridnya di Papua Pegunungan merupakan pengalaman yang memantapkan Marthen untuk terus berjuang untuk pendidikan anak-anak di Papua. Ketika bergabung menjadi staf WVI pun ia membawa semangat seorang tenaga pendidik dalam hatinya. 

“Bergabung dengan WVI adalah cara agar saya tetap bisa berkarya untuk Papua. Saya bergabung melalui program management trainee tahun 2012. Setelah dinyatakan lolos, saya sempat jadi Database Coordinator lalu beralih jadi Monitoring and Evaluation Coordinator untuk beberapa proyek yang fokus ke sektor pendidikan di Papua. Dari situ saya makin tertarik untuk mendalami dunia pendidikan tapi dengan kacamata kemanusiaan. Tidak dapat dipungkiri, pengalaman saya sebagai guru menjadi dorongan kuat untuk terus berbagi dengan guru lain dan anak-anak di Papua,” tuturnya. 

Kombinasi pengalaman sebagai praktisi pendidikan dan pekerja kemanusiaan di sektor pendidikan menjadi nilai tambah bagi Marthen. Apalagi ketika ia mendalami dasar pengembangan masyarakat yang WVI terapkan hingga saat ini yaitu, pengembangan transformasional. Marthen semakin memahami akar masalah sektor pendidikan dari akar rumput, sempat merasakan sendiri tantangan menjadi guru di daerah rentan, banyak mendengar dari tenaga pendidik lainnya, untuk kemudian memformulasikan solusi yang tepat dan berkelanjutan, agar hak pendidikan berkualitas anak Papua semakin terpenuhi. 

Marthen dan staf WVI di berbagai kantor operasional tinggal bersama anak dan masyarakat yang didampingi dalam jangka waktu 10-15 tahun. Pengembangan transformasional merupakan perjalanan bersama yang setara antara WVI dan masyarakat dampingan. WVI dan masyarakat sama-sama menelaah berbagai kerentanan dan potensi yang dimiliki, serta sama-sama menyusun rencana agar anak dan masyarakat semakin berdaya, mampu mewariskan hal-hal baik bagi generasi selanjutnya.  

“Bagi saya WVI itu seperti perahu yang membawa saya menyusuri sungai kehidupan, berjalan dari hulu ke hilir. Dari rural yang sepi, tak ada geliat pembangunan hingga urban yang hiruk-pikuk moderninsasi. Perjalanan bersama WVI membawa saya melihat ketimpangan yang begitu besar, antara visi besar bagi anak-anak Indonesia dengan kenyataan di lapangan. WVI jadi tempat belajar yang memberi makna pada apa yang saya kerjakan. Bukan sekedar rutinitas atau pekerjaan untuk cari nafkah,” ujar ayah dari tiga orang anak ini. 

Lebih dari 10 tahun bergelut untuk pendidikan anak-anak Papua, Marthen masih merasa perjuangan ini belum selesai. Kegigihan dan semangat belajar anak-anak dan guru di salah satu kampung dampingan WVI di Papua menjadi inspirasi Marthen sampai saat ini. Menyaksikan bagaimana anak dan guru harus berjuang mencapai sekolah yang jaraknya 3 jam perjalanan dari rumah, kapasitas guru yang sebenarnya tidak memadai, dan banyak tantangan lain. Namun karena semangat ini didampingi, perubahan bukan sesuatu hal yang mustahil. 

Marthen mengakui bahwa sektor pendidikan di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Sebagai seorang technical specialist, ia memaparkan, “Isu besar pendidikan di Indonesia saat ini adalah akses dan mutu yang belum merata dan adil bagi semua anak Indonesia, khususnya yang termarjinalkan. Tidak hanya yang tinggal desa terjauh tapi juga yang di kota. Tergambar dalam Rapor Pendidikan, keterampilan dasar siswa-siswi masih jadi masalah nasional, baik literasi maupun numerasi,”. 

Setidaknya 3 dari 10 anak usia sekolah di Indonesia mengalami kesulitan membaca atau belum mencapai kemampuan dasar yang diharapkan. Data Rapor Pendidikan ini menjadi alarm bagi seluruh pemangku kepentingan di dunia pendidikan Indonesia untuk bergerak lebih tepat dan cepat menangani isu literasi dan numerasi ini. Keterampilan membaca paham sangat krusial untuk kelanjutan studi anak-anak Indonesia. 

“Sebagai orang tua, tanggung jawab makin besar dalam membesarkan dan mendidik anak yang hidup di era AI (Aritifical Intelligence). Keterampilan fondasi harus kuat supaya mampu mengejar ilmu baru, kritis, kreatif, memiliki kepandaian sosial yang baik dan siap berkolaborasi. Papua punya pekerjaan rumah yang banyak dan genting untuk digarap karena akses dan mutu terburuk, menurut data, ada di sana. Yang bisa dilakukan oleh saya dan kita semua adalah tetap bergerak maju, tetap optimis dan punya mimpi besar untuk pendidikan anak-anak di Papua dan area lain di Indonesia,” pungkas Marthen. 

 

 

 

Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive) 


Artikel Terkait