Candra Wijaya: Belajar Kesehatan, Strategi, dan Kehidupan di WVI

Candra Wijaya: Belajar Kesehatan, Strategi, dan Kehidupan di WVI

Takut adalah salah satu reaksi yang wajar dirasakan seseorang ketika berpapasan dengan tantangan, baik dalam kehidupan pribadi maupun pekerjaan. Patut disadari, tantangan adalah suatu hal yang pasti, namun tantangan muncul bukan hanya sebagai sebuah risiko yang akan dihadapi, tapi juga kesempatan untuk meningkatkan kapasitas.  

Bila kita melihat tantangan hanya sebagai risiko,rasa takut yang timbul kemungkinan besar akan mendorong kita memilih untuk menghindari tantangan tersebut. Namun, bila kita melihat tantangan sebagai kesempatan, meskipun takut, kita akan tetap menyambutnya. Tentunya, kita akan menyambut tantangan tersebut dengan serangkaian strategi untuk beradaptasi dan memitigasi risiko yang tidak diharapkan. 

“Setiap kali dapat tanggung jawab baru yang bukan bidang keahlian utama saya, itu menjadi ketakutan tersendiri. Ada kekhawatiran karena tidak tahu bagaimana cara menjalankannya, tidak punya ilmunya, tidak ada pengalamannya,” cerita Candra Wijaya, saat ini berperan sebagai Strategy, Risk, Innovation and Evidence Director Wahana Visi Indonesia. Membangun karir selama 19 tahun di dunia kemanusiaan hingga menjadi salah satu pemimpin di WVI, Candra dihadapkan pada banyak tantangan perubahan tanggung jawab. Sebagai manusia biasa, takut dan khawatir kerap ia alami, namun ia pun belajar untuk menyambut setiap tantangan sebagai kesempatan untuk belajar hal-hal yang baru. 

“Saya jadi memahami kalau untuk setiap hal itu pasti ada saat barunya. Dan itu menjadi kesempatan untuk kita belajar. Belajar secara cepat untuk menguasai apa yang ditugaskan pada kita. Lalu berusaha yang terbaik untuk menjalankan tanggung jawab itu,” ungkap sosok yang juga seorang dokter ini. 

Tantangan juga bisa menjadi penanda potensi. Ketika pimpinan sebuah organisasi atau perusahaan mendelegasikan sebuah tantangan pada stafnya, artinya ia melihat potensi yang mungkin tidak disadari oleh staf tersebut. Sangat disayangkan bila potensi staf tersebut batal tereksplorasi karena tidak bersedia menyambut tantangan. 

“Kaget karena ada tantangan baru itu boleh, tapi jangan lama-lama. Cepat cari siasat untuk mendapat ilmu, untuk belajar. Belajar sambil bekerja. Jadilah seorang pembelajar untuk memunculkan versi terbaik dari diri kita. Jangan sampai karena kita tidak cepat menguasai ilmu dan keterampilan yang diperlukan untuk menjalankan amanah yang dipercayakan, hasil pekerjaan kita bukannya menolong orang lain, malah menyusahkan,” tutur Candra. 

 

Belajar dari Tantangan, Tantangan untuk Belajar 

Sebelum bergabung dengan Wahana Visi Indonesia, Candra adalah seorang dokter umum lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ia sempat bertugas sebagai Kepala Puskesmas di Lampung Selatan selama enam tahun sambil membuka praktik untuk melayani masyarakat yang membutuhkan. 

Menjadi seorang dokter adalah harapan almarhum ayah Candra. “Papa saya percaya, kalau saya jadi dokter, saya bisa membaktikan ilmu, berguna buat orang lain, meskipun sudah tidak ada orang atau lembaga yang mempekerjakan,” ungkap anak keempat dari lima bersaudara ini. 

Perjumpaannya dengan dunia kemanusiaan terjadi melalui seorang rekan persekutuan masa kuliah. Saat itu Candra baru mengetahui kalau ada ladang pelayanan lain selain praktik pribadi, bekerja di rumah sakit swasta atau di instansi pemerintahan, yaitu, lembaga non-profit atau non-pemerintah. Pekerjaan kemanusiaan menarik perhatiannya karena memiliki misi yang sama dengan profesinya sebagai dokter yakni, berguna buat orang lain. “Hati berpaut di WVI, dimulai tahun 2006. Saya memulai dunia baru, dunia kemanusiaan melalui WVI,” tuturnya. 

Tantangan pertama pun datang tepat di awal perjalanan karir Candra sebagai pekerja kemanusiaan. Peran pertama yang ia terima adalah sebagai Program Officer. “Saat itu saya tidak tahu itu peran apa. Selama setahun, kerja saya itu tanya-tanya sama staf lain yang sudah lebih lama. Tapi karena cakupan pekerjaan Program Officer itu variatif, dari kesehatan, pendidikan, perlindungan anak, ekonomi, tanggap bencana, macam-macam sekali, saya jadi banyak belajar tentang kerja kemanusiaan WVI melalui posisi ini. Saya jadi bisa melihat kaitan isu kesehatan dengan isu-isu lainnya,” kenangnya. 

Belum lama berperan sebagai Program Officer, Candra dipercayakan tanggung jawab baru sebagai Health Team Leader. Amanah ini ia ibaratkan seperti seekor ikan yang kembali ke air, walaupun ternyata kolamnya berbeda. 

Peran sebagai Health Team Leader membawa tantangan tersendiri. Meskipun berada dalam ranah kesehatan, namun ada perbedaan perspektif. Keilmuan medis yang ia miliki sebagai seorang dokter menjumpai titik temunya dengan wawasan kesehatan masyarakat yang lebih dekat dengan pekerjaan kemanusiaan. “Saya merasa dunia public health itu sangat menarik. Kebanyakan orang tahunya kalau dokter itu medisnya saja. Ambil spesialis, ketemu pasien, buka praktik. Tapi sebenarnya ada dunia lain dari lulusan kedokteran, yaitu public health yang lebih mendalami tentang promotion dan prevention dari penyakit,” ujarnya. Bagi Candra, pergeseran karir dari seorang dokter medis manjadi ahli kesehatan masyarakat membuat ia bertumbuh menjadi seorang tenaga kesehatan yang berperspektif sosial. 

Selama hampir sembilan tahun, Candra mendalami berbagai pendekatan program kesehatan, baik yang diinisiasi oleh WVI maupun Pemerintah. Ilmu yang ia pelajari dari program magister Epidemiologi, berpadu dengan pengalaman bersama anak dan masyarakat dampingan WVI, merupakan strategi yang efektif untuk menyambut dan menghadapi tantangan.  

Peran ini juga memberi Candra kesempatan untuk menyaksikan perubahan pada anak dan masyarakat. “Melihat sendiri bagaimana transformasi terjadi itu membawa sukacita. Terutama perubahan pada tokoh-tokoh kunci di masyarakat yang memberi dampak positif untuk anak-anak,” tutur ayah dari tiga orang anak ini. “Saya senang ketika bisa melihat ibu-ibu, kader Posyandu, tenaga kesehatan, atau tokoh agama itu mengungkapkan ‘Oh jadi bisa begini’ atau ‘Oh begitu ya’. Momen ‘Oh’ ini memberi arti adanya perubahan dalam diri mereka, dari tidak tahu menjadi tahu, dan itu membuat apa yang saya bagikan jadi sangat berarti,”. 

Salah satu tonggak penting dalam perjalanan karir Candra sebagai Health Team Leader adalah ketika ia bertemu dengan Pak Yali, seorang agen perubahan dari Pegunungan Tengah, Papua. Isu sanitasi menjadi salah satu akar masalah buruknya kualitas hidup anak dan masyarakat di desa-desa dampingan WVI yang berada di area tersebut. Candra bersama tim WVI lainnya saat itu sedang berusaha melakukan kontekstualisasi untuk penerapan modul Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) yang diusung oleh Pemerintah. “Tantangannya adalah, kita tidak bisa langsung menerapkan modul nasional di daerah. Kita harus tahu dulu konteksnya bagaimana, lalu pendekatan yang paling pas seperti apa, supaya pesan utamanya dimengerti dengan bahasa dan cara yang pas,” ujarnya. 

Dinamika transfer ilmu dengan kearifan lokal terjadi ketika Candra dan tim mengujicobakan pemicuan perubahan perilaku untuk Stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS) pada masyarakat di Pegunungan Tengah. “Kontekstualisasi yang kami lakukan saat itu adalah dengan melibatkan tokoh agama dalam pemicuan stop BABS ini, karena untuk konteks Papua, tokoh agama itu didengar dan dihormati masyarakat. Saya menyaksikan sendiri bagaimana tokoh agama yang sudah tercerahkan tentang isu dan upaya sanitasi di desa dan kaitannya dengan kesehatan anak-anak dapat mendorong masyarakat mengambil komitmen untuk hidup lebih bersih dan sehat sebagai bagian dari tanggung jawab manusia untuk memelihara alam dan mengupayakan kesehatan dan keamanan sesamanya,” cerita Candra. 

Selain menjalin kemitraan dengan tokoh agama, Candra dan tim WVI juga melibatkan tokoh masyarakat untuk upaya membawa perubahan perilaku sanitasi ini. Salah satunya adalah Pak Yali. “Pak Yali itu orang yang semangat memajukan desanya. Setelah ia tahu tentang pentingnya stop BABS, muncul komitmen untuk mengajak warga desanya stop BABS. Namun ada tantangan yang dihadapi, yaitu bagaimana bangun WC, pakai bahan apa, karena saat itu semen dan bahan bangunan sangat mahal harganya di Papua,” ungkap Candra. Inilah yang jadi awal mula munculnya gerakan hidup bersih dan sehat di Pegunungan Tengah, yakni ketika Pak Yali, Candra, dan tim WVI lainnya menemukan bahan lokal pengganti semen yang dapat dipakai untuk membuat WC. Bahan itu ada di setiap dapur, di setiap pemukiman masyarakat yang ada di Pegunungan Tengah, yaitu, abu bekas bakaran kayu bakar, yang selama ini diolah jadi semen oleh masyarakat untuk membuat cincin tungku di tanah dalam dapur. Semen buatan lokal ini ternyata bisa dimanfaatkan untuk membangun WC. 

Penemuan ini menjadi inovasi yang membawa perubahan besar dalam kehidupan anak dan masyarakat di Papua, dan Candra menjadi salah satu saksinya. Wawasan dan keingintahuan yang ia miliki bukan hanya bermanfaat untuk diri sendiri, tapi bisa mengubah hidup anak dan masyarakat yang paling rentan. Kapasitas diri yang bisa memberi dampak positif bagi orang lain merupakan salah satu sumber sukacita serta pemantik semangat bagi Candra hingga saat ini. 

Karir Candra bergulir pada tantangan berikutnya. Ia sempat ditugaskan sebagai Advocacy Director sebelum hingga saat ini menjabat sebagai Strategy, Risk, Innovation, and Evidence Director. Menjadi seorang pemimpin yang memikirkan strategi, risiko, inovasi dan tata kelola organisasi merupakan tantangan yang berat bagi Candra. Rasa takut dan ragu kembali muncul. “Saya ingat, saya sempat bilang sama Direktur Nasional WVI waktu itu, Pak Ote, kalau saya ini tahunya strategi dagang di pasar, karena dulu almarhum Papa saya dan saudara-saudaranya punya toko dan saya senang membantu di sana sepulang sekolah. Saya tahunya bagaimana strategi melayani pembeli dan menata barang di toko, bukan strategi program pelayanan di dunia kemanusiaan, seperti WVI,” ucapnya, tersenyum mengingat momen tersebut. 

Tantangan ini pun ia sambut, dan segera ia menyusun rencana untuk kembali belajar. Candra menambah ilmunya dengan mengambil studi lanjut Strategic Management di PPM School of Management, agar ia bisa menjalankan amanah baru ini dengan bertanggung jawab. Bekerja bersama WVI membuat Candra menjadi seorang pembelajar seumur hidup yang berdampak untuk sesama. 

 

Belajar di Sekolah Kehidupan 

Setelah menyambut banyak tantangan dan menyaksikan sekian banyak perubahan anak-anak dan masyarakat, Candra memandang WVI sebagai sekolah kehidupan. Sebuah organisasi kemanusiaan yang dapat menjadi saluran bagi Candra berbagi hidup dengan sesama. “Ketika ada panggilan di hati, panggilan untuk melayani, berbagi hidup dengan sesama, WVI dapat mengakomodir itu,” tuturnya. 

Dengan area layanan yang luas dan intervensi sektoral yang beragam, Candra dapat bertumbuh menjadi seseorang yang luwes menghadapi berbagai karakter manusia serta berbagai isu di masyarakat. “WVI adalah salah satu kendaraan yang saya tumpangi untuk mencapai tujuan utama dari hidup saya, yaitu memuliakan Tuhan dan bermanfaat bagi sesama. WVI juga menjadi tempat saya bertransformasi menjadi seorang life-long learner, berkesempatan menemukan banyak hal baru yang bisa saya pelajari dan terapkan,” ujar Candra. 

Pertumbuhan pribadi yang berjalan beriringan dengan pengembangan karir telah Candra alami selama di WVI. Istri, anak-anak, dan keluarga besar menjadi penolong dan pendorong semangatnya untuk terus berkarya dalam bidang kemanusiaan. Demikian juga rekan-rekan sekerjanya. Ke depannya, Candra berharap dapat terus berbagi kehidupan dengan sesama apapun perannya, di manapun tempatnya. “Saya kembali lagi pada pesan almarhum Papa saya. Dengan ilmu yang saya punya sebagai dokter, dengan pengalaman yang saya dapat selama di WVI, kalaupun nanti sudah purna tugas atau dipercayakan peran dan tanggung jawab di tempat lain, saya tetap bisa membagikan semua ini dan berguna bagi orang lain,” pungkasnya. 

 

 

Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive


Artikel Terkait