Cerita Staf: Musim Hitam di Sumba Timur
Setiap kali saya berada di Sumba Timur, saya selalu kagum dengan apa yang saya lihat, dengar dan rasakan. Sejauh mata memandang, terbentang sabana hijau seperti karpet bumi tak berujung yang mengundang kaki saya untuk menapakinya. Para warga saat menunjukkan sumber air terbaru milik mereka kepada Mita (kedua kanan)
Setiap kali saya berada di Sumba Timur, saya selalu kagum dengan apa yang saya lihat, dengar dan rasakan. Sejauh mata memandang, terbentang sabana hijau seperti karpet bumi tak berujung yang mengundang kaki saya untuk menapakinya. Ratusan bahkan ribuan kuda merumput dan berlari bebas, seolah menunjukkan betapa nyamannya berada di rumah sendiri.
Di tepi padang, bentangan biru Laut Sabu menyejukkan mata. Lengkung bumi tak kasat mata terlihat jelas dari sabana. Pohon-pohon berbunga merah muda seperti bunga sakura berjejer di tepi-tepi jalan. Itulah di musim hujan.
Lalu karpet bumi Sumba Timur berubah warna menjadi padang sabana emas kecoklatan, diselingi batu-batu kokoh yang tersingkap, sementara kuda-kuda dengan gagahnya tetap berjaya dan menikmati rumput-rumput yang mulai menguning. Bunga sakura tidak lagi terlihat, dan terganti ilalang coklat yang berubah menjadi magenta bila tersentuh embun pagi. Ratusan ribu bintang bercahaya gemilang bagaikan negeri impian yang bisa dijangkau tangan. Itulah masa tanda musim kemarau tiba.
Siang itu, suatu hari di Sumba Timur, dalam perjalanan menuju Desa Kadahang, mata saya tertuju pada pohon-pohon yang berjejer membentengi rumah-rumah dan kebun pribadi. Teriknya matahari, silaunya cahaya, dikalahkan oleh pohon-pohon yang tetap kokoh berdiri di segala musim. Namun, mata saya terpaku pada padang sabana yang tidak lagi hijau atau emas kecoklatan. Karpet bumi Sumba Timur itu sudah berubah menjadi hitam legam.
Seakan bisa membaca keheranan saya, Om Tunggu, staf Wahana Visi Indonesia (WVI) yang saat itu mendampingi saya berujar, “Inilah musim hitam di Sumba Timur, Ibu. Musim ketika masyarakat membakar padang ilalang dengan harapan akan membuat tanah segera mengeluarkan rumputnya yang hijau. Masyarakat sebenarnya sudah mulai berubah dan meninggalkan cara ini, oleh karena edukasi bertahun-tahun yang kita lakukan. Namun, tetap saja ada orang-orang yang masih percaya dan melakukan praktik itu.”
Dia menggeleng dan terlihat resah.
Rasa haus di perjalanan hari itu membuat saya bertanya-tanya bagaimana masyarakat di sini mendapatkan air minum. Seakan terjawab, serombongan anak melintas di hadapan saya, berjalan kaki membawa jeriken berisi air. Mereka harus berjalan hingga ribuan meter untuk mendapatkan air secukupnya, lalu membawanya pulang ke rumah atau ke sekolah kalau diwajibkan.
Hujan di Sumba Timur hanya berlangsung sekitar dua bulan dalam setahun. Kemungkinan sangat tidak cukup untuk kebutuhan setahun kalau hanya mengandalkan air hujan. Data Nawasis.org menyebutkan akses air minum di NTT masih 68,89%, dengan kata lain ada 3-4 dari 10 anak yang tidak dapat air minum layak di Sumba Timur.
Jika seorang anak tidak mendapatkan air minum yang layak, maka besar kemungkinan asupannya tidak cukup untuk bertumbuh, dan hal itu dapat mengganggu perkembangan otaknya. Ditambah lagi, anak-anak yang tidak mendapatkan air minum layak tersebut, sangat mungkin tidak mendapat air yang cukup juga untuk kebersihan pribadi seperti cuci tangan, mandi dan buang air besar. Akibatnya sanitasi akan memburuk, lingkungan menjadi rawan penyakit dan cemaran karena tinja, dan lagi-lagi, anak-anak sebagai yang manusia yang paling rentan, akan diserang penyakit. Bukan hanya stunting, kematian karena diare pun menjadi tantangan karena kondisi ini.
Perjalanan sekitar dua jam dari Kota Waingapu akhirnya membawa kami sampai ke Desa Bidihunga. Seorang pendeta yang sudah mengabdi di desa itu selama puluhan tahun menyambut kami.
Beliau bercerita, di awal beliau tinggal di Desa Kadahang, perjuangan utama beliau adalah mencari air bersih. Ia mencoba berbagai cara bahkan menggunakan teknologi tertentu untuk sekadar mendapatkan air bersih. Ketika pada akhirnya sekitar tahun 2004 Wahana Visi Indonesia datang dan bersama masyarakat membangun sarana air bersih, beliau dengan semangat mengerahkan masyarakat untuk bergotong royong membangun bendungan dan jalur perpipaan.
Jarak mata air di desa cukuplah jauh, sekitar 50 meter di lembah. Lokasinya pun curam. Namun, itu tidak menyurutkan semangat masyarakat untuk bahu-membahu mengangkut dan menurunkan material ke sumber air. Akhirnya air tersebut dialirkan sejauh 2 Km ke dekat pemukiman, lalu masyarakat bisa mengambil air dari bak penampung di ujung pipa.
Meskipun ini belum dapat membawa air hingga ke rumah, tetapi masyarakat sudah lebih mudah mendapatkan air. Bermodalkan ember, jeriken atau pompa diesel, mereka kini tak perlu lagi takut tergelincir dan jatuh ke jurang. Kata Bapak Pendeta, “Begitulah kondisi di sepanjang tahun.” Dirinya dan masyarakat memelihara sumber air ini dengan baik karena ini adalah satu-satunya sumber air yang mereka miliki.
“Sekitar tiga tahun lalu, WVI kembali membangun bak menara air dan menyambung pompa dengan tenaga surya. Air dipompa dari bak di bawah itu, kemudian dimasukkan ke menara ini yang jaraknya sekitar dua ratus lima puluh meter. Dari menara air mengalir ke rumah-rumah dan kampung terdekat. Sekarang kami lebih didekatkan lagi dengan air,” ungkapnya.
Semangatnya bercerita diselingi dengan wajah yang sesekali menggeleng serta menahan amarah. Tindakan pembakaran lahan yang dilakukan warga dua bulan lalu jadi alasan mengapa ia begitu geram bercerita kepada saya.
“Dia tidak melihat bahwa di lahan itu ada kabel dan pipa air. Akibatnya pipa air dan kabel tenaga surya ikut terbakar dan akhirnya air terputus. Kami setengah mati cari air dan harus turun ke lembah. Anak-anak sudah ada yang sakit diare. Mama-mama semua mengeluh kepada saya, saya sampai kewalahan. Akhirnya kami bicarakan bersama, dan sesuai ketentuan adat, orang tersebut harus mengganti pipa dan kabel yang terbakar dengan biayanya sendiri sebagai ganti kesalahan yang dia lakukan. Hampir sebulan lebih mencari kabel yang sesuai, akhirnya kabel dan pipa bisa diganti. Baru tiga hari ini air sudah bisa mengalir lagi,” ujarnya dengan wajah yang kembali tersenyum.
Seorang ibu/mama yang menggendong anak balitanya, yang juga mendengarkan beliau bercerita dari awal, ikut tersenyum senang. Mama Jo, begitu namanya, dan suaminya adalah warga yang rumahnya paling dekat dengan menara air. Mereka sehari-hari bertugas memelihara bak menara, termasuk mengatur jadwal pompa dinyalakan.
Bapak Pendeta, ditemani Mama Jo dan suaminya lalu menunjukkan bagaimana pompa difungsikan, membuka keran air untuk menunjukkan air yang mengalir deras dan menjelaskan cara kerja tenaga surya. Mereka, terutama para wanita, tidak khawatir lagi tentang air di rumah.
Akhirnya saya mengakhiri perjalanan di hari itu. Sekali lagi saya memandang karpet bumi yang menghitam di Tanah Sumba. Karpet bumi yang bisa mengancam aliran air minum ke desa-desa karena pipa atau kabel yang terbakar, yang bisa membuat anak-anak tidak hanya kehausan tetapi juga kesakitan, yang bisa membuat para ibu gelisah berkepanjangan karena tidak bisa menyiapkan hidangan di rumah karena tidak ada air.
Dalam hati saya membatin, “Semoga musim hitam ini tidak terjadi di tempat lain”.
Ditulis oleh: Mita Sirait, WASH Specialist Wahana Visi Indonesia
#WorkWithLove #WorkInWahanaVisiIndonesia