Literasi Gizi: Mengasup atau Mengasuh, Mana yang Lebih Penting
Makan adalah satu-satunya cara memenuhi gizi anak dan dewasa. Apa yang dimakan jadi sangat penting karena makan berarti memasukkan bahan tertentu ke dalam tubuh. Bila asupan yang masuk ke dalam tubuh tepat dan seimbang, maka kebutuhan gizi terpenuhi dan kesehatan anak atau dewasa lebih terjamin.
Bagi anak-anak, makan makanan bergizi seimbang merupakan tonggak krusial yang jadi penentu tumbuh-kembang. Memberi makanan bergizi seimbang untuk anak pun jadi kewajiban yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya oleh orang tua atau pengasuh. Apa yang dimakan selalu jadi sorotan dalam pemenuhan gizi anak. Banyaknya sorotan terhadap hal ini akhirnya mengaburkan sisi lain dari makan yaitu, pengasuhan. Makan bukan hanya soal mengasup tubuh, tapi juga menjalin ikatan.
Mengasup dan mengasuh seharusnya mendapat sorotan yang sama. Mengasup tanpa mengasuh, atau mengasuh tanpa mengasup tidak dapat memenuhi gizi seorang anak dengan maksimal. Kedua sisi makan ini membutuhkan perubahan kebiasaan dan literasi orang tua atau pengasuh terhadap isu gizi. Bila makan tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi, anak-anak akan berada dalam kondisi kekurangan gizi. Saat ini anak-anak Indonesia bahkan sedang mengalami apa yang sering disebut dengan triple burden of malnutrition (tiga masalah utama gizi) yaitu:
-
Undernutrition atau kurang gizi (stunting atau pendek dan wasting atau gizi kurang)
-
Overweight atau gizi lebih
-
Micronutrient deficiencies atau kekurangan zat gizi mikro.
Dari berbagai kondisi kekurangan gizi tersebut, stunting menjadi isu yang santer terungkit. Pemerintah nasional juga memberi target khusus terkait penanganan stunting di Indonesia. “Anak stunting punya risiko penyakit kronik. Masalahnya di masa depan bukan cuma kualitas anaknya lebih jelek tapi jadi ancaman kesehatan nasional,” ungkap DR. Dr. Tan Shot Yen, M.Hum, dokter dan ahli gizi masyarakat yang aktif menyuarakan tentang transformasi literasi gizi para orang tua.
Darurat Literasi Gizi Orang Tua
Status gizi anak yang ideal sangat bergantung pada keterampilan orang tua dan pengasuh dalam menyediakan asupan bergizi seimbang, serta pemahaman akan pola asuh yang selaras dengan pemberian makan anak. “Berubahlah dari orang tua yang hanya patuh, jadi orang tua yang paham. Bukan cuma mengikuti daftar panjang dos and don’ts, tapi benar-benar mengerti why-nya,” ujar perempuan yang akrab disapa Dokter Tan ini.
Kenapa orang tua dan pengasuh perlu memberikan makanan bergizi seimbang pada anak? Kenapa orang tua dan pengasuh perlu mengubah kebiasaan makan keluarga agar anak tumbuh sehat dan berkembang optimal? Kenapa orang tua dan pengasuh harus sepakat, punya komitmen, dan konsisten dalam mengasup dan mengasuh anak?
Temukan terlebih dulu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas maka otomatis orang tua dan pengasuh secara sadar akan memenuhi kebutuhan gizi anak dengan benar. “Tidak perlu sampai hitung-hitung kalori. Lihat dan baca Buku KIA (Buku Kesehatan Ibu dan Anak). Di situ jelas terangkum bahwa anak makan makanan keluarga, ukur dan timbang anak setiap bulan, jadi orang tua jangan denial. Bila sudah tidak naik berat badan dalam satu bulan, segera konsultasikan ke dokter. Pastikan juga anak tidak anemia,” tegas Dokter Tan.
Jadikan pemberian makan sebagai kegiatan mengasup yang kental nuansa pengasuhan. Artinya, makan bukan hanya persoalan mengonsumsi, tapi juga eksplorasi anak dan orang tua. Luangkan waktu untuk duduk di meja makan, tanpa gawai, dan makan bersama-sama. Ajak anak mengobrol tentang apa yang tersaji. Bila anak mengonsumsi pangan proses atau ultra proses, diskusikan dengan anak tentang apa yang ia rasakan seusai mengonsumsi, berbagai risiko pangan ultra proses, atau berbagai keuntungan pangan utuh. Selain orang tua, anak pun tidak bisa asal patuh pada mana yang baik dan tidak baik dimakan. Tapi anak juga harus mengerti kenapa ada makanan yang baik dan tidak baik, terutama bila berlebihan.
Bila ibu bekerja, baik pegawai kantoran di kota maupun petani di desa, pastikan support system yang ada memiliki pemahaman mengasup dan mengasuh yang sejalan. Dokter Tan menyarankan, “Dua minggu sebelum anak mulai sama pengasuh, pastikan pengasuh sudah dilatih pola asuh yang selaras dengan pola asuh Anda. Harus dibicarakan dan disepakati.” Asupan dan asuhan yang konsisten akan menjamin anak-anak terpenuhi kebutuhan gizinya serta bertumbuh-kembang dengan aman dan nyaman.
Literasi gizi para orang tua yang meningkat juga dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap stunting. Stunting tidak hanya terjadi di desa-desa terjauh dan tertinggal, tapi juga terjadi di konteks perkotaan dengan kondisi ekonomi keluarga yang berkecukupan. “Anak gemuk bisa stunting tidak? Bisa, karena makanannya tidak sesuai porsi menurut usianya. Bisa jadi makanannya GGL (gula, garam, lemak) berlebih,” ungkap Dokter Tan. Bila orang tua dan pengasuh memiliki literasi gizi yang baik dan benar, maka tidak akan mudah tergiur dengan asupan yang berkedok alami dan sehat tapi sebenarnya melalui pemrosesan yang menghilangkan kandungan gizi yang bermanfaat untuk tumbuh-kembang anak. “Makan yang lebih GGL-nya itu juga mengganggu hidup flora normal di usus kita. Biasa disebut probiotik. Probiotik ini mendukung imun juga,” imbuhnya.
Meja Makan di Desa atau di Kota Harus Sama-sama Bergizi
Orang tua dan pengasuh di kota banjir akses informasi mengenai gizi anak, serta disediakan terlalu banyak pilihan bahan pangan. Sedangkan, orang tua dan pengasuh di desa, akses informasi sudah semakin mudah namun, karena informasi yang diterima tidak ditelaah dengan wawasan yang memadai, malah sering terjadi salah kaprah. Bahan pangan lokal yang melimpah di desa juga kerap tidak terolah. Lagi-lagi karena keterbatasan wawasan serta keterampilan.
Perbaikan literasi orang tua akan gizi anak harus terjadi di seluruh daerah di Indonesia, tidak pandang lokasi dan tingkat ekonomi. “Anak di kota dikasih MP ASI impor yang tetap saja instan. Sudah mahal, ultra-proses lagi. Sedangkan anak-anak di Indonesia Timur makan seperti orang asing di negeri sendiri,” kata Dokter Tan. Realita orang tua bekerja sebagai nelayan tapi anaknya tidak pernah makan ikan segar tapi ikan sarden kaleng adalah benar adanya. Realita orang tua bekerja sebagai pegawai di kota tapi anaknya jarang makan bersama di rumah juga benar adanya.
Dokter Tan menekankan bahwa pemenuhan gizi anak di Indonesia membutuhkan lima solusi di bawah ini:
-
Peningkatan literasi masyarakat akan isu gizi anak melalui kader yang kompeten dan nakes yang memahami seluk beluk PMBA.
-
Media yang tidak dipenuhi konten endorsement dari produk-produk yang sebenarnya tidak baik untuk anak.
-
Akademisi yang memberi info berimbang dan valid.
-
Pemerintah yang berperan sebagai wasit.
-
Pengusaha yang mau mengalihkan dana untuk program yang mendukung kesehatan anak.
Khusus untuk konteks rural atau pedesaan, lakukan kolaborasi dan sinergi antarpihak untuk menemukan local champion yang anaknya terbukti sehat karena makanannya pakai bahan pangan lokal. Jadikan sosok ini sebagai panutan keluarga yang pola asuhnya tepat, anaknya pun tumbuh sehat.
“Mau anak makan yang benar? Orang tua juga makan yang benar. Makan bersama keluarga sangat penting,” pungkas Dokter Tan.
Akar Rumput hingga Pemerintah Nasional, WVI Bekerja agar Anak Indonesia Sehat
Bekerja sama dengan kader, bidan, tenaga kesehatan, orang tua dan pengasuh, tokoh masyarakat serta pemerintah, Wahana Visi Indonesia mengimplementasikan kegiatan-kegiatan yang menyasar isu gizi serta sanitasi yang sejalan dengan tujuan pemerintah nasional. WVI percaya bahwa setiap anak berhak mendapat cukup makanan yang bergizi seimbang, pola asuh yang mendorong setiap anak bertumbuh-kembang secara optimal, dan memiliki perilaku hidup bersih dan sehat.
Para orang tua yang memiliki balita terpapar berbagai wawasan, keterampilan, serta kebijakan yang dapat membantu pemenuhan gizi anak melalui kegiatan-kegiatan seperti: penguatan kader Posyandu, pengembangan kapasitas kader sebagai edukator atau motivator PMBA (Pemberian Makan Bayi dan Anak), Pos Gizi, Kebun Gizi, hingga penyediaan air bersih serta toilet sehat di rumah-rumah. Ragam kegiatan ini saling berkaitan satu sama lain agar terwujud lingkungan yang sehat, aman, dan nyaman bagi anak untuk menjalani masa tumbuh-kembangnya. Bahkan sejak anak masih dalam kandungan.
Pada tahun 2023, sebanyak 38.283 balita (55 diantaranya adalah anak dengan disabilitas) menerima manfaat dari program-program kesehatan yang WVI lakukan dalam rangka pencegahan stunting. Lebih dari 90% bayi yang tinggal di desa-desa dampingan WVI lulus ASI Eksklusif. WVI juga melakukan pendampingan intensif di area terjauh seperti Asmat, Papua hingga berhasil menginisiasi Kebun Gizi Apung yang membantu anak dan masyarakat makan dengan menu yang lebih bervariasi.
Pembelajaran berharga yang WVI dapat selama berkecimpung di isu kesehatan masyarakat adalah pentingnya partisipasi dan kesadaran dari setiap pihak untuk memperjuangkan kesehatan anak-anak yang lebih baik. Kegiatan sederhana seperti makan saja membutuhkan keterlibatan orang tua, keluarga, tetangga, bahkan sekolah, dan pemerintah. Oleh karena itu, harapan Indonesia bebas stunting membutuhkan kolaborasi yang lebih solid, perencanaan yang lebih strategis, dan komitmen dari berbagai pihak. Mari satukan aksi dan capai tujuan besar agar Indonesia memiliki generasi masa depan yang cemerlang.
Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive)