Perlindungan Anak Dimulai dari Rumah Sendiri
Berdasarkan data SIMFONI PPA per Desember 2022, jumlah kasus kekerasan terhadap anak di Provinsi Nusa Tenggara Barat terus meningkat selama tiga tahun terakhir. Lombok Timur, salah satu area dampingan WVI, menjadi kabupaten dengan jumlah kasus tertinggi. Sepanjang tahun 2022, terdapat 179 kasus kekerasan terhadap anak yang terungkap di Lombok Timur. Kasus-kasus ini berakar pada rendahnya kesadaran akan perlindungan anak mulai dari orang tua, pengasuh, keluarga, hingga aparat desa. Hasil penilaian dan baseline yang WVI lakukan menunjukkan bahwa hanya 3 dari 10 anak sponsor di Lombok Timur yang mengakui memiliki hubungan positif dengan orang tuanya. Dengan kata lain, sebagian besar anak masih tinggal dalam keluarga yang mengasuh dengan kekerasan, baik verbal maupun fisik.
Transformasi keluarga menjadi salah satu hal penting dan utama agar anak-anak di Lombok Timur dapat hidup lebih sejahtera, terhindar dari segala bentuk kekerasan. Orang tua selaku orang dewasa terdekat dalam hidup setiap anak harus menjadi pelindung dan pewujud hak-hak anak, bukan sebaliknya. Karena ketika orang tua dihadapkan pada pengasuhan yang terasa sulit dan menantang, kerap kali orang tua malah berubah menjadi pelaku kekerasan terhadap anak.
Hal ini dapat diatasi dan dicegah bila keluarga mengalami pemulihan hubungan dan pengembangan wawasan mengenai pengasuhan anak yang positif. Dan alangkah baiknya bila perubahan ini dimulai oleh para tokoh agama di desa-desa. Para tokoh agama adalah salah satu pemangku kepentingan di desa. Selain menjalankan peran sebagai pemimpin spiritual, tokoh agama juga mampu menjadi teladan dalam membangun relasi dengan sesama, termasuk unit terkecil dari sebuah komunitas yaitu, keluarga.
Ustadz Supardi, salah satu tokoh agama di desa yang berada di Lombok Timur mengakui bahwa masyarakat desa masih menerapkan pola asuh turun-temurun yang sarat kekerasan. Walaupun, pola asuh demikian sebenarnya tidak dibenarkan secara agama. Tapi ketika pola asuh yang berakar pada adat istiadat dan budaya ini terus bergulir dan tidak terputus, maka setiap orang tua di desa menganggap bahwa hal inilah yang sebaiknya diterapkan pada anak-anak mereka.
“Saya bersama anak sendiri juga tak jarang menggunakan kekerasan, baik fisik maupun verbal dalam mendidik anak. Akan tetapi, semenjak mengikuti sosialisasi Perlindungan Anak dari WVI dan membawakan materi keterampilan hidup di Kelompok Bermain Anak, saya mulai merasakan pergeseran pandangan terkait praktik pengasuhan anak,” akunya.
Ustadz Supardi adalah satu dari 13 tokoh agama di Lombok Timur yang sudah berpartisipasi dalam rangkaian kegiatan pentingnya perlindungan anak serta penerapannya dalam pengasuhan. Ia yang awalnya menerima hal ini sebagai gagasan baru akhirnya mengalami perubahan dalam menjalankan perannya sebagai seorang suami dan ayah. Ketika ia menjalankan peran sebagai tokoh agama di desa, Ustadz Supardi merasa perlu menyebarluaskan hal ini pada orang tua lainnya.
“Saya sempat pesimis orang tua atau pengasuh akan tertarik mengikuti lokakarya Pengasuhan dengan Cinta (PDC) di desa. Sebelumnya tidak pernah ada kegiatan serupa di masyarakat. Selain itu, orang tua banyak melakukan rutinitas sehari-hari di kebun, menjadi buruh tani jadi bila mereka harus ikut lokakarya tiga hari berturut-turut rasanya sulit,” tutur Ustadz Supardi, menceritakan inisiatifnya untuk mengedukasi orang tua mengenai PDC.
“Tapi, ketika kita memulai kegiatan di hari pertama, ternyata partisipasi orang tua sangat tinggi. Orang tua juga sangat antusias mengikuti kegiatan sampai hari terakhir. Saya, Ustadz Sahbudin, Ustadz Halil Hadiatman, dan Ustadz Rusdi yang menjadi fasilitator juga merasa Pemerintah Desa mendukung penuh kegiatan seperti ini,” lanjutnya.
Ternyata para orang tua terutama ibu-ibu di desa sangat tertarik dengan wawasan baru mengenai pengasuhan yang sarat kasih sayang. Kegiatan lokakarya selama tiga hari berlanjut dengan terbentuknya Parent Support Group (PSG). Dalam kelompok ini orang tua bertukar pikiran, berdiskusi, dan berefleksi tentang perubahan pengasuhan dalam keluarga mereka. Pertemuan rutin PSG membuat orang tua menginternalisasi pola asuh yang mereka impikan dalam keluarga.
“Kami sangat senang mengikuti kegiatan ini. Saya sendiri mengalami perubahan positif saat mengasuh anak. Saya sudah tidak lagi memukul dan membentak anak saya. Hubungan saya dengan suami semakin harmonis karena sekarang saya sudah bisa mengatur emosi dan saling mendengar pendapat dengan suami. Kegiatan ini juga sangat seru, fasilitator memberikan kesempatan kepada orang tua untuk bertanya maupun mengeluarkan pendapat. Kegiatan ini seperti kegiatan kajian yang membahas pengasuhan dalam konteks Islam,” cerita Apriana (28), seorang ibu yang menjadi peserta lokakarya PDC dan aktif hadir di PSG.
Aksi baik Ustadz Supardi serta antusiasme orang tua di desa juga berhasil mengadvokasi pemerintah desa untuk ikut berpartisipasi. Pemerintah desa mengambil langkah serius untuk mengentaskan kekerasan terhadap anak di desa dengan mendukung aktivitas-aktivitas PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat) di desa. Pelaksanaan PATBM mendapat dukungan dana desa sebesar tujuh juta rupiah.
“PDC adalah program pertama yang pernah kami temui yang membahas tentang perlindungan anak dalam lingkup keluarga secara mendalam. Bahkan menghadirkan tokoh agama sebagai fasilitator dan pelopor terdepan. Pemerintah desa tidak ingin diam saja, kami akan mengalokasikan dana desa untuk kegiatan perlindungan anak yang bisa dikelola oleh PATBM,” pungkas Kepala Desa H. Lalu.
Praktik-praktik pengasuhan yang lama sudah berlalu dan kini anak-anak hidup lebih bahagia. Mereka dapat merasakan kasih sayang yang penuh dan mengalami hubungan yang lebih positif dengan orang tua, keluarga, dan komunitas. Salah satu desa di Lombok Timur ini akan menjadi contoh bagaimana hak setiap anak akan perlindungan dapat terwujud. Perlindungan anak dapat dimulai dari rumah sendiri.
Penulis: Triyatmi Budiarsih (Field Facilitator kantor operasional WVI di Lombok)
Penyunting: Mariana Kurniawati (Communication Executive)