Saatnya Perempuan Papua Membangun Kerukunan
"Dulu, saya sangat mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif, cepat emosi, dan tidak bisa menahan diri untuk membantu menyelesaikan masalah. Namun, setelah pelatihan, saya belajar bahwa komunikasi yang salah pada waktu yang salah dapat memperburuk masalah. Saya menjadi lebih mampu menahan diri dan mendengarkan orang lain terlebih dahulu."
Menjalani hidup yang aman tanpa rasa takut adalah impian Jurusella (33 tahun) atau lebih akrab disapa Sella. Ia adalah perempuan asli Papua yang menjadi relawan guru sekolah minggu di provinsi paling timur Indonesia, Papua. Sebagai perempuan yang memiliki akses dan partisipasi yang sangat terbatas dalam komunitas, Sella harus merelakan banyak hal ketika terjadi konflik kekerasan di daerahnya. Konflik-konflik ini sudah terjadi dalam waktu yang lama, contohnya balas dendam, ketidakpercayaan di antara masyarakat, hingga pembunuhan.
Ketika konflik terjadi, Sella dan keluarganya akan berhenti beraktivitas normal hingga situasi lebih aman. "Kami telah mengalami situasi di mana perang antar suku terjadi karena kesalahpahaman yang disertai dendam masa lalu. Jika tiang listrik dibunyikan, itu adalah tanda bahwa kami harus waspada. Kami tidak dapat melakukan aktivitas kami selama satu hingga dua hari,” kata ibu dari dua anak ini.
Tidak hanya perang antar suku, Sella, yang juga seorang Pelayan Gereja, harus berurusan dengan perselisihan antara kelompok-kelompok di gereja yang biasanya terjadi karena kesalahpahaman, komunikasi yang buruk, dan kebutuhan yang tidak terpenuhi. Menghadapi situasi ini, Sella secara aktif mencoba menengahi dan memberi masukan jika seseorang memiliki masalah. Di masa lalu, cara Sella memberikan masukan seringkali emosional, tetapi sejak ia belajar tentang penyelesaian konflik melalui Proyek NOKEN Papua, ia menjadi lebih terkendali dan bijaksana dalam merespon konflik yang terjadi di sekitarnya.
Identitas Baru untuk Perempuan Papua: Perempuan yang Bersuara
NOKEN Papua adalah salah satu proyek Wahana Visi Indonesia (WVI) yang berkontribusi pada kohesi sosial komunitas dan pembangunan kapasitas aktor masyarakat sipil dalam mencegah konflik kekerasan dan mencari penyelesaian konflik. Dalam dua tahun, Proyek NOKEN Papua telah melatih 648 pemuda, 392 perempuan, dan 153 pemimpin komunitas di sembilan kecamatan tentang salah satu model proyek yang WVI miliki yaitu, Empowered World View (EWV). Hal ini dilakukan sebagai upaya membangun kerukunan. Peserta belajar untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai individu dan kelompok, memahami bagaimana persepsi mempengaruhi konflik, mengeksplorasi kasih dari para tokoh dunia maupun religius, juga perspektif gender. Mereka juga belajar untuk mempraktikkan komunikasi yang penuh kasih, mengenali aset yang dimiliki, membangun hubungan sesuai dengan konteks lokal, dan menciptakan visi bersama serta tindakan iman untuk mengatasi berbagai masalah di komunitas.
Sebagai salah satu peserta, Sella telah mendapatkan pola pikir baru tentang dirinya. Dia benar-benar percaya bahwa sebagai seorang wanita yang diciptakan oleh Tuhan, dia harus terus memberikan pengaruh positif dan mendorong perempuan lain menjadi agen perubahan.
"Saya menyadari bahwa Tuhan menciptakan kita untuk membawa kerukunan dan harmoni, bukan untuk menciptakan konflik. Melalui pelatihan, kami memahami apa yang harus dilakukan karena kami belajar apa itu konflik, dampaknya, dan bagaimana menghadapinya,” tuturnya.
Sella telah menjadi inspirasi bagi komunitasnya. Keberaniannya untuk bersuara telah membuahkan hasil. Keluarga dan komunitas telah mendengarkannya. Rahasia kesuksesannya adalah meminta bimbingan dari Tuhan sebelum mengungkapkan pendapatnya. Sebagai umat Kristiani, Sella selalu menyertakan Firman Tuhan yang sesuai dengan konteks komunitas lokal. Pola pikirnya telah berubah: 'Perempuan juga berhak bersuara!'. Dia berharap agar apa yang telah ia pelajari dari EWV dapat digunakan untuk membangun kerukunan dan dapat diterima oleh kelompok serta pemimpin lain dari berbagai agama atau suku. Sella berharap, interaksi antara anggota masyarakat satu dan lainnya dapat berlandaskan pada kepercayaan dan bukan kecurigaan.
Individu dan Komunitas yang Berdaya untuk Perdamaian
Sella dan perempuan lainnya menemukan bahwa konsumsi alkohol, terutama di kalangan anak muda, dapat menyebabkan konflik. Ketika seseorang mabuk dan kehilangan kendali, hal ini dapat menyebabkan pertengkaran yang tidak terhindarkan. Sella menyadari hal ini setelah melakukan 'Analisis Konflik' dengan WVI, yang mengungkapkan bahwa konsumsi alkohol memiliki efek negatif seperti perkelahian, blokade jalan, dan kekerasan dalam rumah tangga. Fenomena ini mendorong Sella untuk mengambil tindakan tegas dengan melibatkan pemimpin agama untuk membahas tentang bahaya penyalahgunaan alkohol melalui khotbah.
Sella dan kelompok pemuda memulai aktivitas kohesi sosial yang disebut 'Festival Seni Budaya Baliem', yang melibatkan kelompok pemuda lainnya untuk mempromosikan perdamaian komunitas. Selain menampilkan kreativitas mereka, para pemuda juga dapat membangun interaksi yang lebih positif dan menghilangkan kecurigaan satu sama lain.
"Kami sangat senang dengan aktivitas seni ini, kami dapat bertemu satu sama lain dan mengenal teman-teman lainnya. Kami berharap kami dapat melanjutkan ini untuk mengembangkan potensi kami," kata Kristina, salah satu penyelenggara. Para pemuda senang terlibat dalam aktivitas yang lebih positif daripada yang negatif, seperti kumpul-kumpul sambil mengkonsumsi alkohol. Mereka merasa berdaya untuk membuat pilihan yang lebih baik dan bersemangat melihat dampak positifnya pada hidup mereka.
Sella sangat percaya bahwa menciptakan forum yang aman dan nyaman untuk membahas masalah sosial dalam komunitas sangat penting dalam konteks Papua. Untuk mencapai hal ini, penting untuk melibatkan tidak hanya pemuda dan tokoh agama tetapi juga pemerintah setempat dan tokoh adat.
"Masalahnya tidak akan pernah terselesaikan jika kita tidak saling memaafkan karena masalah masa lalu yang masih ada. Saya meminta agar kita menyelesaikan masalah ini, karena saat ini anak saya dan anak-anak lainnya masih trauma," kata Sella dalam sebuah forum diskusi dengan para pemangku kepentingan di kampungnya.
Meskipun mendapat tantangan untuk bersuara, dedikasi Sella untuk membuat perubahan tidak pernah hilang. Dia mengerti bahwa mungkin dibutuhkan waktu dan upaya, tetapi dia termotivasi oleh harapannya untuk masa depan yang lebih baik.
"Saya sangat bersyukur bahwa sekarang suara saya didengar. Saya harap komunitas tidak hanya mendengarkan, tetapi juga berubah. Mari bekerja sama untuk mengurangi konflik kekerasan agar kita semua dapat menjalani hidup utuh sepenuhnya. Bersama-sama, kita dapat memastikan tidak ada lagi konflik kekerasan di daerah kita!" katanya dengan optimis.
Dalam dua tahun pelaksanaan Proyek NOKEN Papua, telah terjadi transformasi hati, pikiran, dan hubungan. Hal ini tercermin dari 78% pemuda menyatakan bahwa mereka tidak akan bergabung dengan tindakan dan kelompok kekerasan. Di sisi lain, 73,68% perempuan, termasuk Sella, percaya diri dengan kemampuan mereka untuk mempromosikan harmoni dan pembangunan ekonomi dalam komunitas mereka. Sella dan generasi muda yang baru akan terus memberdayakan pemuda dan perempuan Papua lainnya untuk mencapai perdamaian dan membawa harapan bagimasa depan mereka.
Penulis: Debora Napitupulu (Project Manager NOKEN)
Penyunting: Mariana Kurniawati (Communication Executive)