Guru Halmahera Timur Tingkatkan Kemampuan tentang Perlindungan Anak
Berdasarkan data real time SIMFONI-PPA tahun 2025, sebanyak 1.576 kasus kekerasan terjadi di sekolah. Di sepanjang tahun ini juga media massa menyiarkan berita-berita mengenai perundungan di sekolah atau institusi pendidikan tinggi. Kasus-kasus ini melibatkan anak, baik sebagai pelaku ataupun penyintas. Maraknya kasus kekerasan di sekolah ini juga menjadi salah satu kekhawatiran bagi para tenaga pendidik, terutama yang mengabdi di sekolah-sekolah terjauh di Indonesia. Tantangannya adalah terbatasnya pengembangan kapasitas tenaga pendidik mengenai pencegahan dan penanganan kasus kekerasan di sekolah.
Grilweni (29), guru di salah satu SMK di Kabupaten Halmahera Timur, merasa membutuhkan wawasan baru agar bisa lebih peka terhadap isu perlindungan anak di sekolah ataupun rumah. “Saya melihat kekerasan terhadap anak di sekolah sering terjadi. Akibatnya banyak anak yang takut untuk berbicara. Mereka tidak nyaman di dalam kelas dan takut mengekspresikan diri,” ceritanya.
Guru yang berperan sebagai ibu ini juga mengakui masih sulit mengendalikan respon terhadap anaknya sendiri. Ia masih suka menanggapi anak perempuannya dengan marah-marah. Sehingga ketika berada di kelas, ia merasa hal yang sama.
Wahana Visi Indonesia menyambut harapan para tenaga pendidik ini dengan memfasilitasi pelatihan mengenai perlindungan anak. Sesi bukan langsung dimulai dengan teori, tapi justru materi yang membantu tenaga pendidik mengenali diri. “Bagaimana kita harus lebih menerima kekurangan diri sendiri, menerima kenyataan hidup dengan bersyukur. Bahwa segala yang terjadi bukan kebetulan,” tutur Grilweni.
Setelah itu, materi mengenai pentingnya melindungi dan mendengarkan suara anak dipaparkan. Ada hal baru yang Grilweni bisa terapkan di sekolahnya setelah memahami apa itu perlindungan anak. “Kami berusaha lebih dekat dengan anak-anak tapi caranya kreatif seperti menggunakan permainan, cerita, dan kegiatan kelompok. Ini bisa membangun kedekatan dengan siswa,” ujarnya.
Ia pun terpantik untuk mulai mulai menyediakan waktu khusus untuk mendengarkan anak-anak atau biasa ia sebut sesi curhat. “Sehingga anak-anak merasa didengar dan dihargai. Perlahan-lahan kami melihat perubahan. Anak-anak lebih berani berbicara, guru lebih sabar, dan kekerasan di sekolah mulai berkurang,” ungkapnya.
Perubahan ini membuat Grilweni yakin bahwa mendengarkan anak adalah kunci menciptakan lingkungan belajar yang ramah anak. Apalagi sebenarnya anak-anak yang mengalami luka batin justru ingin lebih didengar.
”Sahabat-sahabat sekalian, jangan biarkan luka atau dendam tinggal terlalu lama di hati kita. Menyimpan sakit hati hanya membuat kita lelah, bahkan bisa mengganggu kesehatan. Mari belajar memaafkan, berdamai dengan diri sendiri, dan membangun hati yang tenang. Hati yang damai membuat hidup lebih sehat, pikiran lebih jernih, dan hubungan dengan sesama menjadi lebih baik,” pesan Grilweni untuk dirinya sendiri, para tenaga pendidik, dan juga anak-anak.
Penulis: Sisilya Tobing (Fasilitator program di kantor operasional WVI area Halmahera Timur)
Penyunting: Mariana Kurniawati (Communication Executive)