Paradoks Gizi dan Kedaulatan Pangan Indonesia: Menuju Kolaborasi Sejati

Paradoks Gizi dan Kedaulatan Pangan Indonesia: Menuju Kolaborasi Sejati

Indonesia telah mencapai kemajuan signifikan dalam aksesibilitas pangan dan pertumbuhan pertanian. Namun, negara ini masih menghadapi paradoks gizi yang menantang. Sejumlah besar anak terus mengalami stunting dan wasting, yang merupakan indikasi masalah kekurangan gizi dan kemiskinan. Di sisi lain, meningkatnya angka obesitas dan diabetes menjadi sinyal mendesak di isu kelebihan gizi dan pola makan yang buruk. Beban ganda malnutrisi ini – yang meliputi kurang gizi, defisiensi mikronutrien, dan kelebihan gizi – menggarisbawahi bahwa isu ini melampaui sekadar penyediaan makanan, tetapi juga memastikan asupan gizi yang tepat. 

Dengan diperkenalkannya program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Indonesia, perhatian kita kembali tertuju pada masalah pangan dan gizi yang telah lama mendera negara ini. Inisiatif ini bertujuan untuk menyediakan makanan sehat bagi anak-anak sekaligus mendukung petani lokal dengan meningkatkan permintaan atas hasil bumi mereka. Namun, pelaksanaan program ini juga menyoroti masalah sistemik yang lebih dalam, yang telah lama memengaruhi sektor pangan Indonesia. 

Tidak ada solusi yang sederhana atau "satu-untuk-semua" untuk mengatasi tantangan ini. Perumusan kebijakan yang efektif menuntut langkah yang tidak didesain dalam jangka pendek atau yang berfokus pada amal. Pemerintah Indonesia perlu menerapkan pendekatan yang lebih komprehensif dalam merancang dan melaksanakan kebijakan pangan dan gizi, memastikan strategi tersebut didorong oleh bukti, disesuaikan dengan realitas lokal, dan memiliki komitmen terhadap keberlanjutan. Sebagai contoh, inisiatif MBG dapat didesain tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan kalori anak, tetapi juga mempromosikan asupan makanan yang beragam, diproduksi secara lokal, dan sesuai budaya yang memperkuat jaringan pangan lokal. 

Inti dari kolaborasi, yang menjadi fokus Hari Pangan Sedunia tahun ini, tidak seharusnya diartikan hanya sebagai permohonan investasi internasional. Kemitraan sejati perlu dipupuk dari dalam negeri. Penguatan ekonomi domestik Indonesia sangat krusial, dan kekuatan ini sebagian besar berakar pada komunitas lokal, adat, dan terpencil. Komunitas-komunitas ini bukan sekadar penerima manfaat dari inisiatif pembangunan; mereka adalah penjaga keanekaragaman hayati lokal, teknik bertani tradisional, dan pengetahuan pangan budaya yang telah diwariskan secara turun-temurun. Mengabaikan kekuatan internal ini atau meremehkan potensinya dapat sangat membahayakan kedaulatan pangan Indonesia – kemampuan kita untuk memutuskan makanan apa yang kita tanam, produksi, dan konsumsi. 

Ketika perdagangan internasional atau sistem pangan impor menaungi preferensi pangan lokal, kita berisiko kehilangan kendali atas identitas pangan kita. Ketergantungan semacam itu dapat melemahkan ketahanan kita, terutama selama krisis ketika rantai pasokan global terganggu. Oleh karena itu, bekerja bersama untuk pangan yang lebih baik harus lebih dari sekadar slogan. Ini harus melambangkan kemitraan sejati yang menjembatani kesenjangan antara kebijakan dan praktik, antara kepemimpinan pemerintah dan inovasi komunitas. Memberdayakan produsen lokal, memadukan pengetahuan tradisional dengan teknik pertanian modern, dan memastikan akses pasar yang inklusif adalah langkah-langkah penting menuju sistem pangan yang berkelanjutan. 

Inisiatif MBG ini menyajikan peluang untuk mewujudkan visi ini, tetapi hanya jika dilaksanakan dengan kepedulian, inklusivitas, dan sensitivitas terhadap ekosistem pangan lokal. Masih terbuka ruang yang luas untuk penerapan MBG lebih tepat. Jika keterlibatan komunitas, pengadaan bahan baku lokal, dan edukasi pangan diabaikan, program tersebut berisiko menambah kerentanan pada anak dan keluarga, dan menjauhkan anak dari mencapai kesejahteraan. 

Saat kita merayakan Hari Pangan Sedunia, biarlah kesempatan ini mengingatkan kita: bentuk kolaborasi yang paling bermakna bukanlah dengan investor asing yang jauh, melainkan dengan rakyat kita sendiri. Memperkuat solidaritas di antara komunitas, petani, dan pembuat kebijakan adalah fondasi untuk mempertahankan kedaulatan pangan Indonesia. Dengan menghargai kearifan lokal, mempromosikan keragaman gizi, dan membina kemitraan yang adil, Indonesia dapat memastikan bahwa memberi makan anak-anaknya hari ini tidak mengorbankan kemerdekaannya di masa depan. 

 

 

Penulis: Rusmi Wiyati (Spesialis Ketahanan Pangan Wahana Visi Indonesia) 

Penyunting: Mariana Kurniawati (Communication Executive) 


Artikel Terkait