Seorang Ayah, Petani, dan Tokoh Agama Membangun Rumah yang Ramah Anak

Seorang Ayah, Petani, dan Tokoh Agama Membangun Rumah yang Ramah Anak

Setiap pagi, sebelum matahari terbit sepenuhnya, Supardi sudah berjalan ke ladang. Sehari-hari ia bekerja sebagai petani dan guru di salah satu sekolah swasta kecil di desanya yang berada di Lombok . Ia juga anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Tapi dari semua peran tersebut, ada satu yang paling ia pegang erat: menjadi ayah. 

Sebagai seorang muslim, ia tumbuh dengan satu prinsip kuat: “Rohimuna yarhamuhumurrahman” — siapa yang menyayangi sesama, akan disayangi oleh Allah. Prinsip ini tidak sekadar jadi hafalan. Ini jadi dasar ia memilih jalan perubahan. 

Namun di sekelilingnya, praktik itu kadang kabur. Kekerasan dalam rumah tangga dianggap biasa. Anak berkelahi, orang tua ikut campur. Bahkan bukan menengahi, tapi ikut bertengkar. Hubungan dalam keluarga keras, kadang terasa jauh dari kasih sayang. "Sebenarnya prinsipnya sudah ada dalam Islam. Tapi karena kurang edukasi, banyak yang lupa. Bahkan kadang saya sendiri," ujarnya. 

Ketika Wahana Visi Indonesia hadir, ia merasa seperti diingatkan. Bukan diberi hal baru, tapi dituntun kembali ke nilai-nilai lama yang terlupakan. “Karena ajakan itu sesuai dengan keyakinan kami, kami tertarik. Bahkan mendukung,” katanya. 

Ia mulai aktif dalam kegiatan Parents Support Group (PSG). Di sinilah semua berubah, cara pandang dan bicara dalam keluarga, untuk istri dan anak. “Dulu bahasanya biasa. Setelah ikut pelatihan, kami mulai pakai panggilan yang lebih hangat, seperti ‘sayang’. Ternyata lebih harmonis,” ia tertawa kecil. 

Bukan cuma di rumahnya. Perubahan terasa di lingkungan sekitar. Ibu-ibu mulai cerita bagaimana mereka dulu tak pernah tahu bahwa hadiah dari suami bukan hanya pemberian, tapi tanda cinta. Bahwa anak yang salah tak harus langsung dimarahi, tapi diajak buat kesepakatan lebih dulu. "Kalau anak melanggar, sekarang kami sudah mulai runding. Kalau saya langgar, sanksinya apa? Jadi anak dan orang tua sama-sama mengerti,” katanya. 

Sebagai tokoh agama, ia sadar bahwa ayah memegang kendali besar dalam keluarga walaupun mengajak ayah duduk di pelatihan mengenai pengasuhan bukan hal mudah. “Kami petani. Pagi-pagi sudah di ladang atau cari rumput. Tapi saya yakin, peran ayah itu penting. Jadi saya terus ajak mereka,” ujar ayah dari dua orang anak ini. 

Sekarang, sehari-hari Supardi bukan sekadar menjalani peran. Ia menghidupi nilai dan mendorong diskusi antar tokoh agama. Ia juga mengedukasi orang tua tentang hak anak. “Karena kalau tak tahu hak anak, bagaimana bisa memenuhinya?” katanya mantap. 

Supardi memiliki mimpi besar untuk keluarganya. “Ingin naik haji,” ujarnya sambil tersenyum. “Tapi sebelum itu, saya ingin keluarga ini saling memahami, saling mendukung. Karena dari rumah yang baik, anak-anak bisa tumbuh bahagia,” tuturnya. 

Transformasi Supardi dimulai dari seorang petani di sudut desa tapi dampak baik yang ia bawa sudah menjalar: dari ladang ke ruang kelas, dari masjid ke rumah-rumah warga, dari kepala ke hati. 

Karena menyayangi bukan cuma soal niat tapi tentang hadir, belajar, dan berubah—setiap hari. 

 

 

 

Penulis: Priskilla Estauli (Faith and Development Specialist – Church Engagement

Penyunting: Mariana Kurniawati (Communication Executive


Artikel Terkait