25 Tahun Melayani Jutaan Anak Indonesia
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR - Angelina Theodora, Direktur Nasional WVI, bersama Pengurus WVI saat berbincang dengan media di Jakarta, pertengahan November 2023, bertepatan dengan Perayaan 25 Tahun WVI.
Pendidikan merupakan jalan untuk menuju masa depan. Sayangnya, tidak semua anak beruntung meraihnya. Jangankan sampai perguruan tinggi, tingkat pendidikan dasar saja tidak semua anak mendapatkan kesempatan tersebut, terutama anak-anak dari keluarga miskin.
Kehadiran lembaga-lembaga nonpemerintah yang berfokus pada kepentingan anak bisa mengubah hidup sejumlah anak sehingga bisa menggapai mimpinya.
Wahana Visi Indonesia (WVI) adalah organisasi masyarakat sipil yang memberi perhatian khusus pada pendidikan dan kesehatan anak, serta pemberdayaan masyarakat, di beberapa wilayah Indonesia.
Hadir selama seperempat abad di Indonesia, semenjak 19 November 1998 hingga 2023 organisasi kemanusiaan Kristen tersebut melayani sedikitnya 1,2 juta anak dan 1,8 juta orang dewasa di 199 kabupaten/kota di 17 provinsi di Indonesia.
Selama 25 tahun terakhir, WVI melakukan 527 program dengan membawa visi pemberdayaan anak, keluarga, dan masyarakat paling rentan lewat pendekatan pengembangan masyarakat. Organisasi ini juga melakukan advokasi dan tanggap bencana untuk membawa perubahan berkesinambungan tanpa membedakan agama, ras, suku dan jender.
”Kalau ditanya apa pencapaian WVI selama 25 tahun, yang paling kami banggakan adalah perubahan pada tiap individu, pada setiap anak, setiap anggota masyarakat yang terlibat dalam pelayanan WVI,” ujar Angelina Theodora, Direktur Nasional WVI, di Jakarta, pertengahan November 2023, bertepatan dengan Perayaan 25 Tahun WVI.
Bertepatan dengan 25 Tahun, WVI juga meluncurkan Laporan Program Kesejahteraan Anak 2023 (Child Well-being Report 2023) yang datanya didapatkan selama Oktober 2022 hingga September 2023 dari seluruh wilayah dampingan WVI, yaitu 63 kabupaten/kota di 17 provinsi di Indonesia, mencakup 330 desa, dan 1.068 desa.
Program tersebut memberi manfaat langsung kepada 279.327 orang, di antaranya 175.252 anak dan 104.075 orang dewasa. Program ini dilakukan di 330 kecamatan dan 1.068 desa yang tersebar di 27 area di wilayah Sumatera, Nusa Tenggara Barat, Jawa, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi, Maluku Utara, dan Papua.
”Kami bersyukur karena di perayaan 25 tahun ini, WVI baru saja menerima penghargaan SDGs Action Awards 2023 sebagai organisasi masyarakat sipil terbaik dari Bappenas untuk program Kebun Gizi Apung di Asmat, Papua,” ujar Angelina yang mengucapkan banyak terima kepada mitra WVI.
Kehadiran WVI tidak terlepas dari sejarah panjang pelayanan World Vision International di Indonesia yang sejak awal terpanggil untuk mendukung kesejahteraan hidup anak-anak.
World Vision International adalah lembaga internasional yang didirikan Robert ”Bob” Pierce pada tahun 1950, yang berkantor pusat di Portland Oregon, Amerika Serikat. Tahun 1998, nama Yayasan World Vision Indonesia diubah menjadi Yayasan WVI.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR - Nuria (20), salah satu anak dampingan WVI dari Sambas, Kalimantan Barat, semenjak duduk di sekolah dasar hingga tamat sekolah menengah kejuruan mendapat sponsor dari WVI.
Cerita perubahan
Sepanjang perjalanan karya WVI di Indonesia, berbagai perubahan dialami anak-anak Indonesia. Contohnya, Nuria (20), salah satu anak dampingan WVI dari Sambas, Kalimantan Barat, semenjak duduk di sekolah dasar hingga tamat sekolah menengah kejuruan mendapat sponsor dari WVI.
Berkat dampingan WVI, Nuria, yang sempat berpikir untuk berhenti sekolah, akhirnya melanjutkan studinya hingga sampai perguruan tinggi. Dia menjadi pemimpin forum anak di daerahnya dan kini Nuria duduk dibangku kuliah di Jurusan Agro Industri Pangan Politeknik Negeri Sambas.
”WVI seperti orangtua kedua saya. Di WVI, saya diajarkan banyak hal. Kalau tidak ada WVI, saya tidak ada di sini,” ujar Nuria, yang mengaku baru pertama kali ke Jakarta, saat menghadiri acara 25 Tahun WVI.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR - Mantan anak dampingan WVI, Salfius Seko (49) asal Sanggau, Kalbar, yang kini menjadi pengajar di fakultas hukum di sebuah universitas di Pontianak. Salfius ikut berperan aktif dalam menyusun Peraturan Desa Perlindungan Anak berbasis hukum adat di desanya.
Perubahan semenjak menjadi anak dampingan WVI juga disampaikan Salfius Seko (49) asal Sanggau, Kalbar, yang kini menjadi pengajar di fakultas hukum di sebuah universitas di Pontianak. Salfius ikut berperan aktif dalam menyusun Peraturan Desa Perlindungan Anak berbasis hukum adat di desanya.
Selain anak-anak, perubahan juga dialami oleh masyarakat di daerah dampingan WVI, seperti yang diakui oleh sukarelawan, antara lain Mesron Ku’e dari Kupang, Yakobus dari Papua, dan Kurnia Mahanani dari Palu.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR - Kurnia Mahanani, sukarelawan WVI di Palu, Sulawesi Tengah, menjadi aktivis Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) di desanya dan Ketua Asosiasi Simpan Pinjam untuk kesejahteraan Anak (ASKA) di daerah Parigi Moutung, Palu.
Kurnia menuturkan pengalamannya menjadi aktivis Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) di desanya dan ketua Asosiasi Simpan Pinjam untuk kesejahteraan Anak (ASKA) di daerah Parigi Moutong, Palu. Kurnia mengungkap kasus kekerasan seksual anak yang dialami oleh anak dampingannya di desanya.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR - Yakobus, guru SD di Asmat. Semenjak tahun 2017, selain terlibat program WVI dalam mengimplementasikan Wahana Literasi di sekokah, Yakobus juga aktif membantu WVI dalam program penampung air hujan (PAH), kebun gizi apung, dan membantu menyadarkan masyarakat betapa pentingnya pendidikan bagi anak-anak yang ada di kampung.
Begitu pula Yakobus, guru SD di Asmat. Semenjak tahun 2017, dia terlibat program WVI dalam menerapkan Wahana Literasi di sekolah, program penampung air hujan (PAH), kebun gizi apung, serta membantu menyadarkan warga terkait pentingnya pendidikan bagi anak di kampung.
”WVI adalah lembaga kemanusiaan yang peduli pada anak-anak dari kelompok rentan. Programnya sangat membantu anak-anak dan masyarakat di daerah kami,” ujar Mesron yang selama ini aktif memantau situasi dan kondisi di desanya.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR - Mesron Kue dari Kupang, relawan WVI di Kupang, NTT.
Orangtua sponsor
Kehadiran WVI di 17 provinsi tidak lepas dari dukungan para orangtua sponsor. Salah satunya adalah pembawa acara Becky Tumewu, yang selama 13 tahun menjadi Hope Ambassador Wahana Visi Indonesia.
Berawal dari kesediaannya menjadi orangtua sponsor, pada tahun 2010, Becky bertemu banyak anak-anak di sejumlah daerah terpencil yang membutuhkan bantuan untuk pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
”Waktu saya jadi Hope Ambassador saya bangga. Artinya, saya terpilih dan dipercaya jadi agent of kindness. Saya bisa membawa perubahan yang saya ingin tularkan, yaitu harapan. Orang hidup harus selalu punya harapan,” ujar Becky pada acara Wahana Visi Indonesia (WVI) dalam rangka Perayaan 25 Tahun WVI untuk Indonesia, pertengahan November 2023, di Kemayoran, Jakarta.
Becky mengaku amat menyukai Program Orangtua Sponsor di WVI karena konsep yang diusung dalam WVI adalah mendampingi, mensponsori, dan membantu anak-anak di daerah.
Dia pun tidak mau hanya sekadar menjadi duta harapan WVI, tetapi dia benar-benar menjadikan WVI sebagai tempat berkarya dan berdampak pada masyarakat luas yang membutuhkan bantuan.
”Karena bukan hanya anak dan keluarga yang dibantu yang merasakan berkat, tetapi juga komunitas di mana anak itu berada. Saya suka banget dengan konsep itu,” kata Becky.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR - Pembawa acara Becky Tumewu hadir dalam konferensi pers dalam rangka 25 Tahun WVI, pertengahan November 2023. Becky selama 13 tahun menjadi Hope Ambassador Wahana Visi Indonesia. Dia awalnya bergabung dengan WVI menjadi orangtua sponsor.
Selama menjadi Hope Ambassador, Becky pun memiliki kesempatan mengunjungi daerah-daerah terpencil, termasuk di kepulauan seperti di Nusa Tenggara Timur, yang selama ini belum dikunjunginya.
Dengan begitu, dia bisa melihat langsung situasi dan kondisi anak-anak yang dibantu. Dia berharap para orangtua sponsor WVI bisa turun ke daerah-daerah bertemu langsung dengan anak-anak.
”Dengan ke sana, waktu pulang ke Jakarta saya mengajak orang membantu jadi lebih sungguh-sungguh. Waktu saya kumpulin dana, saya tahu yang perlu. Saya tidak gengsi dan malu karena saya percaya, saya mengajak mereka bergabung. Itu membuahkan hasil baik,” ujar Becky, yang juga mengajak anak-anaknya bergabung dengan WVI.
Selain membawa perubahan pada individu dan komunitas, kerja-kerja yang dilakukan WVI di sejumlah wilayah dampingannya juga mendorong lahirnya kebijakan yang memberi manfaat pada anak-anak dan masyarakat di desa dampingannya.
Chandra Wijaya, Direktur Manajemen Strategi WVI, mengungkapkan, dari program WVI sepanjang tahun fiskal 2023, misalnya, ada manfaat tidak langsung dirasakan sedikitnya bagi 80 juta anak dari penguatan 66 kebijakan yang diadvokasi WVI bersama para mitranya, mulai dari tingkat nasional hingga di desa,
Ada tujuh kebijakan di tingkat nasional, antara lain WVI bersama sejumlah organisasi perlindungan anak ikut berkontribusi menguatkan strategi nasional penghapusan kekerasan terhadap anak dan melahirkan peraturan presiden.
”Kita mau program tidak hanya berpengaruh pada anak dampingan, tetapi berpengaruh di seluruh Indonesia,” ujar Chandra.
Dari program yang diterapkan selama 25 tahun, WVI turut berkontribusi terhadap 7 dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Adapun tujuan lainnya yakni Indonesia tanpa kemiskinan, tanpa kelaparan, pendidikan berkualitas, kesetaraan jender, air bersih dan sanitasi layak, pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, serta perdamaian, keadilan, dan kelembagaan tangguh.