Kendala Pos Gizi di Sumba Barat Daya
Sebelum ada intervensi Pos Gizi, ibu balita di lima desa dampingan Wahana Visi Indonesia yang berada di Kabupaten Sumba Barat Daya memberi ASI dan makanan berupa bubur air nasi kepada balitanya. Bubur air nasi atau biasa disebut nasi kosong menjadi makanan sehari-hari balita di desa, tanpa lauk-pauk atau sayuran. Keterbatasan pengetahuan ibu balita akan variasi makanan bergizi seimbang menjadi salah satu kendala mengapa balita hanya makan nasi saja. Untuk menanggulangi hal ini, selama 10 hari para kader Posyandu bekerja sama dengan WVI dan Yayasan Harapan Sumba, melakukan kegiatan memasak makanan bergizi seimbang berbahan pangan lokal dengan para ibu balita. Seusai kelas memasak, anak-anak langsung menikmati masakan tersebut bersama-sama.
“Kami melihat bahwa orang tua anak sangat antusias mengikuti kegiatan Pos Gizi. Orang tua anak sangat kompak dalam belajar mengolah bahan pangan lokal,” ujar Fransiska Kambu Ate (46), salah satu kader Posyandu di desa. “Selama ini, kondisi balita di desa tidak suka makan sayur karena terbiasa makan tanpa sayuran dan lauk. Orang tua juga terbiasa memberi jajan sebelum waktu makan jadi anak sudah kenyang dengan jajan,” lanjutnya.
Salah satu menu yang diajarkan dalam kelas memasak tersebut adalah sayur labu siam kuah santan. Daun pucuk labu dan labu siam banyak ditemukan di desa namun tidak pernah diolah menjadi menu makanan bergizi bagi balita. Menu ini menjadi salah satu tambahan variasi makanan bagi yang selain mengandung sayuran, juga mengandung lemak yang baik untuk menambah berat badan balita. Ibu balita pun jadi semakin sadar bahwa makanan bergizi seimbang dapat diolah dari bahan sederhana yang ada di sekitar mereka.
Setelah mengikuti kelas memasak dan pemberian makanan bergizi seimbang yang intensif, balita-balita yang berpartisipasi dalam kegiatan Pos Gizi pun melakukan penimbangan berat badan. Dari 50 balita yang berpartisipasi, 32 diantaranya mengalami peningkatan berat badan minimal 200 gr. Namun, ketika monitoring kembali dilakukan di hari ke-30, hanya 22 balita yang mengalami peningkatan berat badan minimal 400 gr.
“Menurut saya, gizi seimbang dapat mengoptimalkan tumbuh-kembang anak. Saya sendiri melihat hal ini pada anak saya,” tutur Katrina Dengi (35), ibu balita bernama Maria Teresia. Saat pernimbangan di awal Pos Gizi, Maria Teresia (saat itu berusia 7 bulan) memiliki bobot 4,4 kg. Berdasarkan standar WHO, Maria Teresia termasuk balita yang mengalami severe underweight (Z score -4). Karena sudah memperoleh wawasan menu-menu makanan baru, Katrina pun mencoba berkreasi mengolah bahan pangan lokal dengan cara masak yang berbeda-beda. “Nafsu makan anak saya pun meningkat, porsi makannya lebih banyak. Anak saya pun tidak pucat lagi dan lebih aktif,” ujarnya.
Namun, bayi perempuan ini sempat mengalami penyakit infeksi sehingga pada pemantauan berat badan di hari ke-30, berat badannya turun lebih dari 1 kg. Serangan penyakit berdampak sangat besar pada berat badan bayi. Balita dengan status gizi yang buruk akan lebih mudah terserang penyakit. Penyakit pun tentu akan banyak timbul bila lingkungan tempat tinggal tidak higienis. Katrina harus berusaha lebih keras menambah berat badan anaknya yang sudah susut akibat sakit. Hasil penimbangan per 31 Maret 2023 lalu menunjukkan Maria Teresia (9 bulan) berbobot 5,1 kg. Memang ia sudah mengalami peningkatan berat badan namun masih jauh dari ideal.
Walaupun sudah banyak orang tua yang mulai mempraktikan pemberian makanan bergizi seimbang pada balita, namun salah satu faktor yang menyebabkan masih ada balita yang tidak mengalami perbaikan status gizi adalah sulitnya akses air bersih. “Orang tua yang belum punya bak PAH (Penampung Air Hujan) harus membeli air di tetangga. Belinya juga tidak bisa banyak sehingga pemakaian air di keluarga juga dibatasi. Sayuran tidak dicuci, anak jarang mandi,” lanjut Fransiska. Akibatnya, balita-balita yang mengikuti Pos Gizi pun kesulitan menambah berat badan. Padahal makanan yang diberikan sudah lebih bervariasi dan bergizi.
“Boleh dikatakan kami sudah berhasil menginspirasi orang tua. Melalui kegiatan Pos Gizi, kami memberikan pemahaman pada orang tua tentang makanan bergizi yang harus diberikan pada anak, dan tentang pola hidup bersih yang harus diterapkan di rumah masing-masing,” kata Fransiska. Namun, pola hidup bersih masih sulit dilakukan. Padahal agar seorang anak bisa bertumbuh sehat, selain makanan bergizi, anak pun harus berada dalam lingkungan yang higienis. Salah satu pendukung sanitasi lingkungan adalah tersedianya air bersih.
“Saya ingin bahan makanan yang ada di rumah bisa diolah dengan baik, saya mau menyediakan makanan yang bergizi dan juga bersih bagi anak-anak saya. Saya juga mau anak saya, Maria Teresia, bisa hidup bersih,” ujar Katrina. “Para kader Posyandu juga berharap ke depannya tidak ada lagi anak mengalami kurang gizi dan stunting. Kami juga berharap orang tua terus memperhatikan dan mengasuh anak mereka dengan baik,” pungkas Fransiska.
Melalui kampanye Global 6k Water for Sumba, #SahabatWVI dapat menjadi sosok yang membantu ketersediaan akses air bersih di kelima desa dampingan WVI di Sumba Barat Daya. Dengan terlibat dalam kampanye ini, kita bisa membuat anak-anak di Sumba Barat Daya tumbuh sehat dan hidup lebih berkualitas. Informasi lengkap mengenai Global 6k Water for Sumba dapat diakses melalui halaman wahanavisi.org/waterforsumba. Mari bergabung dalam kampanye ini, karena setiap langkah kita, adalah kehidupan bagi mereka.